Hijrian Angga Prohantoro |
Nashr Hamid Abu Zaid dalam Mafhûm al-Nash dengan berani menegaskan bahwa ”Bagaimanapun, Kalam Ilahi perlu mengadaptasi diri, dan menjadi manusiawi, karena Tuhan ingin berkomunikasi kepada manusia. Jika Tuhan berbicara dengan bahasaNya (sendiri), niscaya manusia sama sekali tidak akan pernah mengerti.” Tujuan misi suci Nashr Hamid Abu Zaid ini adalah mengajak manusia untuk sampai pada muara kesadaran bahwa historisitas teks, realita budaya serta bahasa sebagai media komunikasi, menunjukkan bahwa al-Quran memang diperuntukkan sepenuhnya untuk manusia.
Ketika Al-Quran hadir dengan entitas lisân untuk disampaikan kepada “’arabiy” sebagai “mubîn,” maka Al-Quran, sebagai “kalâm ilâhi”, akan mengentitaskan diri sebagai “kalâam insâni”. Dalam proses “menjadi”-nya, kalam insani di era awal kenabian hanyalah baru merupakan teks yang didengar (an-nash al-masmû’) yang disampaikan dari lisan ke lisan. Namun, dengan tidak mengesampingkan budaya tulisan, kalam insani mampu “mewujud” menjadi teks yang dapat dibaca (an-nash al-maqrû’).
Entitas sakralitas kalam ilahi yang tidak berdimensikan ruang dan waktu, ketika Al-Quran menjadikan manusia sebagai objek sasarannya, maka proses penurunnya akan bersinergi dengan ruang dan waktu yang menjadi ciri keber-ada-an manusia. Perbedaan ruang dan waktu, meniscayakan pengalaman kebudayaan yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, Al-Quran turun secara bertahap dan tidak serta merta langsung utuh. Pada titik ini, periode makki dan madani berhak memiliki karakter teks tersendiri sebagai konsekuensi logis dari persinggungan Al-Quran dengan budaya; budaya masyarakat Makkah dan budaya masyarakat Madinah.
Bagi Nashr Hamid Abu Zaid, baik periode Makkiyah maupun Madaniyyah, bukan hanya keduanya berbeda latar kesejarahan dan gaya kesusastraannya, melainkan juga memiliki peran masing-masing dalam membentuk kesadaran masyarakat Arab pada saat itu. Nasr Hamid Abu Zaid menyatakan bahwa periodisasi wahyu ke dalam Makkiyah dan Madaniyyah memiliki dua fungsi; pertama sebagai pembentukan masyarakat, kedua sebagai pengembangan masyarakat.
Persinggungan Al-Quran dan budaya Arab di Makkah dan Madinah memunculkan relasi kuadrik timbal-balik. Relasi kuadrik timbal-balik ini dibahasakan oleh Nasr Hamid Abu Zaid dengan Al-Quran sebagai produk budaya (muntaj ats-tsaqâfah), karena tidak jarang penurunannya dilatarbelakangi oleh faktor-faktor budaya di Arab, sekaligus sebagai produsen budaya (muntij li ats-tsaqâfah) karena misi sucinya adalah merubah budaya lama menuju budaya dan peradaban kemanusiaan yang baru.
Pemetaan dua tipologi eksistensial ayat-ayat Al-Qur’an secara antropologis ke dalam Makki dan Madani menegaskan bahwa teks mampu berinteraksi dan beradaptasi dengan realita yang hidup. Relasi dialektis antara Al-Qur’an sebagai teks wahyu dan budaya sebagai cara hidup manusia meniscayakan kehadiran bahasa sebagai media pengantar agar keduanya dapat berintegrasi dengan ideal. Sebab bahasa adalah produk budaya sekaligus sebagai simbol entitas kemanusiaan, maka Al-Qur’an sudah barang tentu akan mengakomodir hal-hal yang berkaitan dengan kemaslahatan hidup manusia secara keseluruhan.
Selain praktik budaya sosial yang banyak diubah oleh Al-Quran, makna bahasa literal pun juga demikian. Bahasa-bahasa yang maknanya sederhana secara etimologis dalam budaya manusia, ketika digunakan oleh Al-Quran seringkali bergeser maknanya, tidak hanya menjadi tuntunan praktis peribadatan namun juga tentang ajaran nilai-nilai etis kemanusiaan, seperti kata takwa dan zakat, misalnya. Takwa yang secara etimologis dalam budaya bahasa manusia adalah tentang ketakutan agar menjauh dan menghindar, namun ketika digunakan dalam konteks keagamaan, ia beralih makna menjadi terminologi untuk mendekat agar semakin akrab. Pun demikian zakat yang secara etimologis dalam budaya bahasa hanya berarti membersihkan/mensucikan, ketika digunakan oleh Al-Qur’an, zakat memendarkan makna terminologis menjadi membudayakan kepedulian sosial atas nama kemanusiaan.
Berdasarkan jaring lingkaran pemahaman di atas, pergumulan dialektika teks (nash), manusia (al-insân) dan realita (al-wâqi’) yang mengitarinya merupakan kesatuan hermeneutis yang tidak bisa dipisahkan. Dengan kesadaran ini, diskusi tentang budaya beragama yang antroposentris dapat dientitaskan. Pada titik ini, kajian living qur’an menemukan pijakan paradigmatiknya.
| Dosen UIN Kalijaga, Pengurus Lakpesdam PWNU Jogjakarta, menulis beberapa buku, di antaranya, Logika Ushul Fikih (Editor) dan Filsafat Hukum Islam Indonesia; Sakralitas dan Pluralitas (2019).
Tinggalkan Balasan