Otoritarian vs Egalitarian dalam Tafsir – Serial Kaji Hermeneutika Qur’an

Hijrian Angga Prihantoro |

Berupaya memahami kehendak Tuhan melalui penafsiran dan mengatasnamakan Tuhan terhadap hasil penafsiran adalah dua hal berbeda yang menarik untuk didiskusikan. Yang pertama tentang kesadaran otoritatif dalam aktivitas penafsiran. Sementara yang kedua tentang ketaksadaran penafsir terhadap otoritasnya. Khaled Abou El-Fadl dalam Speaking in God’s Name dengan tegas menyatakan bahwa keraiban ke-otoritatif-an dalam diri penafsir akan mengakomodir pola penafsiran yang otoritarian. Tanpa otoritas yang jelas, bagi Khaleed, sang penafsir justru akan memproduksi ritme penafsiran yang tidak egalitarian.

Dalam al-Ma’rifah wa as-Sulthah fî at-Tajarrubah al-Islâmiyyah, Abdul Majid Shaghir mengutarakan hasil penelitiannya bahwa relasi kuasa dan kecenderungan minat politik sang penafsir mengambil peran penting dalam segenap aktivitas penafsiran yang ia lakukan. Pada titik ini, bagi Shagir, eksploitasi politik terhadap teks-teks keagamaan (al-istighlâl as-siyâsiy li an-nash ad-dîniy) merupakan salah satu kran pembuka model-model penafsiran yang otoriter, tidak egaliter.

Pada bagian-bagian terdahulu (baca kelima artikel sebelum ini yang juga dimuat dalam fikih.id) telah dijelaskan bahwa sepeninggal Nabi Muhammad saw., Islam hadir dengan diwakili oleh teks wahyu. Terlepas dari perdebatan teologis apakah Al-Qur’an itu qadîm atau makhlûq, Al-Qur’an sebagai teks primer yang pada awalnya berupa al-khitâb al-ilâhî di mana hanya Tuhan, Jibril dan Rasul yang mengetahui ‘wujud’ aslinya, kini telah berubah menjadi teks terbuka yang dapat diinterpretasikan oleh siapa saja. Perubahan wujud wahyu dari oral ke tulisan meniscayakan beragam pembacaan terhadap teks-teks keagamaan.

Relasi diskursif antara kuasa politik dan dinamika keilmuan meniscayakan perbedaan pemaknaan terhadap teks-teks keagamaan. Keduanya dalam peradaban Islam merupakan hasil dari olah nalar pembaca (reader) atau penafsir (interpreter) terhadap teks-teks keagamaan (religious texts) yang tentunya setiap masing-masing dari tokoh sentralnya memiliki latar belakang prakonsepsi yang berbeda-beda. Perbedaan prakonsepsi inilah sejatinya yang nanti akan menentukan model penafsiran dalam mengurai makna-makna teks keagamaan tersebut.

Proses mengurai kembali makna awal (at-ta’wîl) dapat dipahami sebagai upaya hermeneutik jika dilakukan dalam lingkar dialektik antara teks, pembaca dan konteks zamannya. Karena, menurut Nashr Hamid Abu Zaid dalam Mafhûm an-Nash, apa yang ada pada tubuh teks  (mâ fî an-nash) tidak serta-merta hadir begitu saja di tengah kehidupan masyarakat tanpa adanya realita yang mengitarinya (mâ hawl an-nash). Pada titik ini, corak penafsiran apakah ia otoritarian atau egalitarian dapat ditengarai dengan sejauh mana penafsiran tersebut mempertimbangkan sisi-sisi historisitas teks dan konteks humanitariannya sekaligus.

Jika kami diminta untuk memberikan contoh kajian penafsiran terhadap teks-teks keagamaan, yang di dalamnya membahas tentang corak penafsiran otoritarian atau egalitarian, dalam konteks kekinian secara umum, buku al-Khilâfah al-Islâmiyyah karya Muhammad Sa’id Al-Asymawi dapat diketengahkan. Karya tersebut sengaja dihadirkan oleh Al-Asymawi sebagai jawaban akademik atas tafsir-tafsir otoriter Ikhwanul Muslimin terhadap teks-teks keagamaan yang berkenaan dengan fenomena pengkafiran dan pemerintahan dalam Islam. Lebih dari itu, Abdul Jawwad Yasin dalam as-Sulthah fî al-Islâm (dua jilid) mengupas lebih dalam tentang bagaimana penafsiran yang otoriter terhadap teks-teks keagamaan dapat berproses menjadi akidah dan ideologi politik, yang kemudian memainkan peran dalam catur perpolitikan pada zamannya.

Berdasarkan kedua buku tersebut, kita akan dapat memahami bahwa dialektika agama dan negara, utamanya tentang bentuk pemerintahan, apakah republik, teokrasi atau monarki, dengan sistem demokrasi atau bahkan harus menerapkan syari’at Islam melalui semangat khilâfah sebagai akidah dan ideologi politik, dalam ruang publik masih menyisakan masalah-masalah yang mendasar. Secara umum, negara-negara dengan penduduk yang secara statistik muslimnya mayoritas, menghadapi kendala yang sama, yakni munculnya ragam penafsiran otoriter terhadap teks-teks keagamaan.

Berkenaan dengan hal tersebut, ada satu penelitian menarik tentang bagaimana dialog yang ideal antara agama (Islam) dan negara itu dilakukan. Adalah al-Islâm wa Insâniyat ad-Dawlah (Islam and the Humanity of the State) karya Sa’duddin Hilali, seorang pakar kajian Islam yang juga merupakan guru besar di Universitas Al-Azhar, Mesir. Dalam bukunya, Hilali mengulas tentang bagaimana relasi antara agama dan negara dapat didialogkan melalui diksi kalimatun sawâ’. Buku dengan tebal 326 halaman tersebut, menurut hemat kami, mampu merepresentasikan penafsiran yang egalitarian, karena di dalamnya sangat kental dengan spirit humanitarian. Untuk lebih jelasnya mengenai uraian kritis terhadap ketiga buku tersebut serta bagaimana corak penafsiran yang otoritarian dan egalitarian saling berkontestasi dalam pemikiran politik Islam, silahkan baca artikel kami “Enigma Politisasik Teks; antara Otoritarian dan Egalitarian” yang dipublikasikan oleh Jurnal Mutawatir UIN Sunan Ampel Surabaya, edisi Juni tahun 2017 silam.

Dalam konteks keindonesiaan, misalnya, buku Laskar Jihad; Islam, Militancy, and the Quest for Identity in Post-New Order Indonesia sebagai hasil penelitian Prof. Noorhaidi Hasan, yang juga merupakan guru besar dalam bidang kajian Islam dan politik, sekaligus sebagai Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga serta ketua Ikatan Sarjana NU (ISNU) Yogyakarta, menarik untuk kita amati. Dengan otoritas akademik yang dimiliki oleh Prof. Noorhaidi, ulasan-ulasan kritis di dalamnya tentu sangat otoritatif. Buku tersebut, menurut hemat kami, dengan kajian yang terstruktur dan sistematis, berhasil mendeskripsikan bagaimana gerakan yang lahir dari corak penafsiran otoritarian mampu menembus, mengadaptasi diri dan bertahan hidup di Indonesia bahkan hingga saat ini.

Lain dari itu, dua karya magnum opus KH. Abdurrahman Wahid, yang akrab di sapa dengan Gusdur, tentu patut diabadikan dalam nalar kritis kita sebagai manusia yang bukan hanya beragama, tetapi juga bernegara Indonesia sekaligus. Gusdur, dalam “Ilusi Negara Islam” sangat apik menjelaskan dengan detail bagaimana gerakan-gerakan islamisme menafsirkan teks-teks keagamaan secara otoriter. Uniknya, apa yang oleh gerakan Islam politik diyakini sebagai inti ajaran agama, dimentahkan oleh Gusdur dengan nalar kritisnya. Dengan tegas dan berani, Gusdur mengambil sikap bahwa ‘Negara Islam’ itu hanya ‘Ilusi’.

Pun demikian dengan “Islamku, Islam Anda dan Islam Kita”. Melalui buku tersebut, Gusdur telah mengajarkan dan mengarahkan kita tentang bagaimana menafsir teks-teks keagamaan dengan perspektif yang egalitarian, khususnya dalam konteks keindonesiaan. Pada titik ini, kalam suci Gusdur bahwa “Tuhan tidak perlu dibela” merupakan sabda akademik yang sarat akan makna teologis dan humanis sekaligus.

Wallahu A’lam.

| Dosen UIN Kalijaga, Pengurus Lakpesdam PWNU Jogjakarta, menulis beberapa buku, di antaranya, Logika Ushul Fikih (Editor) dan Filsafat Hukum Islam Indonesia; Sakralitas dan Pluralitas (2019).

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *