Hijrian Angga Prihantoro |
Salah satu fungsi kehadiran Nabi, melalui sunah-sunahnya (qawliyah, fi’liyah dan taqrîriyah), adalah untuk menegaskan (ta’kîd), menjelaskan (tabyîn), memberikan pembatasan (taqyîd) dan merinci secara detail (takhshîsh) tentang apa saja yang tersurat dan tersirat di dalam Al-Quran. Selama Nabi masih sugeng, segala persoalan umat langsung ditanyakan kepadanya, atau paling tidak, mendapatkan restu darinya bahwa memang demikian adanya seperti yang dikehendaki oleh Tuhan.
Baru sepeninggal Nabi, upaya menjelaskan dan mengurai makna Al-Quran (tafsîr) memasuki babak baru. Jika pada saat Nabi masih sugeng, Al-Quran hadir sebagai respon atas fenomena-fenomena yang terjadi di sekitar Nabi, setelah wafatnya Nabi, Al-Quran menjadi rujukan primer umat Islam. Pada titik ini, pembacaan pertama manusia biasa terhadap Al-Quran dimulai.
Ketika Umar bersikeras menolak kenyataan bahwa Nabi telah tiada, Abu Bakar menentramkannya dengan bunyi surat Ali Imran ayat 144. Riwayat ini menyiratkan bahwa Al-Quran sebagai wahyu yang pada awalnya hanya diturunkan kepada Nabi, kini berstatus menjadi teks yang mandiri yang bisa didekati oleh siapa saja. Menurut Andrean Gorke, dalam Redefining the Borders of Tafsir: Oral Exegesis, Lay Exegesis and Regional Particular, apa yang dilakukan oleh Abu Bakar terhadap Umar dengan membacakan Al-Quran merupakan sebentuk tafsir oral-kontekstual. Yakni, sebuah upaya penafsiran perdana terhadap Al-Quran sekaligus mengajarkan kepada kita bahwa Al-Quran, dengan surat-surat dan ayat-ayat di dalamnya, tetap mampu berbicara kepada manusia.
Problem pertama yang muncul ketika berbicara dengan Al-Quran adalah memahami bunyi dan gaya bahasa Al-Quran itu sendiri. Meskipun Al-Quran merupakan kalam ilahi, namun sebagai bentuk kepedulian Tuhan kepada manusia, Al-Quran hadir dengan bahasa manusia. Meskipun demikian, bahasa Al-Quran selalu menyimpan jutaan makna walau hanya dari beberapa susunan kata. Itulah sebabnya, pola penafsiran klasik senantiasa berupaya untuk mengurai kata perkata untuk mengais makna-makna, baru kemudian ditafsirkan berdasarkan sebab-sebab turunnya ayat lantas dikomunikasikan dengan realita kontekstual sang penafsir.
Para penafsir klasik, semahir apapun keahlian linguistiknya, tidak serta merta langsung mendedah makna kata-kata dalam Al-Quran. Upaya pendekatan terhadap Al-Quran harus dilakukan dengan menggunakan “entitas fenomenologis” yang memiliki relasi paling intim dengan Al-Quran itu sendiri. Salah satu cara terbaik mendekati Al-Quran adalah dengan menyandingkan “saudara kandungnya”, yaitu hadis-hadis Nabi. Oleh sebab itu, Imam Al-Syafi’i, dalam Al-Risalah, dalam konsep al-bayan al-khamsah, setelah mencontohkan bayan al-quran bi al-quran, langsung memposisikan hadis-hadis nabi sebagai bayan lanjutan. Hal ini mengindikasikan bahwa hadis-hadis nabi memiliki peran vital dalam setiap upaya penafsiran teks-teks Al-Quran.
Peristiwa tahkîm dalam rekam jejak sejarah politik antara Ali bin Abi Thalib dan Khawarij adalah bentuk lain dari bagaimana cara manusia menafsirkan teks Al-Qur’an. Dengan mengutip bunyi surat Al-An’am ayat 57, Khawarij menuduh Ali telah menyalahi hukum Tuhan, kerena ia dianggap tidak benar-benar memberlakukan hukum Tuhan, maka dengan demikian, Ali dianggap telah kafir. Berangkat dari pra-asumsi penafsiran ini, bagi Khawarij, siapa pun yang telah dianggap kafir, maka halal darahnya dan wajib diperangi.
Ketaksadaran Khawarij terhadap batas penafsiran mengakibatkan tertutupnya ragam pintu penafsiran yang lain. Bagi Khawarij, hanya ada satu sudut pandang penafsiran, yakni versi mereka sendiri. Pemahaman laku interpretatif ini, pada dasarnya justru menjebak Khawarij dalam kungkungan klaim kebenaran semata. Oleh sebab itu, bukanlah hal yang mengagetkan jika penafsiran mereka hadir dengan wajah yang otoritarian.
Pertanyaan hermeneutiknya adalah jika semua bisa menjadi penafsir dan bebas menafsir, agar penafsiran tidak liar, siapa yang memiliki otoritas untuk berkata “cukup” dan pada titik yang seperti apa dan bagaimana penafsiran harus “dibatasi”?
Jika kita amati dengan cermat setiap peristiwa penafsiran yang otoritarian, niscaya kita akan menemukan sudut pandang penafsiran lain yang egalitarian.
Berangkat dari perilaku barbar Khawarij serta dakwaan mereka terhadap Ali, sebagaimana yang dikisahkan oleh Ath-Thabari, dalam sebuah pidatonya Ali bertutur: “Al-Qur’an hanyalah kitab suci yang tersimpan di antara dua sampul. Ia tidak berbicara, hanya manusia yang berbicara dengan mengatasnamakan Al-Qur’an. Lantas apa sebab kalian merasa berhak memerangi kami dan menumpahkan darah kaum muslimin? Demi Tuhan, seandainya kalian menyembelih ayam dengan cara seperti itu, sungguh itu perbuatan nista di hadapanNya. Bukankah kalian tahu, bahwa membunuh manusia yang jiwanya dijaga oleh agama adalah haram hukumnya?”
Lain dari pada itu, batas penafsiran juga dapat kita temukan dalam dialektika interpretatif antara ketataan perspektif Imam Asy-Syafi’i dan ideologi politik kuasa tangan Tuhan versi fatwa ulama’ kesultanan dinasti Abbasiyah. Dengan menyitir bunyi surat Annisa ayat 59, ulama kesultanan dinasti Abbasiyah menyatakan bahwa menaati, patuh dan tunduk terhadap segenap instruksi sultan selaku penguasa (ulil amri) sama halnya dengan menaati, patuh dan tunduk terhadap Allah dan RasulNya.
Berkenaan dengan ini, Imam Syafi’i dalam Ar-Risalah menegaskan bahwa ketaatan kepada penguasa/pemerintah dalam ayat tersebut tidak berlaku mutlak. Artinya, segenap instruksi dari penguasa/pemerintah perlu dikaji terlebih dahulu dari sisi legal dan moralnya sekaligus. Tidak ada kewajiban tunduk pada otoritas ulil amri bila berkenaan dengan hal-hal yang tak sejalan dengan maqashid syariah.
Wallahu a’lam.
| Dosen UIN Kalijaga, Pengurus Lakpesdam PWNU Jogjakarta, menulis beberapa buku, di antaranya, Logika Ushul Fikih (Editor) dan Filsafat Hukum Islam Indonesia; Sakralitas dan Pluralitas (2019).
Tinggalkan Balasan