Teks, Budaya dan Islam (di) Nusantara – Serial Kaji Hermeneutika Qur’an

Hijrian Angga Prihantoro |

Mendiskusikan praktik keislaman di Nusantara meniscayakan wacana dialektika agama dan budaya. Mendefinisikan agama, dalam hal ini Islam, menurut Carl W. Ernst dalam Following Muhammad; Rethinking Islam in The Contemporary World, tidaklah tepat jika Islam hanya dikatakan sebagai doktrin ketauhidan semata. Karena pada kenyataannya, Islam lebih dari pada itu. Paling tidak, lanjut Ernst, Islam dapat didefinisikan dengan dua tipologi eksistensial; pertama, Islam sebagai agama (religion), yakni sebuah sistem kepercayaan dan ritual peribadatan; kedua, Islam sebagai peradaban (civilization), yakni tentang kematangan disiplin-disiplin ilmu pengetahuan di dalamnya yang senantiasa mengawal gerak laju manusia secara umum, dan umat muslim secara khusus.

Jika memang demikian, itu berarti Islam tidak hanya berurusan dengan hal-hal sakral, seperti konsep ketuhanan dan kenabian, melainkan juga berkaitan dengan perkara-perkara yang plural tentang kemanusiaan dan kebudayaan. Sebab ini, James Fosyth dalam Psychological Theories of Religion menyatakan bahwa agama senantiasa memperhatikan fenomena-fenomena kemanusiaan, di mana budaya termasuk salah satunya. Persinggungan manusia dengan agama yang diyakininya dan budaya yang dijalankannya membentuk kesadaran beragama dengan berbudaya. Artinya, tanpa budaya, agama tidak akan pernah benar-benar dapat dipahami secara utuh dan menyeluruh. 

Letak geografis dan sejarah Nusantara yang jauh dan berbeda dari peradaban Arab-Islam meniscayakan bahwa Islam di Nusantara berhak memiliki karakter budaya keagamaan yang mandiri. Kaitannya dengan hal ini, Hassan Hanafi dalam Dirâsât Falsafiyyah menyatakan bahwa peradaban dan tradisi sebuah masyarakat tertentu tidak bisa dipaksakan untuk diterapkan sama persis pada masyarakat yang memiliki peradaban dan tradisi yang tidak sama. Namun jika memungkinkan, tentu tidak dalam bentuk praktisnya melainkan pada nilai-nilai esensialnya. Karena masing-masing masyarakat memiliki latar belakang sejarah dan kondisi sosial-budaya yang berbeda-beda. Tentu hal ini selaras dengan bunyi ayat ke-13 dalam surat Al-Hujurat.

Nusantara, idealnya dimaknai sebagai terma kultural. Bukan sebagai istilah formal, seperti Indonesia. Hal ini berfungsi agar cara berislam di Nusantara tidak dihadap-hadapkan dengan eksistensi negara. Artinya, Islam Nusantara hadir justru untuk meneguhkan identitas kebangsaan Indonesia itu sendiri. Sebagai sebuah gagasan beragama dengan kesadaran berbudaya, Islam Nusantara pertama kali diketengahkan oleh NU pada Muktamar ke-33 di Jombang dengan tema “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia” pada tahun 2015 silam.

Dengan tema besar tersebut, NU sepenuhnya menyadari bahwa di tengah arus gempuran globalisasi, budaya merupakan salah satu pilar untuk menjaga eksistensi sebuah negara agar tidak runtuh oleh anak sejarahnya sendiri. Pada titik ini, Islam Nusantara hadir sebagai bentuk nasionalisme modern dalam beragama dari para santri untuk Ibu Pertiwi.

Islam memiliki nilai ajaran yang universal namun mengizinkan bentuk praktik yang tidak tunggal. Nilai ajaran Islam yang universal merupakan entitas keberagamaan yang dapat diterima oleh siapa saja yang meyakininya, di mana saja tempatnya dan kapan saja waktunya. Namun, ketika nilai keagamaan yang universal tersebut bersinggungan dengan tradisi sosial-budaya dalam sebuah lingkungan masyarakat tertentu, sekali lagi, praktik keagamaannya berhak untuk tidak seragam.

Kaitannya dengan hermeneutika Al-Qur’an, setidaknya Islam Nusantara sebagai sebuah gagasan yang mempertimbangkan keadaan antropologi sosial dapat menjawab keraguan Mohammed Arkoun. Dalam Al-Qur’ân min at-Tafsîr al-Mawrûts ilâ Tahlîl al-Khitbâb ad-Dîniy, Arkoun menyatakan bahwa negara-negara yang penduduknya mayoritas muslim, seperti Arab, Turki dan Indonesia masih belum benar-benar dapat memproduksi gagasan keagamaan dengan ritme ilmu-ilmu sosial. Al-Qur’an, bagi Arkoun, selain harus didekati dengan penafsiran linguistik, ia juga harus didekati dengan perpektif antropologis. 

Nah, Islam Nusantara hadir untuk menjawab tantangan tersebut. Sebagai gagasan cara berislam di Indonesia, Islam Nusantara merupakan seperangkat perspektif  untuk memahami nilai-nilai esensial ajaran keagamaan dengan senantiasa mempertimbangkan latar belakang budaya masyarakat Nusantara yang berbeda-beda. Di sini, Islam Nusantara berhasil menunjukkan bahwa cara kita beragama dengan kesadaran kebudayaan masing-masing dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Pada titik, Islam Nusantara dapat kita fungsikan sebagai socio-antropological theories of religion.

Lantas bagaimana aplikasi praktisnya? Kami akan sampaikan beberapa hal tentang pengalaman pribadi kami saat berada di Mesir dan Yordania. Ihwal ini guna memberikan gambaran konkrit atas  perbedaan karakter keagamaan Islam Nusantara dan budaya Arab-Islam itu sendiri.

Dalam surat Al-A’raf ayat 31, umat Islam diperintahkan untuk menutup aurat seraya mengenakan pakaian terbaik ketika hendak mendatangi masjid. Berkenaan dengan ini, ketika awal-awal setibanya kami di Mesir, selang beberapa hari kemudian adalah hari Jum’at. Sebagai santri dan mahasiswa baru yang masih memiliki spirit religiusitas yang tinggi, dengan kesadaran terberi, sebelum azan dikumandangkan, kami memutuskan berangkat lebih awal dengan mengenakan sarung, baju muslim dan juga kopyah hitam. Dalam perspektif kultural, apa yang kami kenakan merupakan pakaian terbaik sekaligus simbol etika paripurna seorang santri Islam Nusantara.

Namun ternyata di tengah perjalan, kami di panggil oleh salah seorang penjaga toko kelontong (ba’alah). Dengan tatapan penuh persoalan, ia bertanya: Anda hendak ke mana wahai anak muda? Dengan tegas kami menjawab: Tentu hendak pergi ke Masjid untuk melaksanakan shalat Jum’at. Jawaban kami langsung disambut dengan pekikan istirja’ olehnya, inna lillahi. Anda serius hendak pergi ke Masjid dengan mengenakan sarung (izar) seperti ini? Apakah Anda sadar? Apakah Anda tidak malu? 

Pertanyaan bertubi-bertubi itu berhasil memantik rasa keingintahuan kami, kira-kira apa yang salah dari semua ini? Karena penasaran, kami langsung menanyakan, memangnya kenapa? Dengan sabar ia menjelaskan bahwa dalam tradisi masyarakat Arab-Mesir, kain semisal sarung (izar) itu hanya digunakan dalam satu ruangan di dalam rumah; yakni hanya di kamar tidur saja. Bagi masyarat Arab-Mesir, mengenakannya di ruang publik adalah sebuah aib. Semerta kami langsung buru-buru pulang untuk segera ganti pakaian, lantas mengenakan celana jeans lalu berangkat kembali menuju masjid. Semenjak saat itu, kami memutuskan untuk tidak pernah mengenakan sarung ketika bepergian ke luar rumah.

Sarung sebagai simbol paripurna etika sosial, khususnya masyarakat Jawa di Nusantara, dapat berubah nilainya menjadi aib di belahan negara yang lain. Hal ini mengindikasikan bahwa perintah menutup aurat merupakan ajaran yang universal, namun tentang bagaimana modelnya dan apa yang dikenakan kembali kepada lokalitas budaya di mana ajaran keagaman tersebut diimplementasikan.

Lain dari pada itu, baik di Mesir maupun di Yordania, tidak ada pawai takbir keliling pada malam akhir Ramadan menjelang shalat Idul Fitri keesokan harinya. Jangankan hingga dilombakan dengan mengenakan berbagai macam atribut dari satu titik ke titik lain, dari satu masjid ke masjid lain, di Mesir dan Yordania akan tetap sepi-sepi saja. Masyarakat Mesir dan Yordania tidak mengenal budaya pawai takbir keliling sebagaimana kita di Nusantara. Dalil Al-Qur’an yang digunakan sama, yakni surat Al-Baqarah ayat 185 tentang perintah menyempurnakan hitungan Ramadan lantas bertakbir. Perintah untuk bertakbir inilah yang memungkinkan praktiknya berbeda. Di Mesir dan Yordania setelah salat berjamaah cukup hanya membaca takbir 7 kali, kita di Nusantara bersama-sama turun ke jalan mengumandangkan takbir dengan hati yang riang gembira.

Lantas apa yang kami lakukan di malam akhir Ramadan selama di Mesir dan Yordania? Kami biasanya memilih untuk belanja ke mall atau pasar tradisional guna mengumpulkan bahan makanan sebagai persiapan setidaknya untuk 7 hari ke depan. Baik di Mesir maupun Yordania, di hari lebaran, selepas shalat Idul Fitri, masyarakatnya kembali ke rumah masing-masing, toko-toko tutup, restoran tutup, bahkan jalanan akan sangat sepi. Semua ini berlaku sampai maksimal hari ketujuh pada bulan Syawal. Mereka tidak mengenal budaya halal bi halal, buka pintu-terima tamu selama kurang lebih satu minggu seperti budaya keislaman kita di Nusantara. Syukurlah, biasanya pihak KBRI atau organisasi kemahasiswaan mengadakan open house sehingga sesama warga negara Indonesia tetap dapat saling bertutur sapa.

Baik di Mesir maupun di Yordania, hemat pengalaman kami, tidak ada ngabuburit sambil bermain meriam bambu, tidak ada lebaran ketupat, tidak ada pengajian umum yang jama’ahnya sampai meluber ke jalan raya, tidak ada perayaan maulid Nabi yang dihadiri ratusan jiwa, tidak ada tahlilan dan yasinan bergilir setiap malam Jum’at, tidak ada kongkow-kongkow model maiyahan hingga dini hari, tidak ada pentas jatilan dan wayang kulit, bahkan tidak ada tradisi mudik. Jika semua itu kau hardik dengan bid’ah yang sesat, lantas nikmat seperti apa lagi yang kaukehendaki?

Bukan tanpa alasan mengapa di sana seperti itu, dan di Nusantara seperti ini. Bassam Tibi dalam Islam between Culture and Politic menegaskan bahwa corak budaya yang dihayati oleh komunitas muslim dapat hadir sebagai sistem nilai yang tidak bisa dipisahkan dari agama Islam itu sendiri. Sebab budaya ikut berperan aktif dalam kesadaran manusia ketika ia berupaya memahami dan merealisasikan ajaran-ajaran keagamaannya. Pada titik ini, Islam Nusantara sebagai teori sosio-antropologi agama menemukan pijakan paradigmatiknya.

Wallahu A’lam.

| Dosen UIN Kalijaga, Pengurus Lakpesdam PWNU Jogjakarta, menulis beberapa buku, di antaranya, Logika Ushul Fikih (Editor) dan Filsafat Hukum Islam Indonesia; Sakralitas dan Pluralitas (2019).

One Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *