Turunnya Wahyu Pertama

Muhammad pada usia 40 adalah seorang kepala keluarga yang bisa disebut mapan. Biduk keluarganya sangat damai. Kehidupannya harmonis. 15 tahun menikah dan saling mencintai. Ekonominya stabil. Hartanya tak sebanyak konglomerat Qurays lain, tapi ia termasuk saudagar sukses.

Lahir sebagai yatim, hidup di pengasingan gurun pasir pada usia menyusui hingga lima tahun, ditinggal ibunya setahun kemudian, terpaksa dipungut sang kakek dan sejak kecil harus menghidupi diri sendiri, lalu berpindah rumah tampungan ke atap rumah pamannya, Muhammad kecil belajar mandiri dan membuktikan diri. 

Sejak remaja terus menempa diri hingga menjadi ahli dalam berdagang. Kejujuran adalah apa yang paling menonjol dalam dirinya. Sejak remaja, bahkan juga sebelumnya, ia tekun bekerja dan habis perkara: Muhammad muda tak menunjukkan sedikit pun ambisi. 

Sampai kemudian menikah dan bangun keluarga bahagia, tak ada tanda-tanda itu. Ia tak pernah tampilkan diri secara menonjol dalam ruang-ruang publik Makkah.

Hanya satu peristiwa yang dikenang oleh ingatan kolektif warga Makkah di mana Muhammad tampil tunjukkan kualitas kepemimpinan dan kebijaksanaannya: peletakan kembali Hajar Aswad.

Bagaimanapun, menanjak usia 40, Muhammad rajin bertahannus, sebuah tradisi laku spiritual yang lazim dipraktikkan penganut agama Hanif yang dianut beberapa gelintir orang. Asingkan diri semedi dalam salah satu gua yang bersebaran di pinggiran kota. 

Dari sana, pada malam-malam gulita dan dingin, ia bisa melihat di bawahnya keadaan masyarakatnya dan di atasnya keagungan langit semesta.

Turunnya Wahyu

Entah apa yang dipikirkan beliau. Yang jelas, malam itu, 17 Ramadan 610 M, Malaikat Jibril mendatanginya. 

“Aku sedang hendak berdiri,” kisah Nabi sebagaimana dituturkan kemudian oleh Sa’idah Aisya, “Saat Malaikat Jibril mendatangi. Aku kemudian jatuh berlutut dan merangkak menjauh. Bahuku gemetar. Aku berpikir untuk melemparkan diri dari tebing curam di atas gunung, tetapi malaikat itu muncul lagi di hadapanku dan berkata, ‘Muhammad, aku Jibril dan Engkau adalah utusan Allah’.

“Kemudian malaikat itu berkata, ‘Bacalah!’ Aku berkata, ‘Apa yang harus aku baca?’ Dia meraihku dan memelukku dengan erat tiga kali sampai aku nyaris kehabisan napas dan berpikir aku akan mati, dan kemudian malaikat itu berkata, ‘Bacalah dengan nama Tuhan yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhankulah yang maha pemurah, yang mengajarkan dengan perantaraan kalam, Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”

Selimuti Aku

Riwayat Ibn Zubaidi melanjutkan kisah ini. Pikir Nabi, “Aku pasti seorang penyair atau orang gila.” Sendirian di pinggir kota, di dalam gua di atas bukit, malam gulita, ketakutan, menghawatirkan kewarasan diri, inilah hal paling logis yang dilakukan setiap orang: mencari perlindungan. Dan siapa lagi pelindung Muhammad jika bukan istrinya, Khadijah?

Muhammad turun berlari, gemetaran, menggigil nyaris tak terkendali. Sampai di rumah, beliau memohon Khadijah untuk memeluk dan menyembunyikan dirinya di balik selendangnya. “Selimuti aku, selimuti aku.”

Berbeda dengan reaksi Muhammad yang tak pernah menyangka akan pengalaman spiritualnya, Sayyidah Khadijah bereaksi seolah-olah hal ini merupakan apa yang selama ini sudah setengah ia duga, atau harapkan, atau prediksi.

Ketika Muhammad berulangkali menyatakan kekuatirannya, Sayyidah Khadijah hanya menggelengkan kepala dan berkata, “Semoga Tuhan menyelamatkanmu dari kegilaan, Sayangku. Tuhan tidak akan melakukan hal seperti ini kepadamu, karena Dia tahu ketulusanmu, keterpercayaanmu, dan kebaikan hatimu. Demi Dia yang di tanganNyalah jiwaku berada, aku berharap semoga Engkaulah nabi bagi umat ini.”

Nabi kemudian terlelap di pangkuannya.

Demikianlah kisah turunnya wahyu pertama itu.

One Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *