Nabi Ibrahim dan Keraguan

Daulat Candu H |

Nabi Ibrahim menempati posisi sangat istimewa dan unik dalam sejarah dan keyakinan agama-agama. Ia figur sentral yang ketiga agama samawi mengakui dan menghormati. Hal ini bisa dipahami, karena semua berawal dari Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim tidak hanya dikenal dalam tradisi, budaya dan literatur keislaman, tapi juga merupakan bagian integratif dalam tradisi, budaya dan literatur dua agama samawi Yahudi dan Nasrani.

Yahudi, Nasrani dan Islam, ketiganya lahir dari sejarah pencarian nilai-nilai Tauhid yang menghiasi seluruh perjalanan hidup Nabi Ibrahim sejak usia belia hingga wafatnya. Bahkan setelah beliau wafat, putra-putra dan keturunannya menyebar ke berbagai penjuru bumi Allah dan teruskan perjuangan dakwah Tauhid atau monoteisme. 19 dari 25 Nabi yang nama-namanya disebut dalam Al-Qur’an adalah anak keturunan Nabi Ibrahim. Tak heran Nabi Ibrahim dijuluki Abul Anbiya’, bapak para nabi.

Selain Abul Anbiya’, Allah SWT memanggil Nabi Ibrahim dengan berbagai gelar yang lain. Salah satunya, Khalilullah, kekasih Allah. Begitu istimewanya Nabi Ibrahim di sisi Allah. Begitu cintanya Allah kepada Nabi Ibrahim.

Nabi Ibrahim, atau Abram, atau Abraham, diriwayatkan banyak sumber lahir pada kisaran 2000 tahun sebelum Masehi di kota Ur yang masuk pada wilayah kerajaan Babylonia, yang sebagian pakar menyebutkan berasal dari dua kata Bab dan Looh, yang artinya kerajaan Gerbang Tuhan. Sebagaimana yang bisa kita pelajari dari buku-buku sejarah, kebudayaan Babylonia adalah kebudayaan kuno yang ada di wilayah Persia yang raja dan penduduknya menganut banyak ragam agama-agama politeis, menyembah banyak tuhan-tuhan dan sesembahan.

Jejak sejarah peradaban manusia paling awal bisa ditelusuri hingga pada 2300 SM. Adalah kebudayaan Sumeria, dinasti pertama yang muncul di Mesopotamia, bentuk paling awal struktur masyarakat yang terorganisir dan saling bekerjasama di bawah sebuah kepemimpinan dalam skala tertentu yang lebih besar daripada sekadar kepemimpinan tribal.

Kebudayaan Sumeria runtuh dan digantikan oleh kerajaan Akkadian pada kisaran 2100 SM, dengan pemimpinnya yang paling terkenal bernama Sargon. Akkadian kemudian runtuh dan digantikan oleh kerajaan Ur. Orang-orangnya disebut bangsa Kaldean. Pada era dinasti Ur inilah Nabi Ibrahim dilahirkan.

Nabi Ibrahim lahir dan tumbuh pada masa akhir kejayaan kerajaan Ur, yang ditandai dengan dekadensi mental dan moral berbagai elemen masyarakat, memberikan nabi Ibrahim banyak sekali materi untuk direnungkan. Ayah nabi Ibrahim adalah perajin patung, yang banyak dipesan orang untuk kemudian mereka sembah. Hal ini memberikan sebuah kesempatan bagi Ibrahim kecil untuk melihat dari dekat bagaimana tuhan-tuhan yang dibuat dari batu dipesan, dibentuk, diantar dan kemudian disembah-sembah.

Nabi Ibrahim lahir dan tumbuh tidak dalam ruang hampa. Sebagai anak perajin patung yang disembah-sembah, kita dapat membayangkan bagaimana Ibrahim kecil selalu diperintahkan ayahnya untuk ikut segala macam prosesi peribadatan patung. Pada titik inilah Allah SWt memberikan sebuah anugerah besar atas Ibrahim muda, yang membuatnya menjadi ‘awwalu muslimin’, kekasih Allah, bapak para Nabi, dan seorang hanif yang menyembah Tuhan yang Esa: keraguan.

Al-Qur’an merekam sebuah percakapan antara nabi Ibrahim dan ayahnya, sang pembuat patung. Tentu tidak dalam bahasa Arab, meski Al-Qur’an merekam kisahnya dalam bahasa Arab. Dalam surat Maryam 41, dikisahkan:

“Suatu ketika Ibrahim bertanya kepada ayahnya, ‘Ayahanda, mengapa Engkau sembah yang tak bisa mendengar, tak bisa melihat, tak berguna?’”

Ayat 46 surat yang sama memuat jawaban ayahnya, “Ayahnya berkata, ‘Benci Engkau pada tuhan-tuhanku, Ibrahim? Teruskan dan aku akan merajammu. Pergilah jauh dariku!’” Dua ayat selanjutnya: “Ibrahim pun berkata, ‘Selamat tinggal. Aku akan pintakan ampun kepada tuhanku untukmu. Tuhanku sangat baik kepadaku. Aku akan pergi dari sini, darimu dan sesembahanmu selain Allah. Aku akan berdoa kepada Tuhanku. Semoga hasil doaku tidak mengecewakan.’”

Tampak jelas keraguan nabi Ibrahim atas kemampuan tuhan-tuhan yang tak bisa mendengar, tak bisa melihat, dan secara kasat mata tak bermanfaat. Dan Ibrahim dengan berani menanyakan dan mempertanyakan hal itu kepada ayahnya.

Keragu-raguan juga tampak dalam kisah pada bagian lain Al-Qur’an, yang merekam kontemplasi Ibrahim muda saat menengadahkan kepala ke atas dan memandang benda-benda langit. Pada surat Al-An’am, dikisahkan bahwa, “Kami hamparkan untuk Ibrahim kemegahan semesta langit dan bumi agar ia menjadi yakin. Ketika malam telah gulita dan ia melihat gemintang, ia berkata, ‘Inilah tuhanku’, namun ketika gemintang itu pudar, ia berkata, ‘Aku tidak yakin’. Lalu tatkala ia memerhatikan rembulan, ia berkata, ‘Inilah tuhanku’, namun ketika rembulan geser dan hilang, ia berkata, ‘Jika Tuhan tidak memberiku petunjuk, aku bisa sesat pikir’. Kemudian saat ia melihat matahari terbit, ia bersorak, ‘Inilah tuhanku. Ia paling besar. Namun saat matahari terbenam, ia pun berkata, ‘Wahai masyarakat, aku tak mau mengikuti persekutuan kalian’.

Demikianlah, Ibrahim muda berani meragukan apa yang telah menjadi kebenaran umum yang dianut dan diyakini oleh masyarakatnya. Keraguan dan ketidakyakinan ini mengantarkannya untuk merenung dan berpikir. Olah pikir dan perenungan Ibrahim muda atas fenomena semesta mmebuatnya meragukan segala hal dan sampai pada kesimpulan bahwa tuhan yang sebenar-benarnya tidaklah mungkin bagian dari semesta.

Lalu, dalam alam pikir Ibrahim muda, siapa sebenarnya Tuhan? Ia yakin Tuhan bukanlah patung sesembahan, bukan gemintang, bukan bulan dan bukan matahari. Namun, siapa? Pada titik inilah akal manusia, dalam hal ini Ibrahim muda, sampai pada titik jangkau terjauhnya. Keragu-raguan, ketidakyakinan atas kebenaran hasil olah pikir yang mandiri mengantarkan nabi Ibrahim pada keyakinan bahwa bila ia tak dibantu, tidak diberi hidayah oleh Allah SWT, maka ia hanya sampai pada separo jalan. Ia yakin tuhan bukan ini bukan itu. Tapi siapa sebenarnya Tuhan, akalnya tidak mengjangkau. Ia lalu berdoa untuk diberi petunjuk dan hidayahNya.

Bahkan saat nabi Ibrahim sudah diangkat menjadi nabi dan bisa berkomunikasi dengan Allah SWT, beliau pun tetap tidak menganggap buruk keraguan. Dalam surat Ibrahim ayat 260 dikisahkan bagaimana beliau bertanya kepada Allah, “Tuhanku, beritahu aku bagaimana Kau menghidupkan kembali yang sudah mati.”

Jawab Allah SWT, “Apa kau masih belum percaya?”

Nabi Ibrahim pun menjawab, “Tidak begitu. Aku sudah percaya. Biar hatiku tentram.”

Iman yang kritis dan terus terbarukan itulah yang bisa jadi membuat nabi Ibrahim istimewa di sisi Allah SWT. Bukan iman yang tompo resik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *