Dimanakah Allah Swt. Berada?

Bagus Wicaksono |

Pertanyaan tersebut biasa dilontarkan oleh orang-orang ektrimis untuk menguji iman dan tauhid muslimin terhadap Tuhannya. Kaum ekstrimis mensifati Allah Swt. berada pada suatu arah dan tempat, serta meyakini bahwa Allah Swt. berada di atas sana. Pernyataan seperti ini sangat bertolak belakang dengan hakikat Tuhan yang sebenarnya.

Lalu bagaimana menjawab pertanyaan tersebut?

Jawablah bahwa tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah Swt. Laisa kamitslihi syai’un. Seperti yang telah difirmankan dalam surat as-Syura ayat 11:

(لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِير)

Lalu katakan kepada penanya tersebut bahwa tidak seyogyanya kita memikirkan Zat Allah sebagai sesuatu yang memiliki bentuk dan rupa. Karena itu, sama saja kita beranggapan bahwa Allah Swt. serupa dan sama dengan makhluk-Nya yang terikat pada satu ruang. Lebih baik kita mentafakkuri tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah Swt. melalui ciptaan-Nya untuk mempertebal iman dan takwa.

Pertanyaan tentang hakikat keberadaan Allah Swt. yang didasari dengan kata “dimana” merupakan masalah yang berada dalam diskursus Ilmu Kalam (logika) dan Ushuluddin (teologi). Umat islam mengimani bahwasannya Allah Swt. bersifat wajib al-wujud, mutlak keberadaanya. Yakni tidak mungkin Allah bersifat ‘adam (tiada) dalam waktu singkat ataupun selamanya. Dan keberadaa-Nya tidak dipengaruhi/disebabkan  oleh apapun dan siapapun. Juga, sangat tidak masuk akal apabila Tuhan dapat dipengaruhi oleh ruang dan waktu, karena Ialah Sang Pencipta ruang dan waktu.

Pertanyaan “dimana Allah berada” sungguh sangat tidak pantas untuk Allah Swt. Karena tujuan dari pertanyaan ini adalah memverifikasi letak dan arah sesuatu. Sedangkan letak dan arah merupakan hal yang bersifat nisbi yang dapat terlihat/terukur dengan pasti jika dibandingkan dengan sesuatu yang lain. Contohnya seperti kalimat “langit berada di atas”. Maka langit akan berada di atas berdasarkan posisi manusia dan juga bisa berada di bawah berdasarkan posisi langit lain yang lebih tinggi.

            Sayyiduna Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah berkata

 (كان الله ولا مكان وهو الآن على ما عليه كان)[1]

Dialah Allah yang ada (sejak zaman azaliy) dan tidak bertempat, dan Ia sekarang berada sama seperti Ia dahulu (zaman azaliy)“.

Imam Abu Hanifah Ra. pernah berkata :

(قلت : أرأيت لو قيل : أين الله تعالى؟ يقال له : كان الله تعالى ولا مكان قبل أن يخلق الخلق، وكان الله تعالى ولم يكن أين ولا خلق ولا شيء، وهو خالق كل شيء)[2]

“Aku berkata. Apa pendapatmu apabila dikatakan “Dimana Allah Ta’ala berada?” Katakanlah kepadanya “Dialah Allah tidak bertempat sebelum menciptakan alam semesta, dan Allah ada (sejak zaman azaliy) dan tidak berada dimanapun dan saat tidak adanya makhluk atau sesuatu, dan Dialah pencipta segala sesuatu.”

Imam Syafi’i Ra berkata

(إنه تعالى كان ولا مكان، فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان، ولا يجوز عليه التغير في ذاته، ولا التبديل في صفاته)[3]

“Sesungguhnya Allah ada (sejak zaman azaliy) dan tidak bertempat, lalu Ia menciptakan tempat dan Ia tetap dalam sifat azaliyyah-Nya sama seperti sebelum menciptakan tempat. Dan tidak boleh (mungkin) berubah zat-Nya, dan tidak mungkin berganti sifat-Nya.”

Kemustahilan mensifati Allah Ta’ala berada di suatu tempat atau arah berangkat dari keyakinan umat islam bahwa Allah Ta’ala bersifat qodim (terdahulu). Serta keberadaan-Nya tidak diawali dengan sebuah permulaan apapun. Pemahaman ini diperoleh dari firman Allah dalam surat al-Hadid ayat : 3 (هُوَ الأَوَّلُ) Dialah yang pertama. Dari sabda Nabi Saw:

(أَنْتَ الأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٌ)

Engkaulah yang pertama, dan tidak ada sesuatupun sebelum Engkau.”  Maka sifat Allah ta’ala al-qidam menafikan eksistensi suatu zat sebelum Allah Ta’ala.

Penetapan terhadap letak dan arah seperti ini mengisyaratkan bahwa Allah Ta’ala berada di atas hanya setelah Ia menciptakan alam semesta. Dan sebelum menciptakan semesta Ia pun belum berada di atas karena belum adanya sesuatu di bawah-Nya. Maka sifat “berada di atas” merupakan sesuatu yang haditsah (baru), yang diakibatkan oleh adanya makhluk. Dan sifat ini sangat tidak pantas untuk disematkan pada Allah Ta’ala.

Muslimin di seluruh dunia mengimani bahwa Allah bersifat mukholafatu lilhawaditsi, yakni berbeda (hakikat) dengan seluruh makhluk-Nya. Yang mengakibatkan tidak adanya unsur bentuk/substansi (jirmiyyah) dan aksiden (‘aradhiyyah), universal (kulliyyah) dan parsial (juziyyah) pada dzat Allah ta’ala. Karena substansi selalu bergantung pada suatu ruang/dimensi, dan eksistensi aksiden selalu bergantung pada substansi. Lalu sesuatu yang universal cenderung besar dan rentan akan pembagian, dan parsial condong kepada sesuatu yang kecil.

Lalu setan akan membisikkan pada pikiran manusia: “Apabila tuhan tidak memiliki substansi dan aksiden, juga tidak universal ataupun parsial, lalu apa hakikat tuhan itu?” Maka katakanlah dalam jawabanmu “Tidak ada yang mengetahui (hakikat) Allah kecuali Allah.”

Sahabat Ubay bin Ka’ab Ra. meriwayatkan bahwa orang-orang musyrik berkata kepada Rasulullah Saw. “Wahai Muhammad, sebutkanlah nasab Tuhanmu kepada kami! Kemudian Allah menurunkan ayat

 (قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ * اللَّهُ الصَّمَدُ * لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ * وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ)

“Katakanlah (Muhammad) “Dialah Allah yang maha Esa. Allah adalah Rabb yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia” (Qs, Al-Ikhlas 1-4).

Karena tidaklah sesuatu yang dilahirkan kecuali dia akan mati, dan tidaklah sesuatu yang mati kecuali dia akan meninggalkan warisan. Sungguh Allah tidak akan pernah mati dan tidak pula meninggalkan warisan. Dalam surat ini Allah Swt. menjelaskan sifat-Nya yang agung, yang jauh dari segala kekurangan dan keserupaan yang tidak sesuai dengan-Nya.

Dengan ini pula, mukmin sejati akan semakin yakin bahwa Allah mukhalafatu lilhawadits, dan tidak akan mensifati Allah Swt. dengan segala sesuatu yang hadits, serta tidak akan mempertanyakan dimana tempat/arah zat Allah berada. Melainkan akan senantiasa memperhatikan, mentadabburi dan mentafakkuri ciptaan-ciptaan Allah Swt. sebagai bukti nyata keberadaan-Nya. Wallahu a’alam.

Rujukan :

[1] Al-Farqu baina al-Farq. Abu Mansur Al-Bagdadi. Jilid 1 hal. 321.

[2] Al-Fiqh al-absath. Imam Abu Hanifah. Hal. 25

[3] Ittihaf as-Saadah al-Muttaqin. Muhammad bin Muhammad al-Husaini az-Zabidiy. Jilid 2. Hal. 24

*Santri asal Bogor, saat ini sedang menempuh pendidikan di Universitas Al-Azhar Mesir.

Share

Pengasuh: Dr. Mahmudi Muhson, Lc. MA. Dr. Ahmad Ikhwani, Lc. MA. Dr. Aang Asy'ari, Lc. M. Si. Dr. Bakhrul Huda, Lc. M. E. I. Dr. Ahmad Subqi, Lc. M. Ag. Ahmad Hadidul Fahmi, Lc. Muhammad Amrullah, Lc. Imam Nawawi, Lc. MA.

One Comment

  1. Winarno Reply

    Bapak senang apa yang nanda tuliskan semoga manfaat bagi yang membaca dan menambahkan keimanannya,dengan catatan punya dasar yang membenarkab dan sudah melalui tahapan koreksi atas kebenaran yang ditylis oleh pengasuh sebelum dipublikasikan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *