Anekdot – Gus Mus Sang Pendekar Silat

Kita mengenal sosok kiai Ahmad Mustofa Bisri, yang akrab dipanggil Gus Mus, selain sebagai seorang kiai sepuh yang teduh, juga seorang penyair, seorang penulis, seorang pelukis, seorang tokoh NU yang humoris, seorang ‘alim yang nasionalis. 

Tapi, tahukah Anda bahwa beliau waktu muda pernah mendapat julukan pendekar silat? 

Beberapa hari yang lalu saya diajak seorang kawan sowan kiai Mustofa Bisri. Tentu saja saya senang. Ya, sowan Gus Mus selalu menyenangkan. Selain bakal bisa rekues kopi gratis dan bila beruntung bisa dapat cicip-cicip Khong Guan isi rengginang, saya selalu menikmati cerita-cerita penuh hikmah dan hikmah-hikmah dalam kisah yang dituturkan beliau. 

Kami masuk ruang tamu ndalem beliau sekitar pukul sepuluh pagi. Di sana ternyata sudah banyak sekali tamu yang juga hendak sowan dengan berbagai keperluan. Di antara mereka ada tamu rombongan pendekar dari perguruan silat PSHT (Persaudaraan Setia Hati Terate) dan ada tamu rombongan Pimpinan Pusat GP Ansor ditemani Ketua PC. GP Ansor Kab. Rembang, dan Banser. Juga ada beberapa tamu alumni Universitas Al-Azhar Cairo. Ada juga tamu sepasang pengantin baru. Tapi yang terakhir ini kagak usah dibahas. Kasihan yang jomblo. 

Setelah sekitar lima belas menit kami para tamu menunggu, kiai Mustofa Bisri masuk ruang tamu dan menyalami satu-satu. Lalu menyapa semua: “Pripun kabaripun? Sehat-sehat semua?” 

Kami menjawab serempak. Lalu dengan penuh khidmat para tamu mendekat maju dan menyampaikan keperluan satu-satu. 

Sedangkan para tamu rombongan pendekar PSHT, pimpinan pusat GP Ansor-Banser, dan segelintir alumni Al-Azhar duduk menunggu. Lalu pada suatu titik tertentu, kiai Mustofa Bisri menyapa dan tanya-tanya kepada tamu rombongan pendekar. 

Mereka pun memperkenalkan diri. “Kami dari PSHT, Kiai. Perguruan silat Setia Hati.” 

Dengan penuh ramah dan wajah sumringah, kiai Mustofa Bisri menanggapi, “Wah! Pendekar!” Para pendekar itu tentu tersipu disebut begitu.

Dan tanpa kami duga, kiai Mustofa Bisri lalu berkata, dengan binar mata penuh nostalgia, “Saya dulu pernah diisukan sebagai pendekar!” 

Semua tamu tertawa. 

“Lhoh, beneeer!” ta’kid kiai Mustofa Bisri melihat semua tertawa. Dan mulailah beliau berkisah. Saya pun, bersama tamu yang lain, dengan senang gembira mendengarkan. 

“Dulu saya pernah dianggap pendekar. Lima tahun lamanya saya dianggap pintar silat,” kisah kiai Mustofa. Hadirin menyimak. Lanjut beliau, “Cuma dianggap saja. Aslinya tidak bisa.” 

Hadirin kembali gerrr. 

“Ini berawal dari isu yang dihembuskan seorang kawan dari Bugis. Waktu itu saya mahasiswa baru di Al-Azhar. Saat ketemu pertamakali, dia memerhatikan dan mengamati saya dari ujung kopiah hingga ujung sepatu. Lalu dia mendekat dan berkata, ‘Anda pendekar, ya?'” 

Gerrr. 

“‘Kok tahu?’ jawab saya, tidak mengiyakan dan tidak menegasikan,” lanjut Gus Mus. 

“‘Ya saya tahu, lah, seorang pendekar akan mengenali pendekar yang lain’, jawab si kawan Bugis.

“Wahaha, padahal saya nggak bisa silat. Berantem aja nggak berani. Tapi kemudian orang-orang pada takut sama saya. Wahaha.” 

Dan dengan diawali kisah yang demikian, nasihat Kiai Mustofa Bisri berikut ini langsung merasuk dalam hati: 

“Begitulah, isu, opini, seringkali lebih dipercaya daripada fakta. Orang lebih mudah menerima kebenaran isu atau opini yang ia dengar, daripada susah-sudah mengecek dan mencari kebenaran fakta.” 

Kami, para tamu, pun manggut-manggut, lalu menunggu giliran foto bersama. []

Dimuat pertama di SantriMbeling

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *