Santri 61 |
Bagong ; “Agama kita Islam itu gimana tho?”.
Gareng : “Maksudnya?”
Bagong : “Lha itu video muadzin di salah satu negara Arab ndak seperti adzan pada umumnya dan lagi kegiatan belajar mengajar diliburkan 2 pekan sebagaimana instruksi pemerintah pusat.”
Gareng : “Gini lho, seharusnya mendudukan Hukum Fikih bukan sebagai kebenaran ortodoksi tapi lebih luwes pamaknaan sosial. Kita ketahui di pesantren dulu, secara akta kelahiran Fikih lahir awal yang di prakarsai Nu’man bin Tsabit Abu Khanafi dari Kufah. Namun, Fikih tidak keluar dari metodologi Usul Fikih, Qowaiduhu dan Maqosiduhu. Karena Nabi kita Muhammad Saw. ketika mendapatkan wahyu sudah semestinya mencangkup esesni ‘Ilmu Fikih wa Usuluhu wa Qowaiduhu wa Maqosiduhu, bukan trinitas tapi شطر منه .
Baca Juga: SEKILAS TENTANG JALUR PERIWAYATAN MAZHAB
Masih ingat Izzudin Ibnu Abdissalam yang bergelar Sultonul Auliya dalam bukunya “Qawaidhul Ahkam fi Masalihil Anam” ada qoidah yang josh dan relevan sampai saat ini Dar’ulmafasid Muqodamun ‘ala Jalbulmassholih, dalam kitab “al-Asybah wa Nadzoir” merupakan furu’ dari salah satu lima Qoidah Kubru Dlorurotu la Yuzal.
Masih ingat juga ndak? Abu Barzah al-Aslami seorang Sahabat yang mengendarai kudanya kemudian sholat bersama Tabi’in. Singkat cerita kudanya lari, Tabi’in berkata : “Lihatlah orang tua itu, meninggalkan sholat karena seekor kuda.”
Dalam kata lain kedunyan, sahabat menjawab :”Banyak orang yang petentengan dalam beragama setelah pulangnya Rasulullah Saw. Rumahku jauh kalau kudaku lepas malam ini gak bisa sampai rumah”.
Baca Juga: Kisah Dua Salik Gundul
Alhasil, agama mengkalkulasi besarnya maslahat umat dengan meniadakan madhorot. Jadi, tentang fenomena sekarang ini merupakan esensi atau ruhul islam bagi yang mempelajari Islam secara baik dan benar bukan qoul ‘ulama baru. Dan juga, Nabi Muhammad Saw. bersabda : ” Tinggalkan laranganku dan kerjakan perintahku semampu kalian”, terus bagaimana dengan hukum maskut atau yang tidak mengandung larangan, perintah atau belum terjadi zaman Nabi Muhammad Saw? Itu bukan berarti haram akhi/ukhti, bisa jadi mubah, makruh atau sunah. Tinggal bagaimana ulama menganalisa dengan mempertimbangkan apakah bertabrakan dengan al-Qur’an, al-Hadist maupun kemaslahatan umat, bukan ustadz di sosmet atau televisi. (yo asline ra rela juga guru-guru kita disandingke ustadz lagi anyaran, ra grade)
Bisa bayangkan betapa enak beragama Islam zaman Nabi Muhammad Saw. masih sugeng, tapi aku pasti akan malu banget duduk sila muhadoroh satu majlis di Masjid Nabawi bersama Abu Bakar ash-Shidiq, Usman bin Affan, Umar bin Khatab, Ali bin Abi Thalib dan Sahabat yang lain dengan maestro muadzin Bilal bin Rabah. Dengan aku memandang iman, ilmu dan jembare dodo bisa jadi termasuk fasiq. Mengambil munajar Ibnu Athoillah As-sakandari :
إلهي أنا الجاهل فى علمي, فكيف لا أكون جهولا في جهلي
إلهي أنا الفقير في غناي, فكيف لا أكون فقيرا فى فقري
*Bernama lengkap Abdul Rouf Ali Syabana, alumnus Universitas al-Azhar Mesir.
Tinggalkan Balasan