Di suatu ruas jalan nan sempit, dekat pasar, tampak abang becak mengayuh pelan. Posisinya berada tengah-tengah jalur tunggal satu arah. Di tepian jalan, ada sekitar empat atau lima mobil bak terbuka (pikap) yang parkir paralel.
Saat itu, di belakang becak, sebuah mobil MPV membunyikan klakson bertubi-tubi.
Saya yang berdiri di kejauhan, melihat pemandangan ini dengan saksama. Kepala dijejali pertanyaan yang penuh “wow”, menyoal tujuan, fungsi, dan manfaat bunyi klakson tersebut. Pertanyaan demi pertanyaan berloncatan: Apakah tujuan membunyikan klakson di saat itu dan pada posisi seperti? Agar becak bisa ngebut? Tidak mungkin; apakah agar becak menyisi? Juga tidak mungkin karena ada mobil-mobil yang sedang parkir; apakah ia sebagai tanda kewaspadaan karena khawatir becak akan mundur mendadak? Tidak masuk akal, jalannya datar. Lalu, karena alasan apa klakson tadi dibunyikan?
Tak ada jawaban karena pertanyaan memang tidak dilontarkan. Tapi, saya punya perkiraan jawaban, yaitu karena si pengendara mobil tadi tidak biasa mempertanyakan semua pertanyaan tadi untuk jika hanya sekadar untuk menekan tombol klaksonnya; juga karena membunyikan klakson itu tidak perlu mengeluarkan pulsa, tidak tekor pulsa. Alasan lainnya; karena si pengemudi tersebut tidak pernah memasang dua klakson sekaligus pada mobilnya: satu klakson dipasang di luar, di balik bumper seperti biasa, dan satu lagi di pasang di dalam kabin, dekat dengan gendang telinganya sendiri, sehingga dia bisa berempati betapa bising dan sumbangnya suara klakson itu!
Masih tersisa satu pertanyaan lagi. Bagi pengemudi mobil MPV, apa susahnya, sih, kalau menunggu si abang becak melampai empat mobil itu lebih dulu untuk seterusnya menyisi dan dia bisa nyalip dengan leluasa? Paling hanya butuh 10 detik saja, waktu yang setara dengan menyeruput kopi tubruk, mengusap sisa ampasnya yang nempel di kumis (jika kumisnya seperti Eros Djarot atau Rano Karno), serta mengucap hamdalah, cuman segitu saja lamanya.
Jadi, sebetulnya, pernahkah kita berpikir serius untuk menimbang apakah manfaat klakson itu sebenarnya?
Pada kendaraan bermotor, klakson hanyalah kompartemen. Wujudnya tidak prinsip, meskipun perannya vital karena tanpa klakson, kendaraan bermotor yang berjalan di jalan raya berada dalam situasi berbahaya. Akan tetapi, andaipun tidak dipasangi klakson, atau ada klakson tapi rusak, sebuah kendaraan bermotor tetap disebut kendaraan bermotor dan tetap bisa berjalan.
Saya kadang mikir serius sampai-sampai jidat ini berasa berkerut, rasanya seperti habis disulam, mengapa orang-orang suka sekali membunyikan klakson pada tempat-tempat yang sedang tidak butuh klakson. Lihatlah di perempatan berlampu merah itu. Siapakah yang ingin berlama-lama di sana? Sekadar mengingatkan orang yang ada garis terdepan? Semua orang yang ada di situ pastilah sedang terburu-buru. Dan jika lampu berubah hijau, orang yang tanpa melihat lampu APILL (lampu lalu lintas) pun pasti sudah tahu karena orang-orang akan berangkat bersamaan sebab nyaris semua orang akan memperhatikan perubahan warna lampu itu.
Saking kesalnya, polisi kota Mumbai, India, kota yang penuh polusi dan sangat berisik, akhirnya memasang sensor keberisikan (alatnya bernama “dB meter”). Alat ini berfungsi mengubah panel angka hitung mundur (countdown) ke angka yang lebih tinggi secara otomatis jika desibel suara keberisikan naik, misalnya saat terdengar saut-sautan bunyi klakson di saat lampu masih berwarna merah. Jadi, situasi kota ini kayaknya masih lebih parah dengan situasi kota-kota besar kita di Indonesia.
Sebaliknya, di Jerman, entah di kota apa, seseorang mencoba merekam pergerakan kendaraan dari empat penjuru jalan di sebuah perempatan yang aliran listrik untuk lampu merahnya sedang padam. Tampak dalam video; semua pelalu lintas dapat mengendalikan diri, atur-mengatur diri sendiri, saling memberi kesempatan pada sesama pengguna jalan. Dengan jemawa, mereka seolah-olah berani berkata: “Orang Jerman tidak butuh pada lampu lalu lintas”. Di kota Berlin, saya pernah memperhatikan selama sepekan lebih (karena setiap hari saya berjalan kaki dan/atau naik angkutan umum): hanya 5 kali saya dengar suara klakson dibunyikan.
Memangnya, membunyikan klakson itu suatu cacat budaya? Kok sinis banget. Tidak, membunyikan klakson itu punya implikasi hukum berbeda, bergantung pada situasinya. Pada dasarnya, hukum membunyikan klakson itu adalah suka-suka. Buktinya, ada klakson telolet yang tahun 2014 lalu sempat viral, sebagaimana musical horn pada masa sebelumnya yang dibeli orang karena hobi. Hukum pertama, dianjurkan membunyikan klakson pada situasi butuh perhatian, seperti di tikungan tajam, di siang hari (di malam hari, isyarat bunyi klakson digantikan isyarat cahaya dari lampu utama). Kedua, wajib membunyikan klakson pada kondisi darurat, seperti memberikan kode bagi kendaraan yang berasal dari posisi bahu jalan dan nyelonong masuk ke jalur utama secara mendadak. Fungsi klakson, pada saat itu, adalah untuk memberi peringatan kepada orang lain bahwa kita butuh perhatiannya demi menjaga keselamatan bersama. Keempat, haram membunyikan klakson di tempat yang dilarang, seperti di dekat telinga orang yang lemah jantung karena dikhawatirnya dapat menyebabkan kekagetan yang berimplikasi serangan jantung, dll.
Diperkecualikan dari itu semua; adat dan kebiasaan yang berlaku secara khusus di daerah tertentu, misalnya bunyi klakson pendek-pendek, seperti “tin..tin..”, pada angkot sedang parkir, menandakan minta perhatian kepada orang yang sedang melintas, siapa tahu mau ikut. Menekan klakson satu kali tapi sangat panjang, bisa menunjukkan emosi (tapi kalau bunyi terus tandanya korslet). Acapkali seorang sopir membunyikan klakson di satu tempat yang aman dan sepi. Biasanya, ihwal semacam ini karena adanya anggapan bahwa tempat tersebut dianggap wingit, ada ‘penunggu’-nya. Klakson itu sebagai permisinya. Jadi, sekali lagi, bagi mobil, fungsi klakson adalah kompartemen, pelengkap saja. Akan tetapi, ketika mobil sudah masuk ke jalan raya, maka keberadaan klakson menjadi primer (daruri). Mobil yang digunakan di arena balap tidak perlu membunyikan klakson karena arena balap atau sirkuit bukanlah jalan raya.
Pada dasarnya, membunyikan klakson itu ada hubungannya dengan kebiasaan. Sebetulnya, kita dapat berjalan jauh tanpa alat ini, tapi kebiasaanlah yang menggampangkan kita untuk begitu bergantung kepadanya. Prinsip dasarnya adalah; membunyikan klakson itu dilakukan hanya jika benar-benar ingin meminta perhatian kepada para pengguna jalan lainnya. Jika tidak, kita dapat menahan diri untuk tidak membunyikannya dengan cara menaikkan konsentrasi. Dengan cara yang kedua ini, Anda mendapatkan dua poin sekaligus: konsentrasi bertambah dan mengurangi polusi suara. Perlu kita sadari bahwa suara klakson bertubi-tubi itu tidak menyenangkan bagi orang lain, termasuk penumpang sendiri (untuk mobil), sementara pengguna jalan seringkali membunyikannya hanya karena ia dapat dipencet secara suka-suka.
Dengan demikian, kaidah,
“الضرر يُدفع بقدر الأِمكان”
(kemudaratan harus ditolak ala kadar)
berlaku: membunyikan klakson dari jarak aman, dan jika jarak Anda masih jauh dengan objek yang dikhawatirkan, yang utama adalah melakukan deselerasi (pelambatan) atau pengereman, karena mengelakson dalam jarak sangat dekat itu berpotensi mudarat, membuat orang bimbang, antara mundur atau lanjut menyeberang. Dalam kasus semacam ini, kita harus memilih yang lebih ringan, sesuai dengan kaidah,
“الضررالأشدُّ يُزال بالضرر الأخفّ”
(kemudaratan yang berat harus dihapuskan dengna dengan kemudaratan yang [kemungkinannya] lebih ringan).
Dari paparan di atas, tidak ada statemen bahwa membunyikan klakson itu tidak penting. Narasi demikian adalah kesalahpahaman. Yang harus dilakukan bangun adalah meningkatkan kewaspadaan diri, bukan selalu menuntut orang lain mengalah atau menyingkir atau waspada dengan memberikan isyarat bunyi klakson untuknya. Nilai-nilai kemanusian harus dijunjung tinggi, terutama di jalan raya, karena tempat itulah yang paling mungkin kita temukan perilaku orang sejujur-jujurnya.
Cobalah berempati! Biarkan klakson bawaan ATPM di tempatnya. Sambungkan kabel tambahan ke dalam kabin dan pasang juga klakson di dalamnya. Dengan begitu, ketika Anda membunyikan klakson, akan terdengar bunyi di balik bemper dan di dalam kabin sekaligus. Lakukan cara ini selama beberapa hari berkendara. Dengan cara demikian, Anda akan dipaksa untuk sadar bahwa betapa bunyi klakson yang kita ‘sampaikan’ untuk orang lain pada saat-saat yang tidak benar-benar genting itu sangatlah tidak mengenakkan. Jadi, janganlah membuang klakson ke sembarang telinga.[]
| Kiai M. Faizi adalah pengampu rubrik Fikih Jalan Raya. Sebagaimana banyak kiai lain, beliau juga sekaligus seorang penyair. Salah satu kumpulan karya puisinya, Kopiana, ditulis dalam dua bahasa, Indonesia dan Arab Indah.
Tinggalkan Balasan