Menguji Puasa di Jalan Raya

Kiai M Faizi Pariwisata |

Sesungguhnya, berpuasa itu bukanlah sekadar tidak makan, tidak minum, tidak bersetubuh, serta tidak secara usil memasukkan apa pun ke lubang-lubang yang ada di tubuh. Catatannya, larangan tersebut berlaku di siang hari. Contoh, memasukkan kopi Toraja kemepul ke dalam lubang mulut ataupun ke lubang telinga sama terlarangnya. Ini larangan-larangan kelas nyata syariah. Hukumnya jelas di dalam banyak kitab.

Karena kita tahu filosofi puasa itu adalah “menahan” atau “menahan diri dari godaan syahwat”, jika mengacu kepada aturan ini, maka larangannya akan bertambah banyak, termasuk larangan-larangan yang sebetulnya juga terlarang di luar bulan puasa, seperti menyerobot antrian di barisan depan kasir, menyerobot tunangan orang lain, menyerobot imam tarawih yang sedang rukuk dengan cara iktidal duluan, dan banyak yang lain.

Di luar definisi di atas, puasa bisa ditarik ke definisi filosofis, tapi masih tetap mengandung makna “menahan”, misalnya menahan diri dari segala niat busuk yang biasanya selalu muncul di saat-saat tidak kelihatan orang lain (dan CCTV). Menahan diri dari marah, menahan diri untuk tidak menghasud, menahan diri untuk tidak sombong dan dengki, merupakan ejawantah dari puasa itu. Kiranya, yang begini ini jauh lebih sulit daripada sekadar menahan makan-minum di siang hari di bulan Ramadan.

Salah satu cara menguji kualiatas puasa kita adalah dengan cara pergi ke sekitar jalan raya. Pergilah ke sekitar terminal, cari warung betis, yaitu warung tenda yang bertirai bagian tengah dan atas tetapi betis dan kaki para tamunya masih kelihatan. Mendekatlah ke situ. Simak bagaimana aroma bawang goreng berikut rempah-rempah lain yang sedang dimasak melakukan atraksi di liang hidung. Sungguh, Anda akan terseret kepada lapar (tapi entah kalau sekarang, masih adakah hal itu, di saat armada-armada angkutan juga sedang “puasa penumpang”).

Adanya warung seperti ini meyakinkan kita bahwa sesungguhnya betis dan kaki tidak memiliki sensor ‘kemaluan’, karena ia terletak pada muka kita. Bukankah ekspresi seseorang yang sedang tertimpa malu itu ditunjukkan dengan cara menutup muka dan bukan menutup betis? Itu dia, mungkin, alasannya, mengapa warung betis ini ada di muka bumi.

Betul memang, kita tidak sekadar wajib menghormati orang yang berpuasa, melainkan juga menghormati bulan puasanya. Makanya, kalau mokel, jangan di tempat umum. Dan ujian tetap berlangsung meskipun di musim wabah dan tidak ada pelajaran tatap muka di dalam kelas, tapi lewat Zoom dan YouTube. Ujian itu terjadi manakala kita hanya punya satu pertanyaan “Apakah mereka semua sedang mokel?” dan kita pun cuma punya satu jawaban,  yaitu “Iya, mereka sedang maksiat, tidak berpuasa!” Nyatanya, kita yang melihat dengan mata terpicing-picing karena efek cabe dan bawang yang sedang digoreng, malah mendadak terangsang untuk mencibir. Padahal, bisa jadi anggapan kita keliru karena mereka adalah rombongan musafir dari jauh yang sedang kelaparan dan mereka sudah mengantongi izin berbuka puasa karena alasan ‘safar’ dan ‘marhalah’ sudah tercapai.

Dari warung makan dekat terminal, pergilah ke lampu merah! Duduk beberapa lama tak jauh dari situ. Renungkanlah kehebatan Tuhan dalam menciptakan alam semesta ini, termasuk kerumitan ciptaannya, termasuk saraf-saraf dalam otak manusia. Sambil lalu berpikir begitu, perhatikan di sana: pertunjukan orang-orang yang mampu menahan diri dari makan dan minum sejak subuh hingga terbenam matahari itu ternyata tidak mampu menahan nafsunya meskipun lima detik saja: membunyikan klakson sebising-bisingnya pada saat lampu masih berwarna merah atau sudah mencelat sebelum berubah warna hijau. Puasa mereka (mungkin) tidak batal secara fikih, tetapi mereka telah melanggar banyak hal. Mengapa mereka bisa seperti ini? Mereka itu biasanya merupakan orang yang cara pandanganya masih hitam-putih, makanya tidak paham warna merah-kuning-hijau. Mereka hanya mengerti konotasi, tidak mengerti denotasi. Kalau dipaksa belajar “denotasi” secara singkat, hasilnya jadi ahli bikin “detonator”.

Ulang: Puasa itu artinya tidak makan, tidak minum, tidak bersetubuh, tidak memasukkan sesuatu pada lubang-lubang anggota tubuh yang intinya menyebabkan batal, di siang hari bulan puasa. Namun, makna yang lebih dalam adalah menahan hawa nafsu dari berbuat yang bukan-bukan. Di jalan raya, kita bisa ambil contohnya pada mereka yang menggunting jalan, belok mendadak, merampas hak pelalulintas lain.

Orang-orang yang melanggar tersebut bukannya tidak paham pada pelanggaran yang dilakukannya. Mereka justru merupakan orang yang sadar dan tahu, bahkan di antaranya termasuk orang yang taat beribadah. Namanya juga manusia itu makhluk ironis, ya, mau bagaimana lagi jika memang demikian keadaannya.

Selamat menunaikan ibadah puasa di semua tempat; di kantor, di rumah, juga di jalan raya. Semoga kita bisa benar-benar menjadi orang yang menjalankan ibadah puasa secara sempurna. Usia kemanusiaan di jalan raya itu sangat pendek. Berhati-hatilah, karena seorang manusia yang perilakunya tampak manusiawi ini bisa menjadi mastodon dalam waktu sekejap, yakni hanya karena ia pindah tempat, dari atas sajadah ke belakang kemudi.

| Fakih pengampu rubrik Fikih Jalan Raya. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *