Parkir Menurut Adab dan Fikih

M Faizi

Apakah Anda pernah mau keluar rumah terus ada orang parkir di depan pintu gerbang sehingga Anda tidak bisa keluar? Atau, Anda tetap bisa keluar tapi dengan susah payah karena jalan yang semula longgar menjadi sempit mendadak karena ada kendaraan entah siapa yang parkir melintang? 

Di desa, pemandangan semacam itu mungkin tidak sesering terjadi di kota besar. Di desa, lahan masih luas, jadi, parkir pun juga leluasa. Di kota, apalagi di perumahan, parkir di garasi sendiri pun terkadang harus ‘nyuri’ lahan milik umum dengan cara membuat pintu gerbang di luar pagar rumahnya sendiri. 

Kiai Zuhri Zaini pernah dawuh terkait adab. Kira-kira seperti ini redaksinya: “Jika menyentuh kepala gurumu itu dilarang (karena tidak pantas), maka, ya, jangan pegang. Tapi kalau kamu harus memegangnya karena diperintah oleh gurumu untuk mencukur rambut beliau, maka laksanakan.” 

Sementara dalam ushul fikih, ada kaidah; “Jika ada larangan bersehadap dengan perintah, maka yang didahulukan adalah larangannya.” 

Terus, mau gimana? 

Yang pertama konteksnya adab. Yang kedua termasuk cakupan fikih.  

Contoh kasus yang pertama sudah selesai di atas. 

Sekarang, pindah ke yang kedua: Orang yang punya kendaraan berhak dan boleh menggunakannya untuk hal-hal yang berguna, namanya juga milik sendiri. Tapi, akan beda cerita jika kendaraannya itu berpotensi menimbulkan gangguan terhadap kehidupan orang banyak, misalnya punya truk caravan sementara dia tinggal di perkampungan padat penduduk yang jalannya sempit sehingga kalau parkir pasti makan jalan, atau bahkan mengganggu orang yang akan melintas. 

Dalam kasus ini, muncul “larangan untuk menggunakan” alias mani’ lijawazit tasharruf

Larangan ini didukung oleh hadits:

“لا ضرر ولا ضرار”

dan kaidah:

إذا اجتمع الحلال والحرام قدم الحرام

Sudah selesai? Belum, masih ada hukum perkecualian. Jadi, misal truk caravan itu memang dipersiapkan untuk hajat orang banyak, seperti untuk mengantar warga setempat yang memang tidak punya kendaraan sama sekali jika sesekali waktu mereka perlu ke rumah sakit yang letaknya jauh, maka asas manfaat (“jalbil mashalih”) adalah prioritasnya, tentu ini juga berdasarkan kemufakatan bersama warga. Dalam menyikapi kasus memarkir kendaraan seperti di atas atau pendirian toko, misalnya, secara lebih rinci, Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam “Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu” (6/4677), menetapkan pemenuhan dua syarat: keselamatan (seperti tidak membikin darurat kepada orang lain) dan izin (dari otoritas setempat karena jalan/gang bukan milik pribadi)

Lah, padahal cuman parkir, kok jadi ribet begini?

Sering kita berpikir bahwa Islam itu mudah, ya, sebatas mudah, tanpa berpikir panjang bahwa untuk menghasilkan keputusan yang mudah dan memudahkan seperti itu diperlukan penggalian sumber-sumber hukum yang banyak dan waktu yang panjang, dan ini menguras energi dan pengetahuan. 

Demikianlah yang sering kita lupakan. 

Islam itu mudah karena di balik itu ada ulama yang bekerja keras untuk menemukan formula-formula hukum yang dapat disederhanakan sebagai terapan. Jadi, kita tidak bisa sembarang comot ayat dan hadits karena alasan “Islam itu mudah” tadi. Pasalnya, dikhawatirkan pikiran itu hanyalah sekadar cara “ambil mudahnya saja,” bukan mencari “kemudahan yang sesuai prosedur istinbath.”

Kembali ke masalah parkir: Cara kita memarkir kendaraan merupakan salah satu ekspresi cara berpikir. Apakah kita peduli terhadap lingkungan atau kita acuh tak acuh? 

Di kota-kota besar Eropa, seperti di Jerman, kalau Anda parkir sembarangan, bisa jadi mobil Anda akan didatangi derek, ‘diseret’ dengan cara diangkat roda depannya pakai katrol dan alat pencengkeram roda yang tetap bisa memindahkan mobil andaipun dalam keadaan terkunci. Mobil Anda akan dipindahkan ke tempat yang benar. Tapi, urusan tidak selesai di situ. Anda harus menanggung denda, nanti ketika akan membayar pajak kendaraan secara akumulatif. 

Dendanya tidak pakai receh, malah banyak sekali. 

Begitu detail Islam mengatur perilaku umatnya. Tentu saja, masalah parkir mobil tidak ada di zaman Nabi. Tapi, dengan cara analogi, akan kita temukan ayat dan hadis yang menjadi rujukannya. Sebut saja misalnya Al-A’raf ayat 86 atau hadis Abu Hurairah nomor 127 dalam Riyadus Shalihin. Kedua nash ini menunjukkan larangan untuk mengganggu orang yang melintas serta ganjaran surga yang diperoleh seorang lelaki atau wanita yang selama dia di dunia berusaha untuk mempermudah lalu lintas orang.

Dari kedua gambaran di atas, kita dapati pemahaman bahwa menganggu orang lain itu sangat dilarang, termasuk, misalnya, dengan cara parkir sembarangan. 

Maka dari itu, andaikan kita bertamu ke rumah seorang guru, hendaklah kita parkir di tempat yang jauh, karena demikianlah adab yang mengajarkan. Akan tetapi, jika sang guru meminta Anda memindahkan mobil ke halaman rumahnya, ikuti saja perintahnya. 

Lalu, perkecualiannya, jika parkir di tempat yang agak jauh itu dapat menimbulkan mudarat, maka parkir saja di halaman rumah sang guru dengan mohon pamit lebih dulu. 

Saya kira, di sinilah bagaimana adab dan fikih bisa ‘masuk’ ke pendopo sang guru, sementara mobil Anda biarlah parkir di luar saja, di tempat yang benar, tidak makan jalan, dan tidak berada di bawah pohon kelapa, khawatir kejatuhan buahnya.

One Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *