Dongeng dari Bonang (1)

Agus Rois |

Wujil, dengar sekarang

Jika kau harus masuk neraka

Karena kata-kataku

Aku yang akan menggantikan tempatmu

Ingat Wujil, waspadalah!

Hidup di dunia jangan gegabah

Elinglah

Kau bukan Yang Ilahi atau sebaliknya

Tapi siapa kenal diri

Ia tahu Tuhannya

 

Itu yang disampaikan Sunan Bonang kepada Wujil, abdi kesayangan Prabu Brawijaya, ketika malam tiba di tepi pantai sunyi. Hanya gelombang laut memukul-mukul batu karang. Di Desa Bonang. Tanpa itu Suluk Wujil tak terdengar suara dan gemanya sampai sekarang.

Konon, Wujil, si cebol itu telah 10 tahun “mengaji seluk beluk ajaran agama sampai rahasia terdalam” kepada Sunan Bonang, yang mewakili golongan terpelajar Hindu-Buddha didikan Majapahit merasa tak mendapatkan apa-apa, jiwanya selalu saja gelisah. Akhirnya ia datang menyembah Sang Wali, berlutut di hadapannya, mengadu kepada Sang Panembahan Agung Sunan Bonang atau Ratu Wahdat, berkata dengan hormat.

 

Jangan waliyullah

Biar hamba

Yang masuk neraka

 

“Hamba mohon dengan tulus di telapak kaki Sang Mahamuni, mati hidup hamba serahkan. Sastra Arab sudah hamba pelajari, tapi hamba tetap saja mencari-cari. Mengembara kesana-kemari. Tak berketentuan. Dulu saya pelawak istana, setiap hari bermain topeng, bertingkah layaknya orang gila, hingga bosan jadi tertawaan. Saya tinggalkan Majapahit, meninggalkan semua yang dicintai, masih tak menemukan apa-apa, diam-diam di waktu malam. Mencari rahasia, menggapai jalan sempurna, semua pendeta-ulama ditemui, berharap berjumpa Yang Ilahi.”

Pertanyaan Wujil ialah pertanyaan yang abadi. Dan jawaban yang diberikan Sunan Bonang, sosok yang dalam manuskrip-manuskrip asing sering disebut pangeran atau sinuhun, adalah sebuah epik tersendiri. Itu membabar tentang kesempurnaan hidup. Dan inilah kata-katanya.

Ketahui

Salat, kepasrahan, dan wirid-wiridnya

Salat tak sekadar Isya atau Magrib saja

Bila itu yang terjadi

Hanya bisa disebut sembahyang

Itu namanya kembang

Salatnya basa-basi

Mana sembah sesungguhnya?

Ketahui, jangan menyembah jika tak tahu

Tuhan yang disembah

Hanya akan membuatmu malu

Dan hina

Ternyata yang dipuja bukan itu

Tapi adam sarpin belaka

Jangan tersesat

Jangan sampai tak mengetahui

Sebab itu, Wujil!

Orang agung mencari hakikat diri

Temukan hidup sejati

Pergi ke tempat sepi

Tak silau oleh dunia

Tapi jangan terlalu jauh mencari sang kawi

Keindahan ada di dalam diri

Bahkan seluruh dunia terangkum dalam diri

Dan siapa mengerti hal itu

Ia mendapat keberkahan

Wujil, kenali dirimu

Siapa kenal diri akan kenal Tuhan

Orang yang demikian tak asal bicara

Kecuali seperlunya

Tak keliru langkahnya

Itulah yang disebut laku lampah

Jernih pandangannya tentang Tuhan

Tak lagi dibakar kemarahan

Inilah ajaran utama

Manusia sempurna

Pahami ini, jangan hanya mendengar

Tempuh dengan benar

Dengan tekad dan keyakinan

Dan diamlah kepada hal yang dirahasiakan

Sebab itu lebih baik

Itu artinya kau mampu mengikat nafsu

Tak turut maumu yang seringkali keliru

Begitulah. Saya merasa perlu membuka tulisan kecil ini dari isi Suluk Wujil. Gaung dari suara Sang Jati Wenang dan Wujil terdengar merdu. Risalah tasawufnya yang ditulis dalam bentuk dialog guru murid yang telah ditranskripsi B. Schrieke menjadi Het Boek van Bonang (1916) membawa hal-hal yang sulit ditampik. Memantulkan semua hal baik. Dan, sejarah mencatat, buku itu “Kitab Sunan Bonang” disunting lagi G.W.J. Drewes dengan judul The Admonitions of Seh Bari tahun 1969. Ia adalah wali yang meninggalkan catatan paling banyak.

Saya mencoba mengingat-ingat suluknya yang bertumpuk itu: Selain Suluk Wujil, ada Suluk Khalifah dan Suluk Regol, Suluk Kaderesan dan Suluk Bentur, Suluk Wasiyat dan Suluk Pipiringan, Gita Suluk Latri dan Gita Suluk Linglung, Gita Sulung Ing Aewuh dan Gita Suluk Jebeng, dst. Tapi saya tak punya ruang untuk menjelaskan semua itu. Saya hanya ingin bilang bahwa besar kemungkinan suluk-suluknya adalah himpunan catatan dari “hikmah-hikmah rahasia” pelajaran-pelajaran yang pernah diberikan Sunan Bonang kepada murid-muridnya semasa hidupnya. Dan satu-satunya karya prosanya, Wejangan Seh Bari demikian disebut, yang memberi banyak warna lokal, “satu dari dua naskah Islam Jawa tertua” berasal antara pertengahan abad ke-16 dan awal abad ke-17.

Selain Schrieke dan Drewes, puisi tembangnya yang bagus yang bertajuk Suluk Wujil telah ditranskripsi Poerbatjaraka dengan pembahasan pendek dalam tulisannya “Soeloek Woedjil” yang dimuat di majalah Djawa tahun 1938. Juga Abdul Hadi W.M. dalam esai ringkasnya, “Sunan Bonang, Perintis dan Pendekar Sastra Suluk” yang terbit pertama kali di tahun 1993.

Orang-orang itu ingin menceritakan bahwa Suluk Wujil memuat ajaran rahasia Ratu Wahdat, lelaki yang diduga lahir tahun 1465 dan mangkat tahun 1525, kepada Wujil. Dan salah satu wali “yang dituakan” setelah ayahnya sendiri, Sunan Ampel, dan punya peran penting dalam Islamisasi Jawa.

Semua orang percaya nama kecilnya, Maulana Makdum Ibrahim, putra Raden Rahmat yang terlahir dari rahim Dewi Condrowati atau Nyi Ageng Manila, perempuan asal Campa yang diangkat anak pembesar Tuban. Aria Teja. Tapi ada pula sejumlah orang yang yakin betul, misalnya Bisri Mustofa dalam Tarikhul Aulia, Condrowati ialah masih keturunan dekat dari Prabu Kertawijaya, Raja Majapahit, yang memerintah antara tahun 1447-1451. Salah satu istri Kertawijaya atau Bhre Tumapel atau Brawijaya I adalah Ratu Dwarawati, putri Campa dan terhitung saudara kandung.

“Leluhurnya dari Yunan, Cina Selatan, nama aslinya Bong Ang.” Begitulah naskah Klenteng Talang Cirebon menjelaskannya. Karena penasaran saya datang untuk melihat itu, saya ingin membacanya sejenak, toh lokasi Klenteng Talang atau Klenteng Soeh Boen Pang Gie Soe itu tak jauh dari rumah di belakang gedung pabrik rokok besar British American Tobacco (BAT) yang dibangun tahun 1924 bergaya art deco, apa yang dicatat di sana tentang Sang Makdum.

“Saya ingin masuk ke dalam,” kata saya kepada lelaki renta yang saya duga sebagai penjaga, setelah memakirkan motor di tempat saya biasa permak celana pakaian dan mencari barang-barang loak dekat klenteng. “Silakan masuk,” katanya, “mau sembahyang?” “Tidak,” jawab saya. “Tetapi ingin bertanya sejarah klenteng ini.” Mendadak, lima belas meter dari tempat saya berdiri, seseorang muncul dari ruang utama bagian dalam klenteng, seseorang berjalan menghampiri saya. “Saya pengurus di sini, ada yang bisa dibantu?”

“Bapak tidak sibuk?” saya balik bertanya. “Saya ingin melihat naskah Klenteng Talang atau kalau tak bisa saya ingin mendengar ceritanya, karena konon di naskah itu disebutkan Sunan Bonang nama aslinya Bong Ang, asalnya dari Yunan.” Sejenak bapak itu terpekur. Atau ia sebenarnya terkejut. “Saya tak tahu banyak hal itu,” ia mencoba menjawab pertanyaan saya. “Tapi kalau saya boleh bercerita, Klenteng Talang “rumah abu leluhur” ini semenjak berdiri hingga sekarang belum pernah dipugar. Klenteng ini, yang berasal dari kata toa lang berarti “orang besar” atau “tuan besar” menurut Bahasa Cina, dibangun oleh Tan Sam Cay di tahun 1500-an, ditujukan untuk penghormatan pada tiga utusan Kaisar Ming yang pernah singgah di Cirebon yaitu Cheng-ho, Fa Xien, dan Xung Wu Fung.”

“Orang dulu biasa memanggil Tam Sa Cay sebagai Mohammad Syafei. Ia satu-satunya warga Tionghoa yang diberi gelar kepangkatan oleh Sultan Cirebon saat itu, gelarnya Tumenggung Aria Dipa Wiracula.” Kata lelaki itu. “Dan, entah benar entah tidak, tak begitu jelas, awalnya Klenteng Talang adalah tempat ibadah umat Muslim Tionghoa sebelum mereka pindah dekat Gunung Jati. Lambat laun bangunan yang ditinggalkan ini beralih fungsi jadi klenteng. Kubur Tumenggung Wiracula sendiri terletak di Pamitran dekat Kali Sukalila.” Tak ada penjelasan lagi setelah itu. Ia hanya mengatakan singkat, “Bisa saja Sunan Bonang seperti yang selama ini dicatat dalam naskah Talang, ia Cina dan berkulit langsat.” Dalam Carita Lasem, ia juga disangkutkan berdarah Cina. Tapi banyak orang ragu akan pendapat itu, daripada kenyataan ibunya asal Campa.

Begitulah sejarah menulis silsilahnya yang panjang, ibunya asal Campa dan ayahnya Sunan Ampel asal “negeri di atas angin” Samarkand. Yang waktu itu sudah jadi “pusat peradaban Islam” besar bersama Bukhara di Asia Tengah. Kaum-kaum sufi muncul dari sana. Babad Cirebon dan Hikayat Hasanudin menyebutkan Ibrahim Asmarakandi, kakek Sunan Bonang, asalnya masih dekat-dekat Asia Tengah yaitu Tulen. Tepi laut Kaspia, masuk Kazakhstan.

Dalam Babad Cirebon ditulis: Ia anak keempat dari lima bersaudara. Kakaknya kesemuanya perempuan, dan adiknya Raden Qosim kelak menjadi anggota walisongo dan dikenal dengan sebutan Sunan Drajat. Mereka yang dibesarkan dalam kultur Islam dalam sebuah tradisi lokal yang bangga akan nilai-nilainya, pada suatu hari, diperintahkan ayahnya harus belajar kepada wali-wali di Cirebon, diajak pergi ke puncak Ciremai dan Gunung Jati berhari-hari menyepi di sebuah gua. Lalu ketika ketentuan itu turun, ia diperintahkan pergi ke Bonang membangun pesantren, saat itu juga namanya dengan khidmat berganti Sunan Bonang.

Disebutkan pula jauh sebelum itu, ia dan kemenakannya Raden Paku atau Sunan Giri, pernah sebentar berguru kepada Seh Awalul Islam atau Seh Walilanang atau Seh Maulana Ishak di negeri Pasai. Sekembalinya dari Pasai itulah ia yang sudah menyukai ilmu tasawuf dan sastra diperintahkan ayahnya belajar Islam ke wilayah barat. Cirebon. Juga dicatat dalam buku itu: Ia yang meluluhkan sepupu sendiri, Brandal Lokacaya, sampai jadi wali dan bergelar Sunan Kalijaga atau Seh Malaya.

Hingga saat saya tiba mengunjungi pertapaan Bonang di Gunung Jati dan petilasan Drajat di Drajat dan petilasan Kalijaga di Kalijaga dan Kejawanan, saya masih belum tahu bila Sunan Bonang bergelar Sunan Wahdat dan tak menikah sampai hayatnya dan sebab itu juga Sunan Gunung Jati memanggilnya “Yang Sempurna” atau “Seh-nya para Seh” Seh al-Mashayikh. Namun ia merendah, “jangan memuja nabi dan wali-wali, renungi dalam-dalam dirimu, jalan terbaik adalah tak memandang selain Yang Mahakasih.”

Demikianlah Sunan Bonang, sang imam pertama Masjid Demak, dicatat dalam sejarah, itu hidupnya dihabiskan buat suar Islam. Area dakwahnya Lasem dan Tuban, dua wilayah yang bersebelahan. Mungkin itu sebabnya Abdul Hadi W.M. pernah menulis seperti ini: “Ditahun 1503 M, setelah beberapa tahun menjabat sebagai imam Masjid Demak, ia berselisih paham dengan Sultan Demak dan akhirnya meletakkan jabatannya, kemudian pindah ke kota Lasem. Di situlah ia memilih Desa Bonang sebagai tempat tinggalnya, yang kemudian mendirikan pesantren dan pasujudan, sebelum akhirnya kembali ke kampung halamannya Tuban.”

| Penikmat sejarah, pecinta senja. Tinggal di Cirebon. Beberapa karyanya telah dibukukan. Antara lain: Teror.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *