Ketika Imam Syafii Berselisih dengan Imam Malik Perihal Rejeki

Pada suatu majlis, Imam Malik, pengarang Muwaththo’, berkata bahwa urusan rejeki adalah urusan Allah. “Manusia tinggal yakin dan tawakkal kepada Allah SWT,” tuturnya.

Syafi’i muda, yang kelak memiliki mazhab sendiri dalam berijtihad fikhi, saat itu masih mondok di pesantren Imam Malik, dan tidak setuju dengan pendapat kiainya.

“Ngapunten, Kiai,” kata Syafi’i muda. “Perihal rejeki, menurut saya makhluk juga wajib berikhtiar, berusaha. Bagaimana seekor burung bisa kenyang bila dia tidak keluar sarang dan mencari makan?”

Kiai dan santri bersikukuh pada pendapat masing-masing. Sang kiai punya dalil. Santrinya juga.

***

Suatu pagi, Syafi’i muda jalan-jalan keluar pondok. Dia melewati sebuah kebun anggur. Di dalam kebun anggur tersebut, orang ramai sedang memanen buahnya. Syafi’i muda kemudian masuk dan menawarkan jasa tenaganya untuk ikut memanen.

Menjelang sore, usai dengan pekerjaannya, Syafi’i muda mendapatkan upahnya berupa beberapa ikat anggur. Girang nian hatinya. Satu arus listrik terpantik dalam jejaring neuronnya dan tiba-tiba dia punya gagasan. “Aku pamerin ke Imam Malik, aah!” batinnya.

Bergegas dia pulang ke pondok dan menemui kiainya. “Kiai, lihat apa yang kubawa,” katanya girang.

“Anggur,” jawab Imam Malik. Hehe.

Syafi’i muda meletakkan seluruh ikatan anggur itu di hadapan kiainya dan bertanya, “Njenengan tahu bagaimana saya mendapatkannya?”

Belum sempat Imam Malik menggelengkan kepala, Syafi’i muda menjawab pertanyaannya sendiri: “Ikhtiar, Kiai. Usaha. Tadi saya membantu orang memanen anggur dan inilah upahnya.”

Ada jejak rasa bangga dalam intonasi suaranya. Dia merasa telah membuktikan kebenaran pendapatnya perihal rejeki.

Imam Malik tersenyum saja.

Syafi’i muda tak lupa pada adab santrinya. Ia mempersilahkan kiainya untuk lebih dahulu menikmati anggurnya.

Kiai-santri itu menikmati hidangan anggur yang tersaji. Telap-telep.

Tiba-tiba Imam Malik bercerita. “Seharian tadi saya nggak keluar-keluar pondok. Ngaji dari pagi sampek sore. Sampek capek. Trus saya mbatin, panas-panas laper gini makan anggur kayaknya enak. Eeee, kamu mak bedunduk dateng bawa anggur. Wahahahaha.”[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *