Bagaimana kita membayangkan kehidupan rumah tangga Nabi Muhammad? Seorang suami yang disegani dan istri-istri yang menurut dan tak pernah membantah?
Pada suatu hari seusai perang Khaybar, Nabi dan para istri berkumpul. Mereka, para istri Nabi, rebutan minta hadiah. Dalam ruangan bergorden itu, para istri saling menuntut hadiah kepada Nabi. Yang satu minta hadiah yang lebih bagus dari yang lain. Nabi sampai kewalahan.
Lalu tiba-tiba terdengar suara sayyidina Umar mengucap salam dan memohon ijin masuk. Nabi Muhammad hendak membalas salam saat beliau melihat istri-istrinya saling berhamburan dan bersembunyi di balik gorden.
Sayyidina Umar masuk ruangan dan melihat Nabi tertawa. Heranlah dia. Dan Nabi menjawab keheranan sayyidina Umar dengan berkata, “Sungguh menakjubkan, Umar. Istri-istriku lebih takut padamu daripada kepadaku.”
Sayyidina Umar tentu saja merasa tidak enak. Beliau berkata, “Wahai istri-istri Rasul, seharusnya kalian lebih takut kepada Rasul daripada kepadaku.”
Kemudian, untuk memenuhi dahaga penasarannya, sayyidina Umar melanjutkan tanya, “Kok bisa, kalian lebih takut ke saya daripada ke Nabi?”
“Tentu saja,” jawab istri-istri Rasul, “Nabi lembut. Kamu galak!”
Nabi Muhammad kemudian ngompori, “Itu benar! Setan, jika bertemu dan hendak berpapasan denganmu di jalan, dia langsung balik kanan dan ambil jalan yang lain.”
*
Sayyidina Umar gamang. Muhammad adalah Nabi. Ia disegani dan dihormati. Beliau juga panglima perang yang ditakuti. Tapi, istri-istri Nabi begitu bebasnya menyatakan pendapat tanpa sungkan, berani menyangkal dan membantah, dan manja.
Pada suatu kesempatan, ia pergi menemui putrinya, Hafsah, yang diperistri Nabi. Sayyidina Umar menasihati. Nduk, jangan sembarangan bersikap kepada suamimu. Suamimu itu Nabi. Kamu itu tidak semenarik Aisya dan tidak secantik Zaynab.
Tapi sayyidah Hafsah tidak berubah. Kepada Nabi tetap tidak sungkan. Tetap manja.
Sayyidina Umar kemudian menemui Ummu Salamah yang masih sepupunya. “Kok bisa kamu bicara bebas kepada Rasulullah dan nggak sungkan sama beliau?”
Ummu Salamah, istri Nabi yang sudah dewasa itu, menyergap, “Ngapain kamu ngurusin rumah tangga Nabi? Ya, kami terbiasa bicara bebas kepada Nabi. Jika beliau tersinggung itu urusannya.”
Ngeri-ngeri sedap.
*
Sayyidina Umar merasa terlalu jauh mencampuri urusan rumah tangga Nabi. Beliau kemudian lebih banyak merenung. Nabi aja sama istri-istrinya nyerah gitu. Saya musti gimana?
Beberapa belas tahun kemudian, saat beliau menjadi Amiirul Mukminin dan memerintah bentang kuasa dari semenanjung Arab, Persia, Mesopotamia, Mesir hingga Afrika Utara, seorang rakyat jelata datang ke rumahnya hendak mengadu akan kelakuan istrinya yang suka marah dan membentak-bentak kepadanya.
Tapi, saat mendekati rumah sayyidina Umar, si rakyat jelata itu mendengar suara istri sayyidina Umar sedang marah dan membentak-bentak sang Amiirul Mukminin.
Si rakyat jelata kontan saja mengurungkan niatnya hendak mengadu dan mencari solusi. Sejurus kemudian, makin kecut hati si rakyat jelata itu saat melihat sang Amiirul Mukminin keluar dari rumahnya dengan langkah yang gontai, kepala yang tertunduk, dan kopiah yang miring.
Kelak di kemudian hari, di antara petuah-petuah terkenal lain dari Sayyidina Umar, perkataan beliau inilah yang akan diingat orang-orang: “Kalau perempuan sudah bilang, benarlah perempuan itu. Umar yang salah.”
Tinggalkan Balasan