Agus Rois |
Saya ingat masa kecil, tiap desa saya merayakan hari jadinya tiap itu pula dihelat pentas tari topeng dan pagelaran wayang kulit. Pada suatu waktu, setelah melihat orang menari topeng, saya merajuk sampai menangis ke orang tua saya untuk dibelikan topeng kelana. Dan sampai saat kuliah di Jogja, topeng itu saya bawa. Sering orang tua zaman dulu mengatakan kepada kami, “Ketika Cirebon jadi “puser bumi” pusat agama Islam di tanah Jawa, Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga –ada versi yang menyamakan Sunan Kalijaga dengan Sunan Panggung– berdakwah dari saat ke saat dengan menggelar pentas tari topeng dan wayang kulit.”
Kini pentas-pentas topeng dan wayang itu lenyap, modernisasi telah menelannya, selamanya, menggilas lebih cepat dan lebih cepat lagi. Tinggal catatan sejarah. Kerinduan terhadap hujan lebat dan bekas roda usia. Saya tahu bahwa masa itu sudah lewat tiga puluh tahun lebih. Saya hanya bisa mengenang. Seperti Ajip Rosidi, anak Jatiwangi Majalengka itu yang “Terkenang Topeng Cirebon”.
Waktu menonton tari topeng di Istana Musim Panas
Aku terkenang betapa indah topeng Cirebon dari Kalianyar!
Itu sajak Ajip Rosidi yang ditulis ketika kedinginan di Seoul –kota yang gelisah dan jiwanya ragu. Tari topeng Cirebon, setahu saya, dalam perkembangannya tumbuh di kantung-kantung pinggiran seperti Slangit, Arjawinangun; Ciluwung, Palimanan; Astanalanggar, Losari. Dan punya lima karakter: Topeng Panji, yang kedoknya berwarna putih berseri, adalah “lambang kesucian.” Adalah gambaran manusia yang baru lahir, gerakannya halus dan lembut. Bahkan nyaris diam, alim. Topeng Samba, yang kedoknya berwarna putih berseri dihiasi rambut ikal pada dahinya, adalah “lambangkan kesopanan.” Adalah gambaran seorang bocah, geraknya luwes. Topeng Rumyang, kedoknya berwarna coklat susu berseri, ialah “simbol kebebasan.” Adalah gambaran dari remaja, geraknya genit dan lincah tapi kadang tampak ragu. Topeng Tumenggung, kedoknya berwarna merah tanpa rambut di kepala tapi berkumis tipis, adalah “simbol kebijaksanaan.” Adalah gambaran kedewasaan layaknya pemimpin, geraknya tegas. Topeng Kelana, kedoknya berwarna merah padam, berkumis tebal, dan seram, ialah “simbol keserakahan.” Adalah gambaran dari “sisi gelap manusia” watak penuh amarah, gerakannya tegas dan berangasan seperti Rahwana.
Pada baris lain dalam Suluk Wujil disebutkan “zikir” ialah hal penting, bahkan lebih penting dari salat. Tapi bukan itu yang ingin saya ingat. Melainkan nama-nama tempat yang dicatat. Yang menyebutkan Jawana, Pati, Wasana Kidul, Dukuh Pegambiran, Kalijaga, Garage/Grge. Beberapa orang menyangka, bahkan hampir lima ratus tahun Suluk Wujil terbit dan dibaca siapa saja, “Jawana” dan “Pati” adalah nama tempat di pesisir utara Jawa Tengah. Toh kalau pun tetap dianggap di sana, seorang harus menelusuri keempat nama lainnya di sekitar dua tempat itu. Kiranya demikian, karena nama-nama itu satu kesatuan, tak bisa dipisahkan. Ada di satu wilayah. Karena kita tidak sedang bicara tentang Kalijaga yang bisa berpindah tempat dalam semenit atau lima menit dengan cara menghilang atau terbang di atas selembar daun.
Tentu, sebagai fakta sejarah, catatan Sunan Bonang “Suluk Wujil” sangat berharga. Soalnya kemudian adalah menentukan lokasi dari tempat-tempat yang disebutnya. Entah kenapa saya ingin menerbitkan tafsir mengenai nama-nama yang disebutkan dalam Suluk Wujil itu, tentu dengan tinjauannya. Bagaimanapun saya tahu, sesudah 500 tahun, penafsiran toponimi akan jadi amat rumit. Sesudah orang-orang mati dan tidak ada yang bisa ditanya-tanya lagi. Sebab nama-nama tempat itu telah banyak mengalami perubahan seiring perkembangan bahasa, dst.
Maka mau tidak mau saya harus menelusuri banyak serpihan bukti yang tersebar di mana-mana, sisa-sisa puing bangunan. Juga catatan kuno yang menyebutkan tempat-tempat itu. Sore itu, setelah bangun tidur setelah sebelumnya selesai membaca Suluk Wujil mendadak terbit banyak pertanyaan di kepala.
Apakah Pati yang disebut dalam Suluk Wujil itu sama dengan Kampung Patireman sekarang yang masuk Dukuh Pegambiran, Cirebon? Apakah Jawana yang dicatat dalam Suluk Wujil itu kelak dikoreksi atau berubah jadi Kejawanan, yang sama masuk Pegambiran, Cirebon? Di mana persisnya Desa Wasana Kidul, tempat Seh Malaya menari topeng, yang diceritakan dalam Suluk Wujil? Apakah Pangeran Tuban betul “mengalami pencerahan” saat di Kalijaga, Cirebon? Dukuh Pegambiran yang termuat dalam Suluk Wujil itu Pegambiran, Cirebon sekarang, yang letaknya hanya tiga kilometer saja ke arah selatan dari Masjid Agung Sang Ciptarasa, di mana Kalijaga ikut mendirikan tiang tatal di dalamnya? Apakah Garage yang dibilang dengan teguh oleh Sunan Bonang dalam suluknya adalah Cirebon pada masa itu?
Karena kita tahu Sunan Kalijaga tak meninggalkan kronik sejarah yang jelas atau kalaupun ada sudah dibakar kaum kolonial. Maka untuk semakin menegaskan ucapan Sunan Bonang dalam Suluk Wujil, saya mengunjungi tempat-tempat itu besoknya. Pertama, ketika matahari tepat di atas kepala, saya menuju “Pati” Kampung Patireman. Lokasi kedua adalah “Jawana” Kejawanan dan saya terkesan atas keberadaan “Situs Kejawanan”. Situs itu, yang dikelilingi dinding berwarna merah bertempel piring-piring keramik Cina, tampak seperti langgar dari luar, sekitar akhir abad ke-16. Ketika ditanya pada juru peliharanya, si penjaga mengatakan itu adalah petilasan Pangeran Sukmajaya.
Memang tak disebutkan dalam Suluk Wujil, di mana letak Pati dan Jawana. Tapi sepertinya, ini pemikiran saya, tak jauh dari lokasi petilasan Pangeran Sukmajaya. Kenyataan keduanya, Kampung Patireman dan Kejawanan, berdekatan dan sama-sama masuk Dukuh Pegambiran. Dan Sukmajaya, patut diduga nama lain yang diberikan kepada Sunan Kalijaga oleh orang-orang Cirebon setelah “kemenangan batin” yang diperolehnya di Kalijaga. Kenyataan itulah yang mendorong saya menghubungkan ketiganya (Kampung Patireman, yang dekat dengan pantai Kejawanan, dan terletak di Pegambiran) sebagai tempat Seh Malaya bermukim selama di Cirebon. Selain daerah Kalijaga.
Dua nama tempat itu meski transliterasi yang digunakan dalam Suluk Wujil adalah “Pati” dan “Jawana” bagi saya bukanlah di pesisir utara Jawa Tengah. Melainkan di sekitar Pegambiran Cirebon. Dan, saya mendapat kesan kuat “Wasana Kidul” atau “Hutan Selatan” yang disebut Sunan Bonang dalam suluknya itu masih terletak di suatu tempat di Cirebon. Saya membuat kesimpulan itu daerah Astanajapura, tepatnya Japura Kidul. Letaknya di selatan Pegambiran, dan, hanya empat belas kilometer jauhnya, toh dahulunya kampung masyarakat Lemahabang. Kita tahu Kalijaga adalah “murid Lemahabang.” Di luar itu, tradisi tari topeng Cirebon lebih berkembang di daerah selatan sampai Losari.
Tempat-tempat yang disinggahi Seh Malaya dalam perjalanannya menari topeng keliling itu di sekitar Cirebon. Tapi, yang pasti, seperti disebut Sunan Bonang, “ia pernah tinggal cukup lama di Kalijaga, Garage.” Salah satu sumber yang sangat membantu untuk memecahkan “misteri” masa-masa Pangeran Tuban berdiam di Kalijaga, Garage, adalah Sajarah Banten. Hoesein Djajadiningrat mengatakan Kalijaga yang disinggahi Pangeran Tuban itu memang Cirebon. Dan Garage ialah sebutan lain buat Cirebon. Ini tercetus dari peristiwa yang disebut “Pagarage” dan dalam satu karya Brandes dan peta pada buku John Crawfurd, “Grge” ditulis untuk menandai Cirebon.
Tapi jauh sebelum itu, kata grage sudah disebut-sebut banyak catatan kuno. 1447. Di tahun itu Cirebon sudah jadi kampung. Di masa silam, Babad Pasundan memberi catatan, konon petis Cirebon memiliki rasa lebih enak daripada grage/terasinya. Dan, upeti tahunan berupa sepikul rebon yang sudah halus gelondongan harus disetor ke Raja Galuh. Bahkan di dalam
Carita Parahyangan (1570) dikisahkan bahwa, “Di hadapan Raja Pakuan, Ajar Seda Sakti mengucapkan kutuknya bila sang raja akan dibalas atas perbuatannya oleh putranya sendiri, dan kelak seorang wali dari tanah Arab, datang di Gerage/Grage akan mendesak kekuasaan Raja Pakuan dengan agama barunya.”
Sebab itu, dalam sejarah Pasundan, Cirebon sering disebut sebagai tlatah kekuasaan raja-raja keramat. Para wali menganggapnya “puser bumi” berada di tengah-tengah Pulau Jawa maka disebutnya pula dengan “negara gede” atau Gerage/Grage. Dan saya menemukan keterangan tambahan Gerage berasal dari kata Glagi, nama udang kering sebagai bahan terasi.
Terlepas dari hal-hal yang belum disepakati ini, pencarian suatu ‘tempat’ yang pasti seperti model-model di negeri-negeri Eropa atau Cina, beberapa hal lain sudah bisa dianggap fakta.
Perjalanan Kalijaga antara Pegambiran dan Wasana Kidul, Pegambiran dan Bonang itu tak terjadi dengan sebentar-sebentar menghilang, tapi dengan berjalan kaki, menyeberangi kali, dan berlayar mengarungi laut utara. Dulu saya pernah berimajinasi para wali bisa terbang di atas selembar daun jati, tapi kini tidak lagi. Melainkan harus menempuh perjalanan berhari-hari, merasakan haus dan letih. Tentu, di masa itu, di abad ke-15, pelayaran dari Cirebon ke Lasem atau dari Gresik ke Pasai tak dilakukan sekali jalan. Kapal-kapal masih bergantung pada angin musim.
Dan ketika Cirebon berkembang sebagai “pusat Islam di pesisir utara Jawa Barat” itu karena Galuh lebih memilih Indramayu, dengan muara Sungai Cimanuk, sebagai “kota pelabuhan.” Sudah banyak biksu dari pelbagai negara yang mengunjungi, termasuk dari negeri Cina. Tak hanya itu, kekuatan Hindu juga masih besar dan berpengaruh.
Selain itu, masa ketika Suluk Wujil ditulis, adalah masa yang memiliki kecenderungan kuat kepada tasawuf panteistik. Primbon Bonang yang diyakini Schrieke sebagai tulisan Bonang asli jika dicermati akan tampak pengaruh pemikiran al-Ghazali, as-Salimi, an-Nawawi, al-Maliki, at-Tamimi, al-Anthaki, al-Bistami, Ibn Arabi, Abdul Qadir Jailani, dan seterusnya. Dengan ini, saya ingin mengatakan, kitab-kitab klasik berbahasa Arab jelas sudah dikenal dan dipelajari pada abad ke-16. Bahkan beberapa kitab sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa. Di abad itu pula, sejumlah kitab berbahasa Melayu dan berbahasa Jawa sudah banyak yang dibawa ke Eropa.[]
| Penikmat sejarah, pecinta senja. Tinggal di Cirebon. Beberapa karyanya telah dibukukan. Antara lain: Teror.
Tinggalkan Balasan