Parade Musik Sousa
Seorang lelaki berusia 64 tahun berdiri tegap menghadap cermin, dan membatin, umur boleh tua, namun semangat bermusik dan bernegara harus tetap membara.
Dialah John Philip Sousa, seorang komponis dan dirigen termasyhur yang hingga saat ini disanjung-sanjung oleh warga Amerika Serikat.
Hari itu, 28 September 1918, sebuah konser musik berskala besar digelar di Philadelphia, dan Sousa adalah bintangnya.
Parade musik itu sukses luar biasa. Yang hadir lebih dari duaratus ribu orang. Namun Sousa tak menduga; parade itu titik awal bencana.
Dalam seminggu setelah parade usai, tak kurang dari 4.500 nyawa melayang. Mayoritas adalah mereka yang hadir dan terpapar saat parade digelar. Tak ada satupun ranjang rumah sakit di Philadelphia kosong.
Sousa tak salah. Pengambil kebijakan kota Philadelphia yang telat ambil langkah. Beberapa hari sebelum parade digelar, otoritas kesehatan telah menghimbau untuk membatalkan parade tersebut lantaran di sebuah kamp militer yang tidak jauh dari lokasi parade, wabah Flu Spanyol yang diyakini sudah pergi belum bisa dipastikan sepenuhnya berakhir.
Namun mereka, para pemangku kebijakan kota, sama sekali tidak memedulikan saran-saran tersebut. Parade tetap digelar. Virus kembali tersebar.
Kecerobohan Philadelphia sangat klasik, bahkan sampai hari ini masih menjadi dosa favorit berbagai wilayah setiap kali menghadapi pandemi, yakni tidak mengindahkan penjelasan dan saran otoritas.
Di atas adalah penggalan kisah dari pandemi besar yang kemudian hari disebut sebagai Flu Spanyol, yang melanda dunia pada awal abad 20.
PSBB
Tak jauh dari Philadelphia, sebuah kota cerdas menerapkan inisiatif lain supaya kurva kematian akibat pandemi tidak melejit ke atas. Kota cerdas tersebut adalah St. Louis, sebuah kota mandiri di kawasan Missouri.
Flu Spanyol pertama kali membunuh korbannya pada awal 1918, virus tersebut menyebar dengan pesat di kamp-kamp militer baik di Amerika Serikat maupun di daratan Eropa. Wabah ini menjangkit dua belah blok yang bersengketa dalam Perang Dunia I.
St. Louis menanggapi informasi faktual ini jauh berbeda dengan Philadelphia. Dua hari setelah beberapa warganya diketahui terjangkit, mereka bergegas menutup seluruh sekolahan, gereja, tempat-tempat hiburan, dan semua ruang publik. Tidak terkecuali.
Aktor di balik pembekuan kota tersebut adalah seorang pakar kesehatan bernama Max Carl Starkloff, yang sampai hari ini disebut sebagai Bapak Social Distancing. Rekomendasi otoritas kesehatan itu dijalankan oleh pemerintah selaku penentu kebijakan.
Banyak pemberitaan yang sampai hari ini bisa dibaca tentang kehebatan St. Louis kala itu, salah satunya adalah larangan keras membentuk sebuah kerumunan dengan jumlah lebih dari duapuluh orang hingga wabah benar-benar berlalu.
Pun begitu, virus tetap menyebar di sana, namun self quarantine dan social distancing yang diterapkan secara disiplin benar-benar jauh lebih efektif dalam memperlambat dan memperkecil kasus-kasusnya dibandingkan Philadelphia dan sejumlah kota lain.
Langkah yang diambil St. Louis dalam mencegah pandemi satu abad lalu, pada kasus Covid-19 saat ini, tampak diterapkan di berbagai kota di berbagai negara.
Namun benarkah sudah maksimal dan sedisiplin St. Louis pada 1918?
Di Bogor misalnya, baru sekian kecamatan saja yang menyandang status PSBB. Kecamatan lain baru menyusul satu-satu. Tak serempak. Terkesan lamban. Katanya banyak yang harus dipertimbangkan.
Benarkah harus seperti itu? Berapakah kerugian bila PSBB diberlakukan tanpa terkecuali untuk seluruh kecamatan? Apakah sebanding dengan kerugian, maaf, apabila jumlah kasus semakin melonjak?
Adapun kerugian yang hanya akan berupa materi atas dalih mundurnya perekonomian, di lain kesempatan boleh diperdebatkan. Namun pencegahan terhadap kurva kasus Covid-19 supaya tidak melejit ke atas harus lebih diprioritaskan. Soal logistik dan pangan, masyarakat yang cerdas akan punya banyak cara menunjukkan kemandiriannya.
Kota yang cerdas dihuni oleh warga yang cerdas, dijalankan oleh aparat yang cerdas. Oleh karena kecerdasan seluruh warganya berbeda-beda, kesadarannya pun juga tak sama,
maka satu-satunya jalan adalah pendisiplinan PSBB yang merata, tidak setengah-setengah, dan, meminjam istilah yang populer kemarin-kemarin, terstruktur, sistematis, dan masif.
Walang Gustiyala, mengajar di Pesantren Tahfizh al-Qur’an Daarul ‘Uluum Lido, Cigombong – Bogor.
Tinggalkan Balasan