Qoul Qodim dan Qoul Jadid

Dilahirkan di Ashkelon, Gaza, pada Agustus 767 M, sebagai yatim, ia diasuh sang Ibu, Ruqayyah, dengan penuh kasih penuh sayang. Usia dua tahun dibawa ke dataran Hijaz untuk hidup bersama keluarga dari jalur sang ibu, Muhammad asy-Syafi’i kecil berkembang dan menyukai puisi. Ia juga pandai memanah. 

Lantaran si kecil Muhammad asy-Syafi’i sukanya setiap hari bermain panah, sang Ibu yang kuatir atas pendidikan ya membawanya pindah ke Makkah untuk hidup dengan paman-pamannya dari jalur sang ayah.

Di Makkah ia disekolahkan di salah satu Kuttab, semacam pesantren. Sebenarnya sang ibu tak punya biaya menyekolahkan anaknya. Tapi bagi sang ibu, Syafi’i musti sekolah! Dan sekolahlah ia. Meski tak mampu membeli satu pun peralatan sekolah. 

Pensil tak punya. Buku tak ada. Imam Syafi’i kecil kemudian terbiasa sebisa mungkin menghapal pelajaran sebaik-baiknya biar tak perlu mencatatnya dalam buku.

Rasa suka Muhammad asy-Syafi’i kecil pada puisi makin menjadi. Ia suka dolan ke perkampungan Bani Hudzail yang kala itu paling fasih bahasa Arabnya. Ia kini juga pandai menunggang kuda. Sambil baca puisi.

Berkat tirakat sang ibu, ia dipertemukan oleh seseorang yang menegurnya, “Baca puisi terus, ngajimu kapan?”

Maka ia pun makin rajin ngaji di Masjidil Haram. Hafal Quran pada usia tujuh dan Muwath’tho’ pada usia duabelas, Muhammad asy-Syafi’i kecil kini makin suka ngaji fikih. 

Ia kemudian pamit kepada sang ibu untuk ngaji kepada Imam Malik, penyusun kitab Muwaththo’, di Madinah. Sang ibu tentu saja merestui.

Usai dari Madinah, ia pulang sebentar ke Makkah dan kembali mengembara. Kali inj ke Yaman. Meski ia sudah ‘alim dan diizinkan para guru-gurunya untuk memberi fatwa, Imam Syafi’i tetap terus menuntut ilmu kepada para ulama. Tanpa ada kenyang-kenyangnya.

Dan sejak di Yaman, mulailah tampak corak pendirian, sikap sosial, dan cara pandang yang kemudian menjadi pondasi bangunan Mazhab Syafi’i. Imam Syafi’i mulai melakukan ijtihad dan merangkai istinbatnya sendiri.

Dari Yaman, Imam Syafi’i berkesempatan mengunjungi Baghdad. Di ibu kota Dinasti Abbasiyyah itu, Imam Syafi’i menimba ilmu kepada para ahlur ra’yi, rasionalis. Ini hal baru bagi beliau. Selama ini, Imam Syafi’i menghafal al-Quran, menelaah Hadist, mempelajari teks-teks keagamaan karya para ulama dan puisi Arab.

Di Baghdad, keilmuan Imam Syafi’i makin matang. Selain mengajar ngaji dan tak henti mengkaji, ia produktif menulis dengan bentang bahasan keilmuan yang luas. Tapi tema pokoknya adalah ilmu fikih, usul dan furuknya. Kadang, kalau lagi iseng, ia juga menulis puisi. Pendapat-pendapat fikih Imam Syafi’i dalam kurun ini biasa kita kenal dengan istilah Qoul Qodim. Pendapat Lama.

Ia lalu pindah ke Makkah dan mengajar ngaji di sana. Ia juga menyelesaikan kitab Ar-Risalah yang terkenal itu di sana. Setelah sembilan tahun asyik mengajar ngaji di Makkah, ia kembali ke Baghdad gara-gara mendengar makin menggilanya mutakallimin dalam mempengaruhi kehidupan masyarakat Islam. Orang-orang sukanya berdebat tentang Tuhan sambil mabuk-mabukan.

Imam Syafi’i bertahan dua tahun berjuang membenahi ummat di Baghdad. Ia sudah kangen Makkah. Ia balik lagi ke Makkah. Tapi di Makkah beliau kepikiran ummat Islam di Baghdad yang masih asyik berdebat tentang Tuhan. Setahun di Makkah, beliau balik lagi ke Baghdad.

Tapi ternyata Baghdad makin tidak asyik bagi beliau. Lingkar istana bahkan sudah dikuasai mutakallimin yang menganggap Tuhan dan sifat-sifatNya dan perbuatanNya bisa dirasionalisasikan. Cuma tinggal beberapa bulan di Baghdad, Imam Syafi’i memilih hengkang dan kali ini pindah ke Kairo, persinggahan terakhir Imam Syafi’i dalam pengembaraannya menuntut ilmu yang sepanjang hayat.

Di Kairo inilah keilmuan beliau yang sudah matang menjadi semakin matang. Di sana beliau bertemu ulama-ulama sepuh yang ilmunya belum sempat beliau sesap. Di sana pula beliau menjumpai banyak fenomena sosial masyarakat heterogen yang sebelumnya belum pernah beliau rasakan. Di Kairo, beliau banyak merevisi Pendapat-pendapat fikih yang pernah beliau kemukakan. Dan tersusunlah Qoul Jadid. Pendapat Baru. Beliau menyusun dan menyelesaikan kitabnya, Al-Umm.

Contoh revisi hukum yang beliau lakukan adalah yang berkaitan dengan perempuan dan wudhu.

Pada periode Qoul Qodim, Imam Syafi’i hidup di Makkah, Madinah, Yaman, dan Baghdad. Di kota-kota tersebut, penduduknya yang perempuan pada pakai cadar semua. Maka, seperti kebanyakan imam yang lain, Imam Syafi’i pun dalam Qoul Qodim-nya berpendapat bahwa laki-laki bila senggolan dengan perempuan tidak membatalkan wudhu.

Sedangkan di Kairo, ceweknya cantik-cantik. Heterogen. Umumnya tidak pakai cadar. Maka, begitu Imam Syafi’i pindah ke sana, beliau membatin, “Masya Allah, perempuan kok cantik-cantiknya kayak begini. Nggak ada yang pakai cadar pula. Kalau kayak gini mah, senggolan sama perempuan ya mbatalin wudhu!”

Share

3 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *