Agus Rois |
Dari cerita Sasakala.
Dan seorang itu mubuy, hilang
Seperti batu dilempar ke danau
Dia leluhur para Pu’un. Sangiang Pucuk Umun. Penguasa Banten Selatan. Sang wakil raja Pajajaran. Pemilik istana Giripawana. Tuan dari para penyembah berhala. Ia memiliki ilmu weduk, kebal, tak mempan segala jenis senjata. Ia tabu untuk menulis dan membaca. Para pengikutnya setia dan menghormati tiap titahnya. Banyak dari mereka adalah bekas laskar Pajajaran. Yang tak lama sesudah Prabu Siliwangi diperabukan, dan, yang tak lama setelah para wiku memusnahkan istana dengan air suci, kerajaan amblas ke bumi. Mereka pun lari menggabungkan diri dengan orang-orang Banten Selatan.
“Semua lenyap tanpa bekas.” Babad Tanah Sunda dan Sejarah Banten menuliskan cerita “Pajajaran di akhir sejarahnya hilang bagai ditelan bumi,” itu dengan seru. Tapi kraton itu lenyap bukan karena takluk oleh negeri-negeri yang jauh, melainkan bocah-bocah yang tak lain anak-cucu sendiri, Walangsungsang dan Gunung Jati. Peristiwa ini terjadi tahun 1482.
Sebelumnya, dalam Naskah Mertasinga, ketika Prabu Siliwangi merasa gamang bila akhir hidupnya sudah dekat, Wiku Talibarat mengecam keras sikap sang raja. “Buat apa kau ikut agama busuk itu, yang hanya akan menyebabkanmu sial terkena penyakit. Mati. Tidak ada guna Islam itu, lebih baik menuruti perintah Sang Hyang Sadabu Cenggi.”
Waktu itu, di Pajajaran tak boleh ada yang menyebut nama Allah. Islam bukan jalan keluar. Pun Pucuk Umun, ia kukuh dengan agama lamanya. Ia putuskan lebih baik mubuy daripada memeluk agama Muhammad. “Kami, orang-orang Banten Selatan, tak sudi melepas agama leluhur…” katanya kepada Sabakingkin, anak Putri Kawunganten, yang lahir di tahun 1478, yang kemudian hari jadi Sultan Banten dengan gelar Maulana Hasanudin. Pada akhirnya, ia hanya bisa berdalih, berdalih, berdalih, itu yang terjadi.
Bukan kami masih ragu baik tidaknya ajaran tuan
Tapi hanya ingin tak merasa terpaksa, menyesali
Ketika melepas agama turun-temurun ini
Berilah waktu enam hari
Di hari ketujuh kalian boleh datang lagi ke sini
Kami sudah punya keputusan
Sebab ketika Sabakingkin dan pengiringnya tiba di sana, suasana tampak sepi. Kata tinggal kata. Tergantung pada pohon-pohon tua. Pucuk Umun tak pernah menemuinya, Sabakingkin dianggap tak ada. Karya babad menceritakan, berkali-kali, lewat pembantunya Pucuk Umun menyatakan diri sudah pergi, menghilang. Mengasingkan diri dari dunia ramai. Antara hutan-hutan lebat di selatan. Ia tahu kalau…
Sejak beberapa tahun itu kapal-kapal yang besar berlabuh di pantai utara Banten. Kabarnya mereka datang untuk berniaga tapi membawa tentara dalam jumlah banyak. Ketika Portugis tiba tahun 1511, Banten adalah bandar besar sesudah Jayakarta. Beberapa tahun kemudian, sejak 1527, Banten bersiap jadi kota pelabuhan utama yang menghubungkan perdagangan rempah dan lada menuju India dan Cina. Dan satu hal yang harus diingat selanjutnya, 1550, Hasanudin mendorong penanaman lada di Jawa Barat dan Sumatra Selatan. Tapi apa yang lebih penting dari itu? Perjalanannya sebelum akhirnya Pucuk Umun mubuy. Ini ceritanya.
“Prabu kami sudah mati tiga hari lalu,” kata seorang tua kepada Sabakingkin. “Kuburnya di atas bukit.” Tapi saat Sabakingkin ke sana, itu bukan kuburan, Pucuk Umun malah sedang membuat sumur di seberang bukit di ujung hutan yang lebat. “Pondok ini, selain tempat untuk menyepi, kelak ingin dipakai sebagai surau, juga mengaji. Dan sumur ini aku sengaja membuatnya untuk bersuci. Aku minta enam hari lagi. Di hari ketujuh, kembalilah ke sini. Tentu sumur sudah siap pakai. Dan aku mau disumpah.”
Di hari yang dijanjikan, Sabakingkin menagih janji itu, hanya ada pelayan tua. “Ia sedang di Pasir Gontra,” katanya. Di Pasir Gontra, Pucuk Umun sedang asyik menenun. “Aku ingin memakainya untuk salat bila telah masuk Islam,” katanya kepada Sabakingkin. “Alangkah baiknya anda berikrar dulu masuk Islam,” jawab Sabakingkin. “Tidak,” kata Pucuk Umun. “Datanglah kembali di hari ketujuh. Aku janji. Surau dan sumur sudah, tinggal sarung saja.”
Ketika hari yang dijanjikan tiba, Sabakingkin bergegas menemui Pucuk Umun. Tapi sial, ia kembali menerima kenyataan bahwa pondok telah kosong. Katanya seorang: ia sedang tapa di Gunung Payung, Ujung Kulon. Tapi tak menampakkan dirinya sampai hari ketujuh. “Aku di Pulau Panaitan,” suaranya terdengar jelas. Tapi ketika Sabakingkin sampai sana, ia telah pergi ke Lampung. Dan Sabakingkin baru benar-benar menemukannya di Gunung Pulosari. “Aku lelah,” ungkap Pucuk Umun. “Jangan dikejar-kejar lagi.” “Niatku mengajakmu masuk Islam, tak pernah berubah. Tapi aku juga tak akan memaksa.”
“Aku tak bermaksud mengulur-ulur waktu lagi, kita ketemu di Giripawana tujuh hari lagi.” Dan di hari ketujuh, dihadapan rakyatnya ia berkata-kata lantang: “Hari ini batas akhir aku memberikan jawaban pada Sabakingkin, anak wali Cirebon itu. Apa pendapat kalian? Mau melepas ajaran leluhur dan memeluk agama baru?” Sejenak suasana jadi riuh, ramai suara bisikan. Tak lama kemudian mereka menjawab, “kami patuh perintah paduka,” seperti koor. “Kalau begitu aku akan mengadu kesaktian dengan sabung ayam.”
Lalu, tanpa diperintah, rakyat Giripawana mulai memadati tanah lapang. Sabakingkin serta rombongan dari Surosawan datang beberapa saat kemudian. Tapi tak sampai 10 menit ayam jago Pucuk Umun sudah kalah. “Kini jelas, aku tak bisa mengungguli kesaktiannya. Masuk dan belajarlah kepada mereka, jika tertarik dengan agama baru itu. Aku sendiri, tak mau.” Ia tiba-tiba menghilang, begitu selesai mengucapkan itu. Tubuhnya lenyap.
Beberapa cerita mengatakan hal berbeda, Pucuk Umun –yang masih sambung darah dengan Gunung Jati– tak langsung hilang tapi berubah jadi beo. Lalu terbang jauh, lebih jauh lagi, melewati gunung-gunung. Dan saat melintas di atas hutan-hutan Kanekes, di mana terdapat sungai berair jernih, burung itu yang sudah pucat dan lelah melayang turun dan kembali jadi manusia. Di situ ia bangun perkampungan baru, Cibeo, Cikeusik, Cikartawana yang menutup diri selamanya dari agama dan film porno.[]
| Penikmat sejarah dan senja.
Tinggalkan Balasan