Dongeng dari Bonang (2)

Agus Rois |

Setelah dawuh panjangnya. Berkata Bonang kepada santrinya: “Lekas Wujil, panggilkan Ken Satpada di pondoknya, bilang saya ingin bicara, sekarang juga.” Waktu itu hari baru lewat subuh. “Kenapa aku dipanggil sepagi ini,” tanya Satpada kepada Ki Wujil. “Entah. Aku pun tak mengerti,” jawab Wujil, abdi asal Wilwatikta. Tak lama kemudian mereka sudah duduk di hadapan guru mereka dan mengucapkan salam.

“Apa kabarmu, Satpada?” ujar Sang Guru. “Bukankah kau baru datang kemarin dari Jawana, ada berita apa dari sana?” 

Satpada menjawab: “Duh adik Kanjeng Sunan, Tuanku, Seh Malaya, bermain topeng di Pati tujuh hari lamanya.” 

Mendengar itu, Sunan Wahdat kembali bertitah kepada Wujil. “Segera kau cari bunga Padma.”

Selang beberapa menit, Wujil telah kembali dengan kembang Padma di tangan. Oleh Bonang daun dan bunga Padma itu ditulisi, di dalamnya diselipkan kembang rembuyut yang dibentuk sumping surengpati. “Wujil, berikan bunga Padma ini kepada Seh Malaya.” 

Demi mendengar tugas gurunya, Wujil undur diri, ia bersembah, berangkatlah ia ke Pati. Tak dikisahkan “hal-hal yang terjadi” selama di perjalanan dan berapa jauh jaraknya.

Suluk itu hanya mengisahkan ketika tiba di tempat yang dituju, bertanyalah ia kepada orang di kampung itu tentang penari topeng bernama Seh Malaya. Dan seorang yang ditanya segera menjawab dengan hormat, “Betul. Ada seorang wali yang bergelar Seh Malaya di sini, tapi ia sekarang sedang bermain topeng di Wasana Kidul. Hutan kidul. Tidak jauh dari sini. Banyak orang yang menontonnya.” 

Wujil pun melanjutkan perjalanan, tak lama sampailah ia di hutan kidul, dan ketika Seh Malaya selesai bermain topeng, diberikanlah kepadanya titipan Sri Sunan.

Seh Malaya yang mendapat kiriman “diliputi rahasia” bingung. “Wujil, apa maksud semua ini?” 

Yang ditanya ikut bingung. “Duh, hamba juga tak tahu, hamba hanya abdi, Gusti.” 

Seh Malaya diam cukup lama. Dipandanginya bunga Padma. Tak putus-putusnya ia menerka arti bait-bait kakawin di dalamnya. Kemudian ia meyakinkan diri bahwa itu tamsil “barangsiapa mengingkari diri, ia tak pernah selesai dengan hidupnya, seperti seorang lelaki yang menari topeng berhari-hari, padahal segala hal binasa kecuali wajahNya.”

“Wujil, dengarkan sekarang, rupa-rupanya Sang Panembahan Agung di Muria punya maksud bahwa semua ada akhirnya, hidup itu fana,” kata Seh Malaya. “Jangan kelewat menyibukkan diri dengan urusan dunia. Berpalinglah kepada Tuhan jika tidak ingin jadi suwung.” 

“Hamba masih belum mengerti, Sunan Kali,” ujar Wujil. 

Kalijaga tersenyum lembut, “Karena itu kau disebut Wujil, antara nama dan rupa tak ada beda. Isi perkataan dari junjunganmu adalah soal kepergianku ke Mekah. Ia bertanya tentang pengalamanku naik haji.”

Dalam Suluk Wujil dikisahkan kelar pentas tari topeng itu segera Seh Malaya mengajak anak bajang itu pulang ke Dukuh Pegambiran. Laki perempuan dan anak-anak mengikuti mereka. Semua bersorak bahagia. Wujil berjalan di belakang para janda desa. Tak dikisahkan selama di perjalanan, hanya diceritakan sesampai di pondok Pati orang pun sibuk menyiapkan pesta makan besar. Wujil ikut makan bersama orang-orang itu. Sesudahnya mereka ngobrol sambil mengunyah sirih.

Waktu orang-orang sudah bubar, Seh Malaya berujar. “Wujil, besok jika pulang sampaikan kepada Sang Panembahan Agung. Tetapi jangan sampai terkesan ini kata-kataku, melainkan seolah-olah ucapmu. Jika Sang Mahamuni bertanya, “Sampaikan sehormat-hormatnya, aku beruluk sembah.” Jangan kau bercerita aku tak jadi ke tanah suci, karena disuruh pulang Seh Maghribi. “Tak ada yang tahu di mana Mekah sesungguhnya. Lebih baik pulanglah kembali ke tanah Jawa.” Meski seorang memulai perjalanannya dari muda sampai tua. Orang harus punya bekal jika ingin ke sana, jika tidak, perjalanannya akan percuma, ia tak akan menemukan apa-apa. Ketika kembali ia tak akan pernah jadi suci, tetap bergelimang dosa dan dengki. Tak ada keberanian dan kesungguhan untuk mati.”

Wujil mendengar itu dengan perasaan ganjil. Perjalanan haji yang gagal, demikian ia merasa. Dan ia, yang namanya disebut dalam Serat Kanda sebagai santri Sunan Bonang yang berani sabung ayam dengan Ajar Blacak Ngilo dan ia bersorak menari kegirangan saat pithik aduan miliknya menang, tak berusaha buat bertanya. Ia tahu “aturan” bagaimana sikap menghadap pangeran dan raja, karena sejak kecil ia sudah jadi abdi sang raja. Seumpama raja itu cermin bersih, kawula harus mawas diri.

Suluk Wujil, demikian orang banyak menyebutnya, adalah ajaran rahasia. Dan karena ajaran rahasia, saya kira, dibutuhkan orang yang tidak tinggi hati tapi rendah hati, karena itu dibuat tamsil Wujil. Si Kerdil. Dalam pewayangan, sosok Wujil ini bisa kita baca jelas lewat tokoh Sukrasana. Bugel yang buruk rupa. Sementara Sukrasana ingin bersatu kembali dengan sang kakak, Sumantri, dengan cara berjalan sendiri. Si Wujil, menyusuri jalan mistik yang biasa dilakukan para sufi. Ia menggunakan penunjuk jalan yaitu Sunan Wahdat. Tahap-tahap jalan menuju kesempurnaan itu dilalui dalam empat tingkatan: syariat, tarekat, hakikat, makrifat.

Wujil “sang pembawa pesan” kembali keesokan paginya, ia berlalu dengan tergesa-gesa. Ia langsung menemui Sunan Wahdat ketika sampai Bonang. Ia mencoba mengingat-ingat titah Seh Malaya: Jangan banyak omong! “Wujil, kau sudah datang, ada berita apa dari Malaya?” Sunan Wahdat bertanya. “Ia tak berujar apa-apa,” terdengar ucap Wujil. “Ia hanya memberi sembah. Itu saja. Tak ada lainnya.”

Sang Sunan dengan segera tahu, pesan yang baru didengarnya itu kebohongan yang ditutup-tutupi. Tapi ia merasa tak perlu memarahi. “Wujil, kau perlu tahu, Seh Malaya sekembalinya dari Malaka menetap di suatu tempat.  Ia menjalani tapa yang panjang dan sungguh. Di tempat yang bernama Kalijaga, di dekat sebatang kali, ia menjalani penyucian diri, lima tahun lamanya.”

“Ada satu putranya yang kabur.” Sunan Bonang tak menyebut nama. “Seorang anak laki-laki yang unggul, gemar bertapa, suka berpuasa, dan jarang tidur. Ayah ibunya tak henti-hentinya menasehati, “Jangan tergesa-gesa ingin punya karomah, kau masih amat muda.” Mendengar itu, sakit hatilah si bocah. Murunglah ia. Hanyut dalam perasaan marah. Putus asa. Lalu, pada suatu hari, ia pergi tanpa pesan, ia putuskan tak pernah kembali ke rumah untuk selamanya.”

Dan kemudian kita tahu persis bocah yang dimaksud itu. Sejarah mencatatnya sebagai Sunan Panggung, pengarang Suluk Malangsumirang, lak-laki yang dibakar tapi tak jadi abu. “Sebab itu, Wujil. Sebab tak ingin terus merasa sedih untuk waktu lama, ia menjadi penari topeng, ia tabuh gambuh dari desa ke desa. Ia layaknya orang sinting. Ia tak pedulikan rasa laparnya, tak lagi menghiraukan baju yang dipakainya. Putus malunya. Seh Malaya terus saja hidup sedih di sana. Wujil, matilah selagi hidup, kembali ke asal, meski jarang orang yang mencapainya.”

“Untuk sampai sana, hilangkan nafsu-nafsumu. Jangan pernah berhitung akan sesuatu. Tak boleh memilih atau membagi,” tegas Sunan Wahdat. “Tak ada gunanya, jika ingin tahu apa pun yang melintas dalam benak ini.” Kemudian, sesudah mengucapkan itu, Sunan Wahdat meminta Satpada mengambilkan cermin dan meletakkannya pada pohon wungu itu, dengan kata-kata yang memancarkan kehangatan. “Kalian, bercerminlah. Kau, Wujil, berdiri, dan, Satpada duduklah. Pandanglah lekat-lekat diri kalian dalam kaca itu.”

“Wujil, kau berdiri dan aku bersila, kita sama tingginya,” kata Satpada. 

Yang disebut pun menimpali, “Di sana ada dua bayangan, keduanya tak dapat dipisah, sama punya kemauan.” 

Satpada berujar, “Wujil, di mana kemauanku dan kemauanmu bersatu? Sedang kita ini beda, kau lelaki dan aku wanita.” 

Wujil menyahut pelan, “Di dalam cermin, seperti halnya saat di ranjang, tak ada beda antara lelaki dan wanita, mereka dipersatukan selamanya.” Satpada, perempuan muda itu masih belum mengerti dengan perkataan Wujil. 

“Laki-laki dan wanita jika sudah manunggal di dalam cermin, tak lagi dikatakan laki-laki dan wanita, mereka rasa tunggal,” Wujil menegaskan perkataannya.

Sebenarnya obrolan itu masih panjang, ada terusannya, tapi saya mau melewatkannya. Pada bagian lain diceritakan tentang kedatangan pemuda Santun asal Penanggungan yang hendak mendalang wayang. Juga pelajaran tentang nafi dan isbat. Renungan “rahasia” dalam simbol alif –keesaan Allah. Dan mulai masuk pada hal yang paling diingat dan penting. Percakapan singkat antara Seh Malaya dan Sunan Wahdat.

Ketika sampai Pondok Bonang ditemani dua pengiringnya –Luwungsalawe dan Wanakarta– sejak Dukuh Pegambiran Seh Malaya merasa sedikit jeri melihat Sunan Wahdat. 

Berkatalah Sunan Bonang, “Aku percaya, kau sudah sampai Mekah.” Sambil tersenyum. 

Maka dijawab oleh Seh Malaya, “Ya, begitulah, Kanjeng. Hamba sampai Mekah ketika bertapa di Kalijaga. Mekah sungguh sukar dicapai, ombak lautnya amat besar dan menghempas kesana kemari. Setelah melewati samudera maha luas, kita akan ketemu hamparan padang pasir yang panas. Udara yang kering, dan angin yang bergulung-gulung. Pergi ke Mekah itu sulit sekali, orang yang sering mengaji pun belum tentu sampai. Banyak orang merasa sudah sampai di Mekah. Padahal ia belum kemana-mana, batinnya masih suka meluapkan kemarahannya.”

Sunan Bonang memandanginya. “Itulah fana. Kau telah mencapai kefanaan saat bertapa di Kalijaga, sebab itu sekarang namamu Sunan Kalijaga, kau memasuki alam Tuhan, bertemu Khidir dan bisa melihat Mekah. Yang tampak adalah Dia semata. Begitulah, siapa kenal diri, ia akan kenal Tuhannya. Hilang. Lenyap ke dalam Roh Agung.”

Dan ujung dari Suluk Wujil, Poerbatjaraka kerap menyebutnya “kitab suluk yang tertua dari abad ke-16 yang membicarakan Islam,” kembali menegaskan tentang itu: Kesatuan. Ketika dada bertemu dada, mata mereka saling terpejam, tidak ada lagi yang harus dicemaskan dari hidup atau rasa berdosa yang mengikutinya ke mana pun pergi, sekejap sampailah mereka di Mekah. Inilah yang disebut “kefanaan dari yang fana” oleh kaum sufi.

Sampai di situ, kita bisa melihat bahwa semua tokoh dalam Suluk Wujil adalah pejalan jauh. Semuanya ingin mencari ilmu rahasia, martabat wahdat, di balik “pintu putih” itu. Dan, kita tahu, Seh Malaya “sang pengembara” atau “santri kelana” itu melakukan perjalanan kesana kemari setelah tinggal di Kalijaga. Disimbolkan kemudian lewat tari topeng. Ia bermain dari desa ke desa untuk mencari putranya yang hilang. Dalam Babad Cirebon, tari topeng adalah tingkatan hakikat makrifat. Sementara syariat itu wayang dan tarekat disimbolkan barongan. []

Penikmat sejarah, pecinta senja. Tinggal di Cirebon. Beberapa karyanya telah dibukukan. Antara lain: Teror.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *