Agus Rois |
Ketika Schrieke memuat kembali “cerita yang sudah jadi mitos” pertemuan seorang pertapa India dan Sunan Bonang, ia sesungguhnya sedang menegaskan bahwa babad bisa jadi dasar penulisan sejarah ketika catatan yang menunjukkan tarikh dan bukti epigraf tak ditemukan. Bonang hidup di zaman Majapahit akhir, ketika kekuatan Hindu mulai kendur. Bonang juga melihat “perang yang sulit dielakkan” semboyan pendek: Islam harus bergerak maju, siapa jadi perintang jalan itu musuh.
Disebutkan bahwa seorang pertapa India berlayar ke Tuban, ia hendak mengadu kesaktian dengan Bonang yang waktu itu telah kesohor sebagai manusia pilih tanding. Kesaktiannya tak ada lawan. Tapi apes, sebelum mendarat kapal sang brahmana itu dihajar badai, semua kitab mantra yang dibawanya jatuh ke dasar laut yang sunyi. Ia sendiri terdampar di pantai Tuban dan pingsan cukup lama. Ketika sadar dilihatnya seorang lelaki tua bersorban putih berjalan mendekatinya. “Di mana saya? Saya dari luar, mau ke Tuban bertemu orang yang bernama Bonang, saya ingin mengadu ilmu dengannya. Tapi apa boleh buat semua “harta” kitab saya yang berisi aji-aji wegig ditelan ombak, tak akan kembali dari dasar samudera.”
Mendengarnya, lelaki tua itu mencabut tongkatnya yang tertancap di pasir pantai. Tiba-tiba keluar air dari lubang tempat tongkat itu, disusul kitab-kitab milik si brahmana. Pertapa itu terkejut, terpekur lama. Di mana ia sebenarnya. Siapa lelaki di hadapannya. Tanpa sungkan, ia bertanya, “Siapa Tuan?” Dijawab lelaki tua: “Bonang!” Lalu berjalan terus. Meninggalkan sang resi dan kitab-kitabnya yang basah. Dan lubang bekas tongkat itu, konon, di kemudian hari lubang itu jadi perigi dan masih bisa dijumpai, lubang itu tak henti-henti memancarkan airnya yang jernih. Dan akhirnya dikenal dengan nama Sumur Srumbung –hanya beberapa meter dari pesisir pantai Tuban.
Tentu cerita itu tergolong mitos, tapi di belakang mitos “Sumur Srumbung” itu terkuak hal lain. Pantai Tuban dalam masa Bonang hidup adalah pelabuhan utama Majapahit, Hindu memasuki sebuah cerita akhir. Tuban jadi salah satu saksi tertua tentang hubungan antara Jawa dan “negeri lain di seberang lautan” India. Kapal-kapal akan mengangkat sauh serta berlayar menunggu angin baik –dan ini terjadi di pesisir pantai utara Jawa bukan di pesisir selatan Jawa. Kitab-kitab India sudah dikenal, dan amat mungkin Bonang menyalin naskah-naskah agama Hindu-Buddha yang diperolehnya sembari membuat catatan sendiri.
Begitulah. Tuban, bukan Gresik, dengan Goa Akbar yang dipercaya sebagai tempat bertapa Bonang dan Kalijaga, saya menganggapnya, ialah pintu masuk menuju kerajaan Majapahit tempo dulu.
Kita bukan saksi mata dari kehidupan Bonang. Tapi sejarah mencatat ia hidup di masa orang Hindu-Buddha dengan mudah mengenalinya sebagai anak ningrat di Ngampel Gading. Dan, dalam bagian lain dari Babad Kediri dan Suluk Darma Wasesa diceritakan Bonang berkelana hingga negeri Keling. Di sekitar Sungai Brantas, ia marah, ia kutuk daerah itu kekeringan air dan sebagian yang lain banjir dengan mengubah aliran Kali Brantas, dan menyumpahi orang-orang “Gedah” yang tak suka dengan dakwahnya “kelak anak cucu kalian sulit kawin.”
Di Kediri pula, menjelang akhir abad keempat belas, tepatnya si desa Bogem, Bonang merusak arca-arca pemujaan tinggalan Prabu Jayabaya. Orang menjadi marah. Buto Locaya dan Nyai Plencing, yang kiranya penganut ajaran Tantra Bhairawa dan penerus ilmu hitam Calonarang, mengecam dan mendesak Bonang pergi dari Kediri. Gajahmada, yang mendapat laporan bila tanah Kertasana rusak karena perbuatan Bonang, menghadap Prabu Brawijaya. Mendengar itu, raja pun marah. Ia merasa orang-orang Islam yang telah diberinya kebebasan berdiam di Demak dan tempat lain tak tahu terima kasih. Ia menyesal telah memberi kepercayaannya.
Sebuah bundel catatan mengatakan, sesudah bikin ribut di Kediri, Bonang –ditemani Giri– pergi ke Demak dan membakar hati Raden Patah agar mau mengangkat senjata menentang Brawijaya. Dan siapa saja wali yang tak setuju rencana serbuan itu harus mampus dibunuh, konon Lemahabang atau Siti Jenar mati sebab itu –menolak penobatan Adipati Demak jadi Sultan Demak yang bersiap menyerang Majapahit.
Dan dalam banyak babad, keruntuhan Majapahit seringkali ditulis secara simbolis sebagai “disengat lebah, digerogoti tikus, dan diteluh demit” dan itu sebenarnya bahasa kias untuk “menunjuk hidung” orang-orang Islam yang membabat habis mereka. Kerajaan yang dibangun dari tipu muslihat Raden Wijaya, seolah mendapat karmanya, akhirnya hancur oleh siasat pula.
Begitulah menurut Babad Kediri, di sana dituliskan bahwa Bonang, tamu jauh “yang keras” asal Ngampel Gading itu datang dengan kemarahan. Merusak dan mengutuk “hal-hal yang dibencinya.” Ia seperti Salahuddin al-Ayubi yang memasuki Yerusalem dalam Perang Salib. Harus berhadap-hadapan dengan pembencinya dan ingin melumatkan semuanya.
Agak membingungkan melihat Bonang “mengislamkan Kediri” dengan sikap keras. Saat ia datang, konon, Kediri sudah “diislamkan” oleh seorang wali –Seh Wasil Syamsuddin– yang kelak diyakini “berhasil mengislamkan Jayabaya” dan “leluhur dari seluruh wali tanah Jawa.” Apa ini soal legitimasi “kaum abangan” Wengker dan Mataram? Saya kurang tahu. Saya tidak bisa membayangkan lebih jauh. Sederhananya begini: Jika Islam sudah dipeluk orang-orang Kediri masa Jayabaya, Bonang tak harus ngamuk-ngamuk, dan, seperti ditulis dalam Babad Sengkala, Sunan Giri Prapen tak perlu capek-capek “membakar habis Daha” di tahun 1551 dan dilanjutkan dengan menumpas sisa-sisa orang “sesat” Kediri tahun 1577.
Para ahli umumnya menafsirkan Kediri jauh sebelum Bonang datang dan saat ia tiba adalah kekuatan Hindu-Buddha yang sulit digoyahkan dan tak mau tunduk oleh agama baru. Maka, tak aneh apabila “kegagalan Bonang menyebarkan Islam di Kediri” beritanya termuat dalam banyak babad. Tapi ia masih bisa mendirikan langgar di barat Kali Brantas, tepatnya Singkal. Bahkan menurut H.J. de Graaf dan G. TH. Pigeaud, “Adanya masjid yang cukup penting di Singkal pada abad ke-17 menyebabkan legenda yang mengisahkan tempat itu “sebagai pusat propaganda Islam pada permulaan abad ke-16” menjadi agak lebih dipercaya.”
Dan menurut naskah Hikayat Hasanuddin, setelah “dakwah awal yang gagal” Bonang pergi ke Demak atas panggilan Raden Patah untuk menjadi imam masjid di sana. Tapi jabatan itu ditinggalkan tak lama setelahnya, Lalu ia menuju Lasem. Tinggal di rumah kakaknya, Nyai Gede Maloka, janda Pangeran Wiranagara, yang memintanya merawat makam nenek mereka asal Campa. Dan, Carita Lasem menuturkan bagaimana perubahan sikap Bonang “yang alim” tatkala di Lasem. Sebuah batu gilang diratakan untuk tempat sujudnya di dekat makam sang nenek. Di situ, ia mulai membuat zawiyah, tempatnya berhalwat.
Dalam Carita Lasem, juga menurut catatan Babad Tanah Jawa dan Sadjarah Dalem yang berisi silsilah raja-raja Mataram dan menggelarinya Sunan Wahdat Anyakrawati, Bonang digambarkan sejak tinggal di Puthuk Regol yang sekarang disebut “Watu Layar” sampai hayatnya memilih hidup membujang. Tapi dalam satu riwayat lain disebutkan ia menikah dengan Dewi Hira, putri Raden Jaka Kandar. Dan memiliki anak tunggal, Dewi Rukil, yang diambil istri Sunan Kudus. Dari mereka lahir cucunya, Raden Amir Khasan, yang tutup usia saat masih perjaka di Pulau Karimunjawa.
Perkara Sunan Bonang hidup membujang atau kawin dan punya anak itu kurang penting bagi kaum sejarawan “yang mencari hal-hal pasti.” Yang mereka yakini: Desa Bonang, Lasem, sebagai sisa-sisa dari pusat Kerajaan Hindu Kalingga yang masyhur pada abad ke-6, dari sana nama Sunan Bonang dikenal. Di Lasem, ia bangun pesantrennya yang disebut “ndalem” itu, ia jadi guru bagi orang banyak di antaranya Sultan Mahmud dan Putri Campa. Orang Lasem yakin, Bonang “wali yang pernah bertemu Khidir di Hutan Kemuning” dimakamkan di atas bukit di desa Bonang. Kuburnya ada di Makam Jejeruk. Tanpa cungkup tanpa nisan, hanya ditandai pohon melati. Tapi di atas bukit sepi itu, terdapat batu yang dipakai ia sebagai alas buat salat, tampak jejak kakinya, konon karena karomahnya batu itu melesak.
Ketika Lasem berkembang sebagai “pusat pendidikan agama Islam,” masih terdapat candi-candi Hindu dan Buddha di sana-sini. Dan ini simpulan para ahli, “Masjid di tengah hutan buatan Sunan Bonang yang disebut “Omah Gede” itu dulunya bekas candi.” Salah satu dari beberapa pusat niaga orang-orang Cina di pesisir utara Jawa Tengah. Sebab itu, kita masih bisa temukan banyak tinggalan masa klasik Islam seperti masjid, pesantren, bangunan batu bata besar khas zaman itu di Bonang. Bahkan dapat dikatakan bahwa pesantren-pesantren yang ada di Lasem, Sedan, bahkan Sarang yang berbatasan dengan Tuban, itu pengaruh dari bentuk pendidikan yang diajarkan Sunan Bonang.
Dan konon, berdasarkan cerita tutur, ia kerap menggunakan tembang diiringi suara bonang dalam dakwahnya yang selalu memuat “tiga tiang agama” tasawuf, teologi, dan fikih. Ia sanggup membuat perampok keji, Kebondanu dan anak buahnya tobat hanya dengan sekali pukul bonang miliknya. “Kebondanu, ketahui manusia itu ada tiga bagian. Ruhnya jadi kepunyaan Tuhan. Jasadnya milik ulat-ulat dan belatung di dalam tanah. Yang sepotong lagi, amalnya itu miliknya.” Itu welingnya kepada Kebondanu.
Begitulah, orang Lasem menganggap ia gugur setelah berhasil mengangkat Raden Patah jadi penguasa Demak, ia sebentar jadi penasihat sultan baru itu, kemudian menyingkir ke Bonang, Lasem dan dikubur di sana. Tapi orang Tuban, Bawean, Madura, Kediri juga percaya Sunan Bonang, wali yang ikut dalam pengadilan Lemahabang, itu dikubur di tempat mereka masing-masing, yang kemudian menjadi tempat ziarah, di mana para penguasa mencari legitimasinya berabad-abad kemudian.
Sebenarnya tak banyak peninggalan Bonang di Tuban. Tapi orang percaya, makamnya ada di belakang Masjid Agung Tuban. Saya mencatat peninggalan yang ada di dekat makam Tuban hanya umpak batu, bak air besar, dan lingga. Tapi kontras antara Masjid Agung Tuban yang megah, berwarna-warni, dan penuh ornamen rumit, dan tembok sarat ukiran dengan Astana Sunan Bonang di belakangnya yang kecil. Di dekat tajug kecil dan terpencil itu, di mana kita harus menyusuri gang sempit di samping masjid besar untuk sampai ke sana, terletak makam “Wali Tuban” Sunan Bonang.
Berita tentang makam Bonang di Tuban tak bisa lepas dari cerita “rebutan jasad oleh santri-santrinya.” Menurut legenda, sebetulnya jasadnya telah dimakamkan di desa Bonang, Lasem. Tapi kemudian kalangan santri dari Madura mengamuk dan membawa lari jasadnya. Mereka menganggap kemuliaan melayani seorang wali setelah mangkat akan bertambah, dibanding melayani semasa hidupnya. Tapi dalam perjalanan menuju Madura jasad itu direbut santri Tuban saat melintasi gerbang kota. Jasad itu pun buru-buru dibawa ke barat alun-alun Tuban untuk dikuburkan. Rombongan Madura tak terima, kemudian mengejarnya. Dan ribut-ribut antara mereka kembali pecah, dan ketika para penggali kubur siap di bawah tiba-tiba jasad itu raib. Konon santri dari Tuban mendapat nisan dan keranda, sementara santri Madura justru mendapatkan kain kafannya.
Tahun 2020. Saya masih sering mendengar kesaksian ihwal itu. Tapi banyak pula yang meragukan cerita “orang-orang rebutan balung Bonang” dan menganggapnya “terlalu dibesar-besarkan” dusta belaka. Pertanyaannya apa dibenarkan mencuri mayat? Apa mereka tidak takut kualat? Apalagi mereka murid Sunan Wahdat –seorang wali besar yang menunjuk Sunan Ngudung sebagai panglima perang Demak, dan ketika Ngudung gugur ia pula yang mengangkat Sunan Kudus sebagai gantinya.
Tapi makam Tuban, yang dikelilingi tembok dan terbagi tiga halaman, setidaknya memberi informasi tentang gelar Sunan Wahdat. Kita bisa menemukan itu pada pintu gerbang pertama berbentuk paduraksa yang memuat inskripsi Jawa “rasa tunggal pandita wahdat” dan ditafsir sebagai tahun Jawa 1716 atau 1789 M. Sementara di halaman kedua, selain terdapat musala, tempat wudu, dan ruang penjaga, kita bisa melihat makam-makam kuno berinskripsi Jawa atau Arab seperti ditemukan pada nisan di Sendangduwur dan Gondang Lor di Tulungagung. Juga dua bangunan kecil tempat menyimpan benda-benda masa pra-Islam yakni lingga, yoni, bejana batu. Di halaman ketiga, di ruang utama, di situ cungkup makam Bonang, berbentuk joglo yang dindingnya tanpa pahatan ragam hias, yang pintunya diletakkan sebelah kanan di mana peziarah harus merunduk untuk melewatinya. Dan persis sebelah kanan pintu cungkup ada tulisan jawa yang hampir tak terbaca: janma wyahana kayuning sawit jagat. Dan, para ahli menafsirkan sebagai kronogram berangka tahun Jawa 1611 atau 1687 M, patut diduga saat bangunan makam Bonang yang nisannya dihias Surya Majapahit dipugar kali pertama.
Saya membaca satu penelitian, suatu kali Sukarno datang ke Tuban untuk ziarah ke makam Bonang. Ia kaget melihat kondisi makam amat memprihatinkan. Ia memerintahkan Bupati Tuban waktu itu buat merestorasi. Pada 2010, Yayasan Makam Sunan Bonang yang yakin betul bahwa makam Bonang di Tuban dibangun tahun 1525, menatanya kembali. Muncul keajaiban, beberapa pohon yang hendak ditebang tak mempan, ditemukan dua jasad utuh. Selain itu, tahun 2013 silam, muncul salah satu keajaiban lainnya, konon makamnya tidak mempan dibakar waktu seorang gila menumpahkan emosi di sana. Tapi uniknya hingga saat ini, para peziarah tak menyadari bila makam itu bisa saja baru dibangun di masa Mataram Kartasura atau masa yang lebih baru lagi dan tak ada jasadnya yang terkubur di sana tapi di tempat lainnya. Ini bukan hal tak mungkin, karena Sadjarah Dalem Pangiwa lan Panengen wiwit saka Kanjeng Nabi Adam tumeka Karaton lan Ngajogja-Karta Adiningrat yang kelar ditulis Padmasusastra tahun 1892 dan berisi silsilah raja-raja Mataram menggelarinya Sunan Wahdat Anyakrawati.
Satu-satunya yang dipercayai adalah, barangsiapa yang memakai tasbih dari biji pisang, oleh-oleh paling laris di makam Tuban, akan diberi keluhuran.
Selain Lasem dan Tuban, makamnya diyakini ada di Pulau Bawean –pulau terpencil antara Jawa dan Kalimantan, dulu masuk Madura, sekarang ikut Gresik. Saya pun bertanya kepada seorang teman yang pernah tinggal lama di Bawean. “Di Bawean, ada dua makam Sunan Bonang, keduanya sama di tepi pantai,” ujar Ning. “Salah satu makam di Tambak Kramat lebih terurus, sedang satunya lagi tidak terawat dan masih diributkan apa betul makam Sang Sunan atau makam pelaut Bugis.”
Tentang makam Tambak Kramat, yang dibuatkan cungkup dan diberi kelambu ini, terdapat legenda. Konon, sesudah Bonang wafat di Bawean, murid-muridnya di Tuban ingin agar ia dibawa dan dimakamkan di Tuban. Tapi para santri Bawean berpendapat sebaliknya, karena tahu lamanya perjalanan laut saat itu, biar Sang Sunan dikubur di Bawean saja. Tak terima usul itu, syahdan para penjaga jenazah Bonang disirep oleh orang-orang sakti dari Tuban yang datang ke Bawean malam hari. Akhirnya kuburan pun dibongkar, sementara Hasanu Simon dalam bukunya Misteri Syekh Siti Jenar mengatakan “jasad Sunan Bonang masih di ruangan, belum dipendem,” dan jasad itu dibawa berlayar ke Tuban malam itu juga, untuk dimakamkan di astana masjid Sunan Bonang.
“Meskipun begitu, menurut cerita orang Bawean, yang dibawa ke Tuban sebetulnya mori putihnya saja, jasadnya yang asli masih di Bawean.” Kata Ning. Tapi sebaliknya mereka di Tuban percaya yang terkubur di Bawean, bukan jasad Bonang karena telah dibawa lari dan dimakamkan di Tuban, hanya kain kafan.
Dua tempat lain yang dianggap kubur Bonang adalah Madura dan Kediri. Tapi jelas saya tak akan bisa menentukan kubur mana yang asli. Sekalipun saya sudah berpuasa tak putus 1.000 hari. Meski begitu, cerita jasad Bonang yang diperebutkan itu patut diduga bagian dari politik kolonial untuk menyingkirkan ketokohan Bonang. Dengan cerita itu diharapkan orang-orang Lasem, khususnya Islam, tidak memiliki tokoh pemersatu yang bisa membahayakan penjajah.
Dengan kata lain, kesimpangsiuran cerita Bonang sengaja dibuat oleh penjajah dan pejabat-pejabat lokal yang bersifat negatif terhadap para wali. Maka kitab-kitab para wali dirampas, bahkan hukuman ditetapkan bagi mereka yang menyimpan kitab-kitab Bonang. Ini bisa saja terjadi, karena Lasem adalah basis perlawanan Belanda tahun 1700-1800. Bahkan, pelarian Cina dari Batavia mengungsi ke Lasem.
Setelah kitab-kitab dan buku sejarah dirampas, para pujangga kraton yang menjadi kacung-kacung Londo membuat cerita-cerita rekaannya, salah satunya Serat Darmagandul yang baru ditulis tahun 1879 yang menggambarkan Bonang dengan amat kasar. Sementara itu, cerita rekaan dari Lasem menyebut “seekor ikan pesut penjelmaan dari mani Bonang yang jatuh di sungai saat melihat pakaian wanita cantik tersingkap” atau “Bonang yang memotong alat kemaluannya sendiri” atau kisah “Bonang yang benci kepada Dampo Awang hingga berani menjungkirkan kapal miliknya” yang sebenarnya bertujuan menyulut pertikaian antara Islam dan Cina di Lasem.
Awalnya saya kira ia ingin melihat Demak jadi pusat Islam selama-lamanya. Tapi mimpinya untuk melihat Demak seperti itu tak berhasil. Ia malah melihat kekacauan yang tak diingin-inginkannya. Rebutan takhta raja. Sesuatu yang sebelumnya ia perjuangkan dengan sungguh. Mungkin sebab itu, ia memilih meninggalkan Demak, ia berkeliling, dan sampai Madura dan akhirnya wafat di Bawean atau entah di mana mungkin Kupang atau Laut Bering. Saya hanya sedikit yakin, dari halwat di Lasem itulah Bonang mendapatkan ilham untuk mengubah pola dakwah awalnya yang keras jadi lembut. Ia berubah jadi lautan yang teduh dan langit yang cerah.[]
| Penikmat sejarah, pecinta senja. Tinggal di Cirebon. Beberapa karyanya telah dibukukan. Antara lain: Teror.
Bagus memperkaya wawasan,