Kisah siti Hajar adalah sejenis tragedi yang tak kita harapkan untuk pernah terjadi atau menimpa siapapun. Sebuah kisah yang sulit dicerna, sulit dicarikan pembenarannya, tak mudah dipahami. Apalagi pondasi-pondasi historis kisah ini tak pernah cukup kuat untuk bisa menghadirkan sebuah kronik utuh yang komprehensif dan secara garis besar tak saling bertentangan.
Ada banyak sekali versi tentang pernik hidup siti Hajar, atau Hagar, atau Ajar. Bahkan namanya saja memiliki paling tidak tiga versi. Hanya beberapa poin saja dari versi-versi tersebut memiliki kesamaan. Dan salah satu kesamaan dari berbagai macam versi kisah siti Hajar adalah bahwa dia istri kedua nabi Ibrahim dan ibu dari Nabi Ismail.
Sementara versi paling membuat kita nyaman tentang asal-usul Hajar adalah bahwa dia putri penguasa Mesir yang dihadiahkan untuk Sarah (hadiah berupa manusia, apalagi anak gadisnya, sudah membuat kita tidak nyaman, sebetulnya), versi lain menyebutkan bahwa Hajar adalah budak hitam Fir’aun yang dihadiahkan. Satu versi lain mengatakan bahwa Hajar adalah putri seorang raja yang dikalahkan oleh Fir’aun dan ditawan, kemudian dijadikan budak pilihan karena status sebelumnya yang merupakan putri raja taklukan.
Hajar masuk dalam frame kisah keluarga Nabi Ibrahim saat keluarga tersebut mengungsi ke Mesir karena paceklik yang melanda negeri asalnya, Kan’an. Saat kembali ke negeri Kan’an, siti Hajar ikut bersama mereka, ‘bekerja’ sebagai pelayan Sarah.
Baca juga:
Hubungan keduanya terjalin erat. Sarah putri terhormat, Hajar wanita mulia yang tekun dan taat. Hubungan keduanya makin tanpa sekat. Pada satu riwayat dikisahkan setiap kali ada tamu berkunjung menemui Sarah, ia ajak tamu tersebut untuk juga menemui Hajar. Saat berbincang-bincang dengan tamu, ia ajak Hajar untuk ikut bergabung.
Waktu berlalu, usia nabi Ibrahim dan Sarah terus bertambah. Sementara keduanya belum satu pun dikaruniai putra. Nabi Ibrahim tak putus harapan dan terus berdoa kepada Allah SWT untuk dikaruniai keturunan. Pada sebuah pemanjatan doa nabi Ibrahim, Allah SWT menjawab dengan menjanjikan anak keturunan yang jumlahnya sebanyak gemintang.
Sarah melihat betapa suaminya sangat mengharapkan keturunan. Sementara Allah SWT telah menjanjikan keturunan, Sarah mendapati dirinya telah beranjak tua dan merasa sudah tidak mungkin baginya untuk mengandung dan melahirkan seorang bayi. Kita tidak tahu bagaimana perbincangan yang kemudian terjadi antara suami-istri. Riwayat menyebutkan bahwa Sarahlah yang mengusulkan Nabi Ibrahim untuk mengambil Hajar sebagai istri kedua. Saat meninggalkan Mesir, Hajar berusia akhir belasan atau awal duapuluhan. Kini, pada awal 30-an, Hajar dalam usia matang-matangnya.
Sementara riwayat menyatakan bahwa ditempatkannya (bahasa lain: diusirnya, dijauhkannya, dipindahkannya) Hajar dan Ismail kecil di tengah padang tandus adalah berdasar perintah Allah SWT, kita tidak mendapati seorang pun yang merasa perlu alasan penguat adanya perintah Allah SWT atas poligami yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim.
Dikisahkan bahwa alasan itu datang dari pola pikir Sarah: untuk mendapatkan keturunan, Nabi Ibrahim menikah lagi. Dan demikianlah, dinikahilah Siti Hajar, dan mengandunglah ia. Tentu saja hal ini membuat bahagia satu keluarga. Namun ada satu masalah: perasaan wanita.
Mana ada di dunia ini wanita yang seribu persen ikhlas dan lapang dada diduakan? Mungkin pada mulanya Sarah berpikir bahwa dirinya akan mampu mengatasi perasaannya sendiri. Bukankah dirinya dalam hal apapun selalu berada di atas Hajar? Ia lebih mulia, ia tuan, ia yang pertama, ia lebih lama, ia lebih banyak, ia ratu. Namun, ia sudah tua dan mandul. Sementara madunya, meski takkan pernah unggul dalam segala-galanya, ia masih muda, dan hamil.
Kita tidak pernah tahu apa yang sebenarnya kemudian terjadi. Ini masalah internal rumah tangga. Masalah yang sangat manusiawi. Keduanya, Sarah dan Hajar, bertengkar. Tidak penting siapa yang memulai. Tidak penting apa masalahnya. Yang jelas, Hajar lari keluar rumah dan menyendiri. Ia berniat tak kembali.
Namun kemudian malaikat mendatangi. Menenangkan hatinya, dan menasihati, “Pulanglah, lahirkan anakmu. Darinya akan lahir manusia berbangsa-bangsa.” Dan Hajar melakukan apa yang dinasihatkan. Ia tenangkan hati, kuatkan diri, dan beranjak. Menyandarkan diri pada janji Allah SWT bahwa ia akan dikaruniai anak turun yang melimpah, ia bertekat untuk kuat menghadapi apapun yang akan terjadi. []
Tinggalkan Balasan