Agus Rois |
Di pelabuhan ini, perahu tambat dan lepas
Di Jalan Kakap Nomor 209, bayangmu lintas
Kau kelihatan seperti anjing kalah
Dan tak bisa menahan perasaan gelisah
Tahun 1903. Begitu ia wafat, praktis peninggalannya berupa masjid dan pesantren yang dibangun di tanah seluas 2.300 meter persegi tak lagi terurus. Sekarang 2020, dan apa yang dibangunnya dengan susah payah selama hampir 100 tahun hilang begitu saja. Anak-anaknya tak ada yang meneruskan ajaran-ajarannya. Rumahnya dibiarkan terbengkalai sampai orang-orang datang dan menyerobotnya.
Tak cukup. Masih belum cukup. Hampir sebagian karyanya, kitab-kitab yang ditulis di masa ketika perang berkecamuk di Semarang, berada di Bombay dan Singapura. Setidaknya kita melihat, betapa tak beruntung nasibnya, apa yang dibangunnya dengan darah dan doa tak lagi punya gema. Meski makamnya di Bergota, satu kilometer dari kota, selalu ramai, salawat dan tahlil tak pernah sepi. Khususnya Minggu dini hari. Dan puncaknya ketika haul, 10 Syawal, makamnya jadi lebih sesak.
Hampir semua karyanya ditulis dalam bahasa Jawa dan huruf Pegon. Sebagian kecil saja yang ditulis dengan Bahasa Arab atau Bahasa Indonesia. Di antara karya-karya itu antara lain: Majmu’ah asy-Syariah al-Kafiyah li al-‘Awam dan Munjiyat; Al-Hikam dan Lathaif at-Thaharah; Manasik al-Hajj dan ash-Shalah; Tarjamah Sabil al-Abid ala Jauharah at-Tauhid dan Mursyid al-Wajiz dan Minhaj al-Atqiya’; Hadis al-Mi’raj dan Faidhir Rahman; sampai Asrar as-Shalah. Kitab-kitab itu, yang diajarkan di pesantren, sudah cetak ulang berkali-kali.
Tapi dalam kitab-kitab itu Kiai Saleh Darat, ulama kondang asal Semarang dan kerap disebut Seh Haji Muhammad Salih ibn Umar as-Samarani, selalu mengaku dirinya “orang awam”. Di sini Saleh Darat, yang terlahir di Kedung Cumpleng, Mayong, Jepara tahun 1820, sebenarnya kembali ke pemikiran tradisional yang sudah beratus tahun umurnya: hidup tak untuk menyombongkan diri.
Bisa dipahami bila dalam tiap pengantar kitabnya ditulis. “Buku ini dipersembahkan kepada orang awam, orang bodoh seperti saya,” katanya. Dan, “Buku Ibn Athaillah ini, saya ringkas sepertiga dari asal biar memudahkan orang awam seperti saya, saya terjemahkan ke bahasa Jawa agar mereka yang baru belajar ngaji cepat mengerti.
Begitulah. Saleh Darat, anak Kiai Umar salah satu tokoh kepercayaan Pangeran Diponegoro, menempatkan dirinya. Orang bodoh. Orang biasa. Padahal sejarah mencatat, ia belajar pada Kiai Sahid Waturoyo, cucu Seh Mutamakkin; Muhammad Salih ibn-Asnawi Kudus; Kiai Iskak Damaran. Juga seorang mufti Semarang, Kiai Abu Abdillah Muhammad al-Hadi ibn Baquni. Lalu Ahmad Bafaqih Balawi; Seh Abdul al-Ghani Bima. Dan Kiai Syada’ dan Kiai Murtada, teman seperjuangan ayahnya dalam Perang Jawa.
Bahkan, di Arab, menurut cerita yang diyakini, di antara gurunya Seh Muhammad al-Muqri, Seh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki, Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan. Sayid Muhammad Saleh bin Sayid Abdur Rahman az-Zawawi, Seh Ahmad Nahrawi, Seh Yusuf al-Mishri, Seh Zahid, Seh Umar asy-Syami dan Seh Jamal Mufti Hanafi. Karena keluasan guru-gurunya itu, dari sini kita tahu, sejumlah orang menyebutnya “imam orang awam,” ia hanya merendah.
Selama di Arab itulah, ia bersahabat dengan Seh Muhammad Nawawi al-Bantani, Kiai Khalil Bangkalan. Dan beberapa ulama asal Patani, Seh Muhammad Zain bin Mustafa al-Patani, Seh Abdul Qodir bin Mustafa al-Patani. Juga Minangkabau, seperti Seh Amrullah –ayah Hamka, penulis Di Bawah Lindungan Kabah.
Salah seorang dari muridnya yang termasyhur adalah R.A. Kartini yang menulis Habis Gelap Terbitlah Terang. Kartini tak mengerti isi Qur’an sampai Saleh Darat menghadiahinya sebuah kitab berbahasa Jawa. Itu diungkapkannya kepada Tuan Abendanon dalam suratnya. Murid-muridnya yang lain: Hasyim Asyari, Ahmad Dahlan, Bisri Syamsuri, Muhammad Mahfuz at-Tarmasi, Kiai Idris Jamsaren, Kiai Sya’ban Semarang, Kiai Moenawir Krapyak, Kiai Dalhar Watucongol.
Karena bentang ilmunya itu, konon, siapa yang berdoa di Bergota, mereka yang punya hajat pendidikan akan mendapat keutamaan.
Ia juga dikenal gigih ajarkan laku syariat pada masyarakat, dan mewanti bahwa ritual-ritual ibadah adalah ungkapan ketundukan, dan harus dijalani setiap insan.
Ia lakukan itu, sebab tak ingin lihat orang jatuh dalam kesesatan paham manunggaling kawula gusti dari Seh Lemahabang yang menyatakan “amal yang diterima adalah amal hati” urusan-urusan fikih tak penting. Kiai Darat memperingatkan mereka yang mengaku-ngaku sudah sampai pada hakikat, dan melupakan salat dan fardu yang lain dan maksiat jalan terus, adalah manusia kufur.
“Sebab yang Allah perintahkan tentu kau taati. Bukankah pecinta pada yang dicintai itu patuh dan bakti.”[]
I Penikmat sejarah, pecinta senja. Tinggal di Cirebon. Beberapa karyanya telah dibukukan. Antara lain: Teror.
Tinggalkan Balasan