Kisah Pilu Mansur al-Hallaj

Ade Gumilar |

“Punggungku terlindungi dan darahku haram (dialirkan). Siapa yang menghalalkan kalian untuk berkata yang tidak-tidak tentang aku? Keyakinanku adalah Islam, mazhabku adalah sunnah dan mengutamakan empat imam para khalifah yang diberi petunjuk dan 10 sahabat lainnya, semoga Allah meridhai mereka semua, dan aku punya (menulis) buku-buku tentang sunnah yang bisa ditemukan di al-warraqin (penjual buku). Allah…Allah-lah (yang melindungi) darahku.”

Mansur al-Hallaj adalah seorang sufi dan mistikus Persia terkenal yang lahir di Fars pada tahun 858 dan wafat di Bagdad pada tahun 922. Al-Hallaj hidup dalam era aufklarung Islam klasik. Masa ketika masyarakat Arab di Bagdad hidup berdampingan dengan budaya Aramaik dan Yunani. Kota Bagdad menjelma menjadi pusat budaya dunia pada abad ke-10 Masehi, dijejali oleh tokoh-tokoh besar dalam berbagai bidang keilmuan, seperti al-Nazzam dan ibnu Rawandi sampai al-Baqillani dalam ilmu Kalam, dari al-Jahiz sampai al-Tauhidi dan Ibnu Sina dalam filsafat, dari Abu Nawas dan ibnu al-Rumi sampai al-Mutanabbi dan al-Ma’arri dalam puisi, dari al-Khalil sampai ibnu Jinny dalam bahasa. Bagdad juga disesaki oleh saintis-saintis seperti dokter ensiklopedik Abu Bakar al-Razi dan matematikawan al-Battani.

Baca Juga: Bidadari dan Pesta Seks di Surga

Al-Hallaj dijatuhi hukuman mati pada tahun 922 M setelah melalui, meminjam bahasa Massignon, pengadilan politis yang disahkan melalui penyetujuan hakim negara Abu Umar, khalifah al-Muqtadir dan menteri negara Hamid bin Abbas. al-Hallaj dianggap telah melakukan kezindikan (kekufuran) karena mengadopsi paham hulul yang diwakili kata-katanya yang kekal “ana al-Haqq” (Akulah Tuhan).

Dalam bacaan Massignon, al-Hallaj termasuk ke dalam sosok-sosok dalam agama yang dituduh mangkir dan terusir dari masyarakat banyak. Namun, lama setelah mereka meninggal, sosok-sosok itu nantinya mampu mewahyukan nilai-nilai esoteris positif dalam sejarah. Kehadirannya mulai dirasa kembali satu abad setelah al-Hallaj wafat. pada tahun 1046, ketika menteri Bagdad Ali bin al-Maslamah berhenti untuk melakukan salat singkat di tempat penyiksaan al-Hallaj, atau tempat yang diberkati sebagaimana beliau sebut, ia meyakini bahwa orang tertuduh dan terusir dari kelompok ini adalah orang yang bersih.

Sahabat sang menteri, sejarawan Bagdad terkenal al-Khatib al-Bagdadi (Abu Bakar Ahmad bin Tsabit al-Khatib, wafat th. 1071) tampil sebagai orang yang menyebarkan biografi al-Hallaj dan memasukannya dalam bukunya Tarikh Bagdad. Dalam Tarikh Bagdad, al-Khatib bahkan menempatkan al-Hallaj pada urutan ketiga setelah biografi Abu Hanifah dan Bukhari. Hal ini bagi Massignon, menunjukkan bahwa al-Khatib ingin mengatakan bahwa al-Hallaj adalah seorang muslim sunni yang ideal. Lebih dari itu, al-Khatib al-Bagdadi membaca sejarah al-Hallaj secara terang-terangan di Bagdad bersama Syeikh Nasr bin Ibrahim al-Muqaddasi.

Al-Hallaj dituduh sebagai penganut paham berbahaya yang bisa mengakibatkan kekufuran. Sufisme yang dianut al-Hallaj dianggap sebagai paham yang mengidentikkan Tuhan dengan alam atau manusia, yang dalam istilah Barat disebut “panteisme”. Doktrin yang dianggap merusak tauhid ini mendapatkan kecaman keras dari para ulama tradisional, tak jarang kecaman itu berujung kepada penghalalan darah orang yang menganut doktrin tersebut.

 

Doktrin-doktrin yang seringkali dituduh sebagai panteisme adalah ittihad-nya Abu Yazid al-Bistami (w.875), hulul-nya al-Hallaj (w.922) dan wahdat al-wujudnya ibn Arabi (w. 1240). Tuduhan tersebut timbul, demikian Kautsar Azhar Noer, karena kesalahpahaman bahwa doktrin-doktrin ittihad, hulul, dan wahdat al-wujud menghilangkan perbedaan antara Khalik dan makhluk atau mencampuradukkan keduanya. padahal doktrin-doktrin ini sama sekali tidak bermaksud menghilangkan perbedaan antara Tuhan dan alam atau mencampuradukkan keduanya. Yang ingin ditekankan doktrin-doktrin ini adalah betapa dekatnya Tuhan dengan makhluk-Nya tanpa menghilangkan perbedaan antara keduanya. Dengan kata lain, masih Kautsar Azhari, doktrin-doktrin ini sangat menekankan imanensi Tuhan tanpa mengurangi transendensi-Nya.

 

Kautsar mengutip pandangan R.A. Nicholson, yang menurutnya adalah keliru untuk menganggap bahwa ucapan-ucapan seperti subhani (“Maha Suci Aku”)-nya Abu Yazid, Ana al-Haqq (“AKu adalah Tuhan”)-nya al-Hallaj dan Ana Hiya (“Aku adalah Dia”)-nya ibn al-Farid adalah bukti panteisme. Selama transendensi Tuhan masih diakui, setegas-tegas pernyataan tentang imanensi-Nya tidaklah berarti panteisme.

Sumber: Louis Massignon; The Passion of Al-Hallaj: Mystic and Martyr of Islam (terj. bahasa arab “Aalaam al-hallaj: Shahid al-Thasawwuf al-Islami” oleh al-Husein Hallaj), Salamah Musa; Hurriyyat al-Fikr wa Abthaluha fi al-Tarikh, Kautsar Azhari Noer; Menyemarakkan Dialog Agama (Perspektif Kaum Sufi)

*Alumni Mahasiswa Al-Azhar Mesir. Melanjutkan S2 di Universitas Indonesia konsentrasi Kajian Timur Tengah. Sekarang menjadi dosen sejarah peradaban Islam IAIN Syekh Gunung Djati Cirebon.

 

Share

Pengasuh: Dr. Mahmudi Muhson, Lc. MA. Dr. Ahmad Ikhwani, Lc. MA. Dr. Aang Asy'ari, Lc. M. Si. Dr. Bakhrul Huda, Lc. M. E. I. Dr. Ahmad Subqi, Lc. M. Ag. Ahmad Hadidul Fahmi, Lc. Muhammad Amrullah, Lc. Imam Nawawi, Lc. MA.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *