Daulat Candu H |
Kecuali pada beberapa bagian di selatan, jazirah Arab adalah padang gersang yang kering kerontang. Bahkan dua imperium besar dunia yang ada di utara jazirah Arab tak pernah menganggap wilayah itu cukup menarik untuk ditaklukkan. Dan berabad-abad suku-suku nomaden Arab yang menjelajahi wilayah gersang itu berperang satu sama lain demi mendapatkan sumber air, beberapa pohon kurma dan sedikit padang rumput di sekelilingnya untuk domba-domba mereka.
Siang itu satu kafilah suku Jurhum dari Yaman jauh di bagian selatan jazirah Arab, sedang berjalan melewati satu rute kuno yang melintang dari selatan ke utara, yang menghubungkan kerajaan-kerajaan kuno di Yaman dengan kota-kota ramai kerajaan Romawi di Syam. Mereka dibuat heran oleh munculnya sekawanan burung yang berputar-putar di atas sebuah wilayah gersang di lembah yang dikelilingi bukit-bukit batu. Belum pernah seumur hidup mereka melihat kawanan burung di kawasan kerontang itu.
Kepala kafilah kemudian mengirim utusan untuk mengamati keadaan. Perintahnya, “Periksa lembah di sana itu. Adanya kawanan burung-burung itu hanya berarti satu hal: sumber air. Tapi aku belum yakin. Setahuku di sana tidak ada apa pun selain batu.”
Baca juga: Sang Ratu
Utusan itu kemudian kembali dengan membawa berita yang membuat kepala kafilah heran. “Sumber air yang melimpah. Di bawah kaki seorang ratu yang menggendong bayi.”
Kafilah badui itu kemudian bersama-sama bergerak mendekat dan menemui wanita yang diceritakan oleh utusan kafilah itu. Benar saja, sebuah wadah dari bebatuan menampung air yang tampak jernih dan segar dan terus tumpah meluap. Di dekat ceruk air itu, berdiri seorang wanita yang berpembawaan begitu anggun, agung bagaikan ratu, mendekap seorang bayi yang terlelap.
Pembawaan wanita itu menuntut orang untuk mengagumi sekaligus ‘tunduk’. Alam bawah sadar maskulinitas kafilah badui itu seolah berkata, “Kalian, lelaki semua, hanya berani arungi gurun gersang dalam satu kafilah yang berisi banyak orang. Lihat, wanita agung ini. Sendirian. Tak hanya menjaga diri, juga seorang bayi.”
Di antara sekian banyak pilihan-pilihan sikap yang bisa diambil oleh kafilah badui itu, memaksa wanita itu minggir dari sumber air kemudian merebutnya, misalnya, justru kepala kafilah badui itu dengan takdim memohon ijin, “Bolehkah kami meminta air?”
Darah bangsawan Mesir siti Hajar masih deras mengalir dalam tubuh berwibawanya. Mendengar orang memohon kepadanya, persetujuan itu tak datang serta merta. Ia tatap lekat-lekat kedua mata kepala kafilah. Ia angkat dagu dan dongakkan kepala. Sambil terus mendekap bayinya.
Demikian kira-kira apa yang kemudian dikatakan kepala kafilah dagang dari bani Jurhum itu: “Imbalan apa yang Anda kehendaki dari air yang akan Anda beri kepada kami?”
Demikian kira-kira apa yang kemudian dikatakan siti Hajar: “Ambillah air sesuai keperluanmu. Untuk sementara waktu, terimalah itu sebagai kebaikan budiku. Kapan saja jika aku perlu, jangan sungkan untuk membalas budi baikku.”
Negosiasi selesai. Percakapan berlanjut. Satu perbincangan disusul perbincangan lain. Kafilah itu kemudian mendirikan tenda di sekitar mata air. Seluruh anggota kafilah memberikan tempat istimewa kepada siti Hajar dan bayinya, menghormatinya, dan memberikan perlindungan atasnya.
Satu peristiwa mengarah ke peristiwa yang lain. Mula-mula hanya satu kafilah dagang bani Jurhum yang mendirikan tenda sementara dan menikmati kesegaran air jernih yang melimpah di tengah padang pasir, anggota-anggota kafilah itu kemudian bercerita kepada siapa saja di tempat mereka menggelar dagangan. Kabar menyebar dari mulut ke mulut, tentang sebuah mata air yang melimpah ruah dan wanita pemiliknya yang gagah dan indah. Lalu satu demi satu kafilah-kafilah lain datang meminta ijin dirikan tenda dan mengaso. Beberapa kemudian tinggal lebih lama. Beberapa yang lain kemudian tinggal permanen.
Demikianlah, saat beberapa tahun kemudian nabi Ibrahim datang mengunjungi istri dan putranya, ia kaget melihat lahirnya sebuah kota. []
Tinggalkan Balasan