Agus Rois |
Saya menulis ini bukan karena penempuh suluk, semata kitab ini harus jadi tonggak.
Saya menemukan kitab Bidayatussalikin di lapak buku langganan di Bogor. Tiga tahun lalu. Di sampul depan kitab dituliskan nama penyusunnya “Syihabuddin Suhrowardi.” Waktu itu pikiran saya langsung terbayang pada tokoh sufi terkemuka, Suhrawardi al-Maqtul, penulis Hikmah al-Isyraq. Yang mati dengan leher terjirat ditiang gantungan di Aleppo saat usianya baru 38 tahun atas perintah Salahuddin al-Ayyubi. Pahlawan perang salib.
Tapi sosok yang dimaksud bukan itu. Ia ajengan di Citungku.
Seperti lazimnya buku-buku agama dan sufi, Bidayatussalikin tak laku. Meski sudah dialih bahasakan: Belajar Ma’rifat Kepada Allah. Tapi, bagi saya, pandangan-pandangan sufisme, meski tak pernah mudah, selalu menarik. Bukan karena beberapa dari mereka jadi martir. Namun orang-orang itu punya keresahan sendiri, mencari kehinaan dari kehinaan, kemuliaan dari kemuliaan. Dan selalu ingin masuk relung-relung cahaya. Zaman berubah, mereka membuat sejarah di hadapan Allah. Sementara kita sibuk berdebat tentang gelas dan piring pecah.
Baru seminggu lalu, saya buka-buka kembali halaman kitab itu. Ada 17 bab pendek-pendek. Tapi saya sengaja melewatkan 10 bab pertama, meski memang seharusnya tidak dilupakan, yang kelewat teknis, dan langsung tergerak buat menyelami bab “Mengenal Diri” yang mau menjawab: Siapa kita di hadapan Yang Ilahi? Mengapa manusia tak kunjung mengerti sifat sendiri?
Bab itu diawali dengan kalimat ringkas tegas. “Ketahuilah oleh kamu sekalian, sebenarnya mengenal hakikat diri itu wajib.” Sambil mengutip sabda nabi: Siapa yang kenal dirinya, ia kenal akan Tuhannya. Tapi tentu saja tidak sembarang orang bisa sampai sana, pintu rumah yang dijaga ribuan malaikat, danau, yang konon katanya, “bersusu madu.”
Satu-satunya cara untuk menjamin sampai sana: Batin kalian, bukalah, bukalah, masukilah. Puncaknya adalah “ajaran martabat tujuh” penjelasan manusia dalam dirinya dapat dikenali lewat tujuh tingkatan.
Pertama, latifatul qolbi, tempatnya dua jari di bawah dada kiri, isinya nafsu lawamah seperti zalim, dusta, mengumpat, dst. Kedua, latifatur ruh, letaknya, dua jari di bawah dada kanan, isinya nafsu mulhimah seperti sabar, sederhana, pemurah, dst. Ketiga, latifatus sirri, persisnya dua jari di atas dada kiri, isinya nafsu mutmainah seperti penyayang, syukur, tawakal, dst. Keempat, latifatul khoffi, posisinya dua jari di atas dada kanan, isinya nafsu mardiyah seperti peduli, belas kasih, pemaaf, dst. Kelima, latifatul akhfa, adanya di tengah-tengah dada, isinya nafsu mardliyyah seperti yakin tahu, sungguh tahu, mutlak tahu.
Masih menurut kitab itu. Latifatul qolbi adalah wilayah Nabi Adam. Latifatul ruh kepunyaan Ibrahim. Latifatus sir milik Musa. Latifatul khoffi tempatnya Isa. Latifatul akhfa rumahnya Muhammad. Dua tingkatan lain, latifatun nafsi, antara dua alis, yang mengisi nafsu amarah yang penuh dengan kesombongan, kedengkian, kebodohan, dst. Dan terakhir latifatul qolab, isinya nafsu kamilah, nafsu yang sudah sempurna, selamanya dalam kebaikan, asalnya ialah cahaya dari air, angin, api, tanah. Dua tingkatan ini tanpa wilayah.
Di paragraf-paragraf terakhir di bab ketiga belas ditulis bila tanpa zikir kalbu, seorang akan dihinggapi perasaan was-was. Iblis bisa masuk lewat berahi, amarah, loba, dan iri. Tapi bila pintu itu ditutup? Kalian tahu, tidak satu pun iblis dapat mengucapkan hal-hal buruk dengan lantang. Syahdan, seorang bertemu dengan setan, ditanyalah setan itu olehnya. “Bagaimana caramu masuk ke dalam hati manusia?” Dan setan menjawab, “Di mana hati manusia tengah lupa kepada Allah, di situ aku berkesempatan masuk ke dalamnya, di sana ada begitu banyak makanan, sampai aku gemuk seperti unta dikebiri. Tapi, apabila manusia itu berzikir kepada Allah, niscaya aku hancur dari sebesar unta jadi sekecil burung pipit.”
Apa yang disampaikan Bidayatussalikin dan tamsil-tamsilnya keliru? Tidak. Tapi hidup tak pernah mudah, tak selamanya baik-baik saja. Syihabuddin Suhrowardi menerbitkan kitab itu tahun 1971 di Ciamis, awalnya hanya buat kalangan sendiri, yakni Tarekat Qodiriyyah wa Naqsyabandiyyah, dengan harapan bermanfaat untuk yang membacanya. “Menghindarkan segala kebimbangan dan keengganan yang membebani sekujur badan, ingin melaksanakan dan menerangkan ajaran tarekat yang hak dan yang batal,” itu semboyannya di tengah hidup yang tak baik-baik saja.
Begitulah. Dalam mencari Tuhannya, para aulia menggunakan jalan bermacam-macam. Ada yang melalui hikmah terserak, kecintaan tiap saat atau pergi ke balik hijab. Sejarah mencatat, konsep “Martabat Tujuh” bermula dari aliran “Wahdatul Wujud” abad ke-8 dan mulai serius dikenalkan Muhammad Ibn Fadillah dalam karyanya Tuhfah. “Allah yang bersifat gaib dapat dikenal setelah bertajali melalui tujuh martabat,” ungkapnya. “Begitupun penciptaan semesta, ada tujuh tingkatan.”
Ibn Fadillah sendiri mengatakan bahwa Martabat Tujuh dibagi dalam dua kategori. Tiga hal batin dan empat hal lahir. Tiga hal batin itu –martabat ahadiyah, martabat wahdah, martabat wahidiya– tak bisa jadi miliknya pribadi, ketentuan Allah. Sedang empat hal lahir –martabat arwah (ruh manusia), martabat mitsal (garis nasib), martabat ajsam (jasad kasar), dan insan kamil– jadi berarti saat manusia sampai pada bentuk sempurnanya.
Pada akhirnya Martabat Tujuh –yang sejauh ini dapat ditemukan pula dalam Suluk Sujinah dan Serat Wirid Hidayat Jati– ingin menyadarkan kepada kita manusia bisa jatuh terperosok dalam jurang kehinaan.[]
| Penikmat sejarah, pecinta senja. Tinggal di Cirebon. Beberapa karyanya telah dibukukan. Antara lain: Teror.
pak @Agus bisa mendapatkan tentang Ajengan Citungku ini . . . saya sangat tertarik sekali dengan tulisan bapak