Mbah Wali Gringging – Telusur Sejarah Islam di Nusantara

Agus Rois |

Sejarah mencatatnya: Ia sepupu Sunan Gunung Jati. Ia hidup abad ke-15 –ketika Kadipaten Kendal diperintah Pangeran Gandakusuma yang patut diduga punya nama lain Tumenggung Wiramenggala atau tradisi tutur mengenalnya sebagai Pangeran Pakuwaja. Salah satu murid Seh Siti Jenar.

“Kau, Pangeran Kajoran –bersama Pangeran Makdum, Pangeran Drajad, Pangeran Welang– belum sampai tingkatan wali yang sempurna, terus berjalanlah ke timur, ingat satu-satunya rasa takutmu hanya maut yang datang tiba-tiba.” Seru Sunan Gunung Jati dari dalam Masjid Agung Sang Ciptarasa.

Pangeran Kajoran mematuhinya. Maka berjalanlah ia, dan sampai Gringging –desa kecil di Batang, berjarak 20 kilometer dari Pekalongan, Jawa Tengah– ketika tubuhnya terlalu letih untuk bergerak, hampir 200 kilometer jauhnya, sejak saudaranya itu mewejanginya. Dan, di Gringging, di perbatasan antara Pekalongan dan Batang, di hutan yang angker itu ia bangun masjid tertua di Batang, Masjid Al-Karomah, dan sebatang parit –atau kali kecil yang amat disucikan di kemudian hari.

Menurut cerita setempat, parit yang membelah Gringging itu digali Pangeran Kajoran atau lebih dikenal sebagai “Mbah Wali Gringging” antara akhir kerajaan Majapahit dan awal kesultanan Bintoro, setiap orang yang tinggal sekitar parit wajib menjaga agar airnya tetap bersih bila tak ingin dirinya menyesal dan desanya kena sial.

Sebelumnya dikisahkan bila, jauh sebelum kedatangan Pangeran Kajoran di Karang Serno –nama lama Gringging, “orang sakit pagi, sorenya mati, atau malam kesurupan dan paginya meregang nyawa.” Tempat orang sakit. Konon, ketika itu Karang Serno dilanda pagebluk, banyak warga bergelimpangan di jalan-jalan, dan ketika Pangeran Kajoran datang ia minta orang menyebut nama Allah jika ingin derita itu cepat berlalu. Mula-mula orang Gringging menolak. Tapi kemudian berbondong-bondong mengucapkan kata baru itu.

Memang tak banyak catatan tertulis tentang Mbah Wali Gringging –kemenakan Gunung Jati yang hidup enam abad lalu dan makamnya terletak di sebuah bukit, bersisian dengan Masjid Al-Karomah. Orang Gringging hanya bisa menjelaskan wali yang bernama asli Abdurrahman itu berdasarkan cerita leluhur yang panjang dan jauh.

Seperti halnya juru kunci makamnya yang tidak tahu siapa sesungguhnya Abdurrahman dan dari mana asal-usulnya. Saya pun tak dapat membayangkan sosoknya. Tapi setidaknya kita bisa baca dalam Babad Tanah Kendal, ia muncul sebagai senopati pilih tanding. Sementara itu buku Mengislamkan Tanah Jawa karangan Wiji Saksana, di sana dalam baris-baris buku yang terbit tahun 1996 ditulis bahwa Abdurrahman Pangeran Kajoran kemungkinan lainnya bernama Kyai Tekuk Penjalin, menyebut “Ia adalah putra tengah Seh Jumadil Kubra, kedua saudara tua dan mudanya ialah Sayyid Abdullah dan Sayyid Kulkum yang lebih dikenal Ki Gede Pekalongan.”

Seandainya riwayatnya jelas, mungkin orang tidak akan berselisih tentang tarikh hidupnya: abad ke-15 atau abad ke-17. Yang saya mengerti, perjalanan menuju petilasan Mbah Wali tidak sulit. Dari Pekalongan terus saja ke Pasar Bandar melewati Wonotunggal dan berhenti di Gringgingsari. Dan antara tanggal 9 dan 11 Syawal merupakan haulnya. Orang bergegas ke Gringging dan berdoa di depan pusara salah satu penghulu Basyaiban di Indonesia selain Mbah Sambu Lasem itu.

Dan, tidak banyak pula yang tahu, ia datang dari Yaman menuju Cirebon, dinikahinya putri Cirebon, Syarifah Khadijah, dan dari wanita ningrat itu ia diberi empat anak laki-laki. Sayid Ahmad Buduran Sidoarjo, Sayid Syarief Segoropuro Pasuruan, Sayid Sulaiman Mojoagung Jombang, Sayid Abdullah Bangil Pasuruan. Selama ini orang hanya tahu mitosnya: parit itu, yang terlarang bagi perempuan haid, yang berada persis di sisi masjid dibelah dengan teken Sunan Gringging.

Mitos lain yang diyakini selanjutnya ialah bahwa ia sanggup mengalahkan Ki Ajar Pendek, lurah sakti golongan hitam. Rasa marah muncul di dada Ajar Pendek setelah tahu apa yang baru dilihatnya: Pangeran Kajoran mengambil bambu dari hutan yang kala itu dikuasainya. Bagi Ajar Pendek, ini pencurian, ini dianggap penghinaan, dan ingin memberikan pukulan keras dengan mantra-mantra jahatnya. Maka dihujaninya Gringging dengan cacing.

Pangeran Kajoran mengerutkan dahi dan menyesali perbuatannya. Tapi, ia tak tinggal diam. Ia berdoa, dan tiba-tiba muncul ribuan bebek menyantap cacing-cacing itu sampai habis. Ki Ajar Pendek, dengan amat ketakutan, melancarkan serangan balasan, ia membuat hujan batu. Pangeran Kajoran membungkuk dan berkata lemah, nyaris tak ada yang mendengarnya. Tak lama kemudian, angin kencang datang menerbangkan batu-batu itu ke arah Ajar Pendek dan menindih penguasa bengis itu sampai mati.

Sampai saat ini, masjid tertua di Batang yang rangka atapnya terbuat dari bambu dan atapnya dari ijuk dan untuk mengaitkannya sang sunan mengikat dengan tali rotan, dan karena itulah ia sering disebut Kyai Tekuk Penjalin. Masih bisa dikenali. Tapi seiring waktu, masjid sudah banyak berubah, masjid itu berkali-kali dipugar dan jadi lebih modern.

Selain masjid dan parit, Mbah Wali Gringging mewariskan pancuran tambi –pancuran yang menancap di sela-sela akar pohon berusia ratusan tahun. Tapi orang Gringging menyebutnya “tuk” mata air. Dulu pancuran itu untuk wudu, belakangan dipercaya airnya menyembuhkan. Dan baru muncul ketika Mbah Wali Gringging menancapkan tongkatnya ke tanah dan tiba-tiba dari bekas lubang tongkat itu keluar air yang jernih.

“Ini air keramat,” kata Mbah Towaf, “Anda bisa meminumnya.” Tapi saya dan kedua teman saya agak ragu-ragu, meski sampai sekarang pancuran yang bersumber dari lereng Gunung Rogosukmo –hanya satu kilometer dari Gringging– itu masih terjaga kelestariannya. Namun lebih dari semua itu, di desa yang hijau dan sejuk, di ladang-ladang yang indah yang memberi banyak ketenangan, berteman dengan alam adalah bagian dari keselarasan hidup.[]

| Penikmat sejarah, pecinta senja. Tinggal di Cirebon. Beberapa karyanya telah dibukukan. Antara lain: Teror.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *