Membaca Panggung Malangsumirang

Agus Rois |

Namanya disebut-sebut dalam manuskrip Cirebon. Ia masih dianggap wali tanah Cirebon. Selama hampir lima abad, sebuah periode yang panjang itu, kami meyakini, meskipun tak semua menerima, dia adalah penerus Kalijaga. Putra Sang Lokacaya. Sekaligus cucu Seh Lemahabang. Sunan Panggung.

Konon, ibunya Siti Zaenab adalah anak Lemahabang. Maka ia berguru kepada sang kakek, Lemahabang yang bertampang tegas, dan jadi murid kinasihnya. Dan ia betul-betul tokoh sejarah. Ia hidup antara akhir keruntuhan Majapahit dan awal Kesultanan Bintoro. Hal ini diakui dan dikisahkan ulang Denys Lombard, D.A. Rinkes, dan George Quinn dalam buku masing-masing: Nusa Jawa Silang Budaya, Nine Saints of Java, dan Bandit Saints of Java.

Mereka menuliskan catatan kecil: Anak Kalijaga itu harus menghadapi inkuisisi wali dengan cara dibakar hidup-hidup. Tapi ia tak mati terbakar, api yang berkobar-kobar justru kian redup. Sebaliknya di tengah nyala api itu, ia duduk sambil menulis tembang dua puluh tujuh bait panjangnya, ia menyelesaikan Suluk Malangsumirang dan mempersembahkannya kepada Sultan Syah Alam Akbar yang berdiri di hadapannya. Fantastis.

Dari peristiwa itu, sejarah kembali mencatat bahwa kita melahirkan lebih banyak puisi, melankoli dan prinsip-prinsip moral yang mengernyitkan jidat, ketimbang sains yang melihat sesuatu lebih jauh. Dan maju. 

Galibnya, di negeri ini, sesuatu ditulis dengan perlambang dan setelahnya dianggap piwulang agung, yang ajaib dan membingungkan.

Sebagai penerus Kalijaga yang dihukum bakar karena sidang wali memutuskan tindakannya menamai dua anjing piaraannya sebagai Tokid (dari kata Tauhid) dan Iman, dan menodai masjid dan merusak kesucian syariat. Jadi hal yang memberatkannya. Dan yang terdengar pada kita, kedua anjing itu diajaknya bermain-main di dalam masjid, bahkan ditulis pula dalam Babad Pajajaran dan Babad Semarang, dan sering berak dan kencing.

Sang sultan dengan segera tahu, tindakan itu dinilai telah melampui batas dan ia merasa perlu menghukum pelakunya. Ia mencapnya penista agama, terlebih lagi lelaki tua itu diketahui pengikut Lemahabang.

Antara tahun 1478 dan 1518, era Kesultanan Demak di bawah pemerintahan Raden Patah, adalah tahun sejarah bagi pengikut Lemahabang. Tercatat sebagai tahun tewasnya para murid Lemahabang, bahkan Lemahabang sendiri. Juga sebagaimana disebut dalam Babad Jaka Tingkir, sosok-sosok penganut aliran “wahdatul wujud” seperti Ki Ageng Kebo Kenanga, Ki Lontang, termasuk Sunan Panggung, tokoh Tegal yang terkenal dengan Malangsumirangnya, diputuskan harus meregang nyawa di rentang itu.

Lemahabang mati tahun 1506, itu disebut dalam Purwaka Tjaruban Nagari, dan dimakamkan di Kemlaten, juga dalam Serat Negarakertabhumi. Para pengikutnya, Ki Ageng Pengging dan Ki Lontang, dan kisah pembakaran Sunan Panggung, tak lama setelahnya. Ranggawarsita tak sama, ia menulis Lemahabang disidang pada 1517 dan setahun kemudian pengikutnya.

Ketika Lemahabang murud kasidan jati, mati, Sunan Panggung, dari Cirebon, pindah Tegal. Tepatnya Bojong. Ia menjadi wali di sana. Saat itu penguasa Bojong, Adipati Danureja, ialah penguasa pecat tandha. Pengikutnya memanggilnya Mbah Panggung daripada nama aslinya Sayyid Syarif Abdurrahman.

Dalam sejarah tutur, terutama juru kuncinya, yang sering rancu itu, Sunan Panggung disebut keturunan dekat Brawijaya V. Apabila pendapat ini diterima, maka harus dikatakan Kalijaga, ayah Sunan Panggung, keturunan Ranggalawe patih Majapahit di wilayah Tuban. Ada yang mengatakan, Sunan Panggung lebih suka hidup seperti orang pada umumnya, ia hidup seperti Lemahabang. Dibuangnya derajat pangeran, orang agung. Ia memilih hidup menggelandang, ditemani anjing –meski menurut fikih Imam Syafi’i anjing dianggap najis tapi bagi sebagian sufi anjing adalah simbol “nafsu” yang harus dikeluarkan dari diri dan berjalan mengikutinya.

Inilah ringkasan Suluk Malangsumirang;

“Rsi Sang Mahayekti. Seorang sufi, ahli ilmu makrifat. Hal syariat telah dilaluinya, namanya harum semerbak. Adalah Pangeran Malangsumirang, saudara Sunan Pandanaran. Anak dari seorang imam di zaman Demak. Guru orang banyak. Mengajari ilmu sejati, menjauhi syariat. Hanya diajari sembahyang alam, sebagai wujud cinta. Banyak yang berguru. Uniknya, Sang Pangeran memiliki dua anjing kecil, yang menjadi kekuatan batinnya, satu bernama Iman dan yang lain disebut Tauhid. Keduanya selalu bersama, tak berpisah siang malam. Kian lama ia kian terkenal kabar beritanya, dipanggillah ia ke istana, dan diminta menghadap raja.”

Itulah bagian pembuka Suluk Malangsumirang. Setelahnya, ia disidik dan ditanya, “Betul kau merusak rukun agama dan membuat masjid jadi kosong?” Dijawabnya dengan kalimat pelan, “Hamba siap dimarahi, begitulah yang terjadi. Mengapa saya menolak syariat, karena sedang mencari ilmu sejati, demi kesentosaan hati, jika saya ini terjebak syariat maka seperti burung. Sudah terbang, tapi pikirannya masih salah, masih belum tenang. Kesejatian itulah yang ingin saya cari, tak ada keraguan, lahir batin, mantap berpegang pada tekad.”

Berkata Paduka Sultan, “Aku minta kaujelaskan semuanya sesuai keyakinanmu.” 

“Ini mudah sekaligus susah,” jawab Malangsumirang. “Yang membuat kita paham akan diri adalah tahu datangnya ajal, dan, tahu dari mana asalnya, jangan menyombongkan diri, bersabarlah. Dan, berpasrahlah kepada kehendak Allah, ingat-ingat dengan baik dalam hidup tak bisa mengaku diri Allah, kufur jika menyebut diri Allah, menyamakan hidupnya dengan Sang Sukma.”

Demi mendengar itu sultan bergeming pendiriannya. “Kalau demikian, aku tak bisa menolak permintaanmu, sebutkanlah,” katanya. “Jika demikian kehendakmu,” ujar Sunan Panggung. “Perintahkan orang untuk menyiapkan api unggun, saya akan membakar diri dalam nyala api yang membara.” Akhirnya, sultan memerintahkan prajuritnya membuat api unggun, disusun di alun-alun. Orang pun berkumpul ingin menontonnya. Sunan Panggung dan dua anjingnya sudah di sana. Dan ketika sultan memerintah hukuman bisa segera dimulai. Sunan Panggung menyuruh kedua anjingnya masuk ke dalam kobaran api. Tapi kedua anjing kecil itu tak mati, malah berkejaran kesana kemari, bulunya tak terbakar meski sehelai. Sampai akhirnya ia pun ikut masuk ke dalam tumpukan kayu yang menjilat-jilat itu.

Tak ada perasaan khawatir dan takut mati. Tapi hendak dikarangnya tembang dari dalam hati. “Inilah tembang kesedihan hati itu, kawruh jiwa,” katanya. Ketika tembang sudah jadi, Sunan Panggung keluar dari api, ia langsung menemui sultan dan para wali, menyerahkan tulisannya lalu hilang begitu saja. Kedua anjing kecilnya mengikut di belakangnya. Tak ada yang tahu kemana perginya.

Tapi lama setelah itu, ia ditemukan, ia diajak kembali ke istana. Dan berkumpul dengan wali alim lainnya. Ia diberi kebebasan, dihadiahi petak-petak sawah, yakni tanah uyun-uyun. Sejak itu namanya dimuliakan. 

Ia terdengar bergumam, “Saya tak tahu buat apa sebenarnya semua ini.”[]

| Penikmat sejarah, pecinta senja. Tinggal di Cirebon. Beberapa karyanya telah dibukukan. Antara lain: Teror.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *