Agus Rois |
“Gunung Sembung aku terima untuk pemukiman orang-orang Keling.” Itu yang ditegaskan Syarif Hidayatullah kepada Sri Mangana di Istana Pakungwati setelah muhibah jauhnya ke negeri Cina yang membawa banyak muatan. Guci, tempekong, jambangan, porselen, uang kepeng, 1500 prajurit/pekerja, dan putri kaisar Dinasti Ming.
“Tentu saja,” jawab Sri Mangana. “Tanah itu akan jadi tempat tinggal mereka.”
“Maka ketika aku tak ada lagi aku akan dikubur di sana,” ujar Syarif Hidayatullah. “Mereka adalah para penjaganya. Mereka itu orang-orang yang mencintaiku dengan penuh sungguh, tidak satu pun dari mereka bosan dan meninggalkan tempat itu. Mereka memiliki perasaan-perasaan seperti kau dan aku. Lapang dadanya.”
Sri Mangana bertanya kepada Syarif Hidayatullah, “Kenapa kau ingin jadikan mereka orang kepercayaanmu?”
“Dalam perjalanan pulang dari Cina, saya melihat perahu besar di tengah laut, untuk sekian lama saya tak melihat apa-apa kecuali ombak, dan sayup-sayup terdengar suara orang-orang menangis. Karena penasaran, saya dekati perahu itu, saya lihat orang-orang itu, dan semua orang tampak bersedih. Mereka mengerubungi jenazah rajanya hampir satu minggu, mereka ingin membakarnya tapi daratan masih jauh,” katanya dengan sungguh-sungguh.
“Tak lama kemudian saya bertanya kepada mereka: Itu orang mati atau bangkai, dikerubuti, dijaga-jaga, sebaiknya kalian semua ‘masuk Islam’ jadi pengikut saya. Mendengar kata-kata itu mereka marah, mendelik matanya. Mereka menyerbu ingin bunuh saya, tapi satu persatu roboh.”
Konon, setelah pikiran 108 orang berasal dari negeri Keling itu benar-benar hening, sesudah mereka tak lagi mendengar deru ombak. Segera minta ampun, mereka ingin mengabdi turun-temurun. “Akhirnya, kami pun terus melanjutkan perjalanan menuju Cirebon. Karena itulah saya memberi kepercayaan kepada si keling dan rombongannya.”
Abdullah, saudara saya yang sudah 12 tahun “ngemit” menjaga makam Sunan Gunung Jati menggantikan posisi ayahnya, menceritakan “Sekitar abad ke-15 seorang perantau India tiba di Cirebon,” katanya tegas dan sambil mengingat-ingat. “Karena kulitnya yang kelang-keling, agak gelap, ia dipanggil “keling” oleh orang banyak. Waktu itu, ia datang ke Cirebon dengan hati perih, tersakiti. Tak jelas sakit apa, ada yang mengatakan ia baru saja ditinggal mati rajanya tapi ada juga yang menyebutkan ia sedih karena diusir dari negerinya, Kalingga. Di Cirebon ia bertemu Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati, lalu berguru kepadanya dan diberi nama Sangu Lara. Penyimpan kesedihan.”
Saudara saya kembali melanjutkan ceritanya. “Tapi karena jujur dan berani. Sunan Gunung Jati mengangkatnya jadi Adipati Suramenggala. Namun orang terlanjur menyapanya keling, ia pun dipanggil dengan nama Adipati Keling. Karena kepercayaan yang diberikan itulah, ia bersumpah mengabdi hingga tujuh turunan kepada Wali Cirebon. Sapta kalima jalma. Kini sudah 15 generasi malah anak cucunya menjaga Pasambangan Jati. Jumlahnya tetap 108. Tapi sekarang ditambah 4 bekel sepuh, 8 bekel anom, dan 1 jeneng. Mereka ini diangkat kraton, kadang sangat politis penunjukannya. Sementara kami, 108 masih dari silsilah, bertelanjang dada dan tak beralas kaki.”
Ia menambahkan. “Kami tidak digaji, hanya mengabdi. Tapi dapat dari sedekah peziarah. Kami semua terbagi dalam 9 kelompok. Masing-masing 12 orang, berjaga secara bergilir selama 15 hari. Kedua belas orang itu bertugas sesuai dengan kedudukan awak perahu, pejangkaran, penanggapan, juru mudi, dan juru batu. Selain itu masih ada nyai enom, nyai tua, kadipaten enom, kadipaten tua, gedong malang, kanoman, panembahan anom, sultan jamaludin. Tugas kami meliputi semua area Pasambangan dari alun-alun, gapura, serambi, sampai jinem yang bertingkat sembilan.” Makam Adipati Keling cuma terpaut satu pintu di bawah makam Sunan Gunung Jati.
Saya berusaha mencari info “Orang-orang Keling” itu dalam Tarikhul Auliya Bisri Mustofa tapi tak menemukannya. Kalingga, sejarah mencatatnya, daerah di India Selatan, negeri yang pernah ditaklukkan Asoka dalam perang besarnya. Tapi Kalingga, dalam prasasti Sojomerto, juga bisa berarti kerajaan yang muncul di abad ke-5, adalah Holing, dan pusat kotanya antara Pekalongan dan Jepara. Masih menurut sejarah. Pekalongan tempo dulu itu pelabuhan kuno, orang menyebutnya Pe-keling-an, di situ orang-orang keling Arab dan India berkumpul.
Tidak ada yang menyangkal hal itu. Tapi saya tiba-tiba teringat Babad Demak, Babad Tanah Jawa, dan Serat Pararaton. 1470 ketika Syarif Hidayatullah datang pertama kali di Jawa dari Mesir, dan itu delapan tahun sebelum keruntuhan Majapahit oleh serbuan Girindrawardhana II, penguasa Keling, Kediri. Dan hampir semua elite Majapahit tumpas. Habis dinasti Raden Wijaya sesudahnya.
Adalah lebih mudah bagi saya untuk mengakui “Orang-orang Keling” itu “Orang dari Tanah Seberang” sebutan untuk orang-orang Gujarat dan Tamil. Mereka ialah komunitas pendatang. Mereka adalah pelancong yang melintasi berbagai cuaca dan kota. Sekarang mereka tersebar di Aceh, Medan, Palembang, Jakarta, Semarang, Surabaya, Bangil, hingga Bali. Dan mereka semua hampir mirip. Rata-rata berwajah tirus, mata menjorok ke dalam, berhidung mancung, berkulit agak gelap, kesamaan itu memang pada dasarnya karena mereka berasal dari Keling.
Saya merasa harus menyampaikan hal lain, pada paragraf terakhir ini, meski sebenarnya bikin mual dan muntah, dulu makam Sunan Gunung Jati hanya boleh dimasuki keluarga kraton dan orang-orang Keling. Para peziarah hanya sampai pintu Selamatangkep. Lalu surat izin masuk dibuat pihak kraton. Banyak orang harus bayar untuk selembar kertas itu. Dan “orang dalam” itu akan menerima sekian juta atas jasanya. Tentu saja ini hal yang tidak beres. Tapi saya tak ingin kemarahan saya membuat anda ikutan marah. Kita tak bisa berbuat apa-apa. Lebih baik pergi, duduk di sebuah bangku yang sepi. Melepas kesedihan ini.[]
| Penikmat sejarah dan senja. Tinggal di Cirebon. Beberapa karyanya telah dibukukan. Antara lain: Teror.
Amazing
suka penutup ini “Tentu saja ini hal yang tidak beres. Tapi saya tak ingin kemarahan saya membuat anda ikutan marah. Kita tak bisa berbuat apa-apa. Lebih baik pergi, duduk di sebuah bangku yang sepi. Melepas kesedihan ini”