Panjunan dan Kejaksan; dari Baghdad ke Plangon

Pergilah

ke Cirebon, jangan kemana-mana
Tak ada tempat lain yang harus dituju
Kecuali itu
Tempat yang indah
Dan kelak jadi kumpulan para wali Allah
Menetaplah di sana
Bersabar-sabarlah…

Itu yang diucapkan Junaidi al-Baghdadi, murid Imam Syafi’i yang diberi gelar “Pangeran Kaum Sufi,” kepada Syarif Abdurrahman yang sedang kecewa. Ayahnya, Sultan Maulana Sulaiman, pembesar Baghdad, tak menyukainya. Ia sudah dianggap gila. Ia didakwa sesat, menyimpang dari agama. Siang malam selalu menggendong-gendong anjing. Kadang bisa seharian ia dan teman-temannya hanya menabuh tambur di lorong-lorong kampung. Ia tak seperti seorang bangsawan, tapi gelandangan. Sering tak makan berhari-hari, tidur di jalan-jalan yang sepi. Bila ia melintas, wanita dan anak-anak akan kaget dan mengolok-oloknya. Dan ia dibenci karena itu semua. Perilaku jadzabnya.

Aku hidup dengan keyakinanku
Aku hanya mengambil sedikit dari dunia
Aku jadikan Allah teman bermainku
Apa salah?

Kata Syarif Abdurrahman kepada gurunya, al-Baghdadi. “Tidak!” jawab al-Baghdadi. “Itu jalan menuju surga…” “Tuhan menghendaki siapa pun lebih dekat kepada-Nya, mendengar detak jantungnya,” lanjut al-Baghdadi –yang namanya disebut dalam Doa Salasila Gunung Jati, setelah Seh Abdul Qadir Jailani.

Akhirnya. Di temani ketiga adiknya, Syarif Abdurrahim, Syarif Khafid, Syarifah Baghdad, dan 1.200 pengawal, Syarif Abdurrahman memilih pergi sejauh-jauhnya dari kota Baghdad. Mereka berlayar diangkut empat kapal. Laut begitu mengerikan, liar, dan menakutkan. Dan tak ada lagi gurun pasir yang luas dan lengang.

Dan ketika mereka sampai di Muara Jati. Tahun 1452. Pangeran Cakrabuana dan rakyatnya sedang sibuk membangun Istana Pakungwati. Dalam Babad Cirebon dikisahkan bila anak-anak Sultan Baghdad itu langsung menemui Seh Datul Kahfi setelah naik ke darat. “Kalian siapa? Apa perlunya?” kata Seh Datul Kahfi. “Kami datang dari Baghdad, hendak berguru kepada waliyullah,” ungkap Syarif Abdurrahman. “Seh Junaidi al-Baghdadi menitip salam. Dan jika diizinkan saya bersama rombongan mukim di tanah ini.”

Seh Datul Kahfi tak keberatan jadi guru mereka. Tapi keinginan untuk menetap di Cirebon, tak bisa diputuskan olehnya. “Kalian harus menemui Pangeran Cakrabuana untuk itu,” kata Seh Datul Kahfi, “ia yang memberikan izin, bukan saya.”

“Baiklah,” kata Syarif Abdurrahman, “kami akan menyambanginya.”

Beberapa saat kemudian, empat bersaudara itu dan sejumlah kecil pengikutnya menghadap Pangeran Cakrabuana –lelaki dengan tampang lembut dan selalu enak buat dilihat. “Aku tak akan melarang-larang kalian,” ungkapnya. “Buatlah perkampungan. Tapi, hendaklah kamu semua patuh dan mendengarkan.”

Dan Syarif Abdurrahman bersama lebih dari 300 orang yang mengelu-elukannya berjalan ke utara Lemahwungkuk. Ia bangun perkampungan di sana. Di kemudian hari tempat itu dikenal sebagai Panjunan. Mereka mencari nafkah sebagai pembuat gerabah. Sampai sekarang anak keturunannya masih memelihara tradisi itu, meski tak banyak lagi dan hanya untuk keperluan tertentu.

Sejarah mencatat, tahun 1480. Atau delapan belas tahun sebelum Masjid Agung Sang Cipta Rasa tegak. Ia dirikan masjid untuk ibadah di tengah perkampungan orang Arab (Baghdad) itu. Warna merah bata mendominasi keseluruhan masjid, dan piring-piring keramik Cina jadi penghias dinding. Di masa wali, masjid ini kerap dipakai untuk musyawarah, dan, ketika Cirebon dipimpin Panembahan Ratu, cicit Sunan Gunung Jati, tahun 1549 halaman masjid dipugar dengan kuta kosod. Pintu masuknya berubah jadi candi bentar dan diberi panel jati berukir. Tapi, apa boleh buat, tahun 1978, pintu bentar yang dianggap mencirikan “Hindu” itu dirobohkan, masyarakat mulai membangun menara di halaman depan sisi selatan. Masjid Merah Panjunan, masjid tertua kedua di Cirebon setelah Masjid Pejlagrahan, demikian kami menyebutnya.

Sementara Syarif Abdurrahim bersama sekelompok lainnya, dari tempat Seh Datul Kahfi di Amparan Jati pergi agak ke selatan ke daerah Kejaksan. Di sana, ia dijadikan pemimpin dan mulai membangun pemukiman, seperti halnya sang kakak ia bangun masjid dan dinamainya Masjid Kejaksan. Dan segera Kejaksan jadi lebih ramai.

Sementara itu, dua adik mereka, Syarif Khafid dan Syarifah Bagdad, menetap di Amparan Jati. Mereka mempelajari seluruh seluk-beluk ilmu dari Seh Datul Kahfi. Kelak, Syarifah Baghdad dinikahi Sunan Gunung Jati dan jadi istri yang sangat dicintai, digelari Nyi Mas Panatagama Pasambangan. Dan sisa dari 1.200 orang itu tinggal di Jagapura.

Begitulah tarikh menegaskan dua orang Baghdad “gila” itu, mereka ialah penyebar Islam di Cirebon yang hidup satu zaman dengan Sunan Gunung Jati. Nama mereka disebut-sebut dalam Purwaka Caruban Nagari dan Babad Cirebon. Bahkan dalam teks lain, yaitu naskah Nagara Kretabhumi, mereka dicatat sebagai murid paling setia Seh Abdul Jalil atau Seh Lemahabang atau Seh Siti Jenar.

Seperti murid-murid lain Lemahabang yang dikejar-kejar dan dibunuh. Begitu pula Syarif Abdurrahman dan Syarif Abdurrahim yang sudah berganti nama Pangeran Panjunan serta Pangeran Kejaksan. Mereka pun disebut dengan nada amat negatif. Mereka dicap pengikut sekte mistik, tarekat birahi (kajabariyah), yang suka bermain rebana (inilah awal kesenian Brai di Cirebon). Dan apa yang terjadi? Sunan Gunung Jati menghadapi kenyataan bahwa beberapa hal dalam soal keagamaan ia berseberangan dengan iparnya. Dan segera, akibat ketidaksesuaiannya dengan Sunan Gunung Jati, mereka diminta meninggalkan batas kraton.

Sejak itu, nasib berubah, mereka mulai dilupakan, mereka pergi dengan keresahannya dan mendirikan pesanggrahan baru di wringin pitu. Dan sampai akhir hayatnya, ketika mereka mati demi membela keyakinannya, mereka tetap di situ, Plangon, Sumber, 12 kilometer barat Kota Cirebon. Tapi, sekalipun pernah disingkirkan, nama mereka terus bersinar berabad-abad kemudian. Tiap 27 Rajab, ketika upacara tahunan digelar untuk memperingati derita mereka, pesanggrahan itu –yang hampir semuanya merah– masih jadi salah satu tujuan ziarah penting di Cirebon.

Tapi, semua tak terus selesai. Bukit Plangon, tempat peristirahatan akhir mereka, yang dihuni banyak monyet, seperti dituduhkan sebagian orang adalah tempat pesugihan.

Tentu saya tak mempercayainya. Tapi selama ratusan tahun saya mendengar orang bertapa di sana bukan untuk membunuh nafsu, melainkan mengisi ketamakannya hingga penuh.

Andaikan itu aku
Apakah sampai Tuhanku

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *