Penyair Perempuan Arab Era Klasik

Asmara Edo Kusuma |

Beberapa tahun lalu, untuk keperluan tugas akhir kuliah, saya meluangkan waktu untuk membaca buku kumpulan transkrip wawancara para jurnalis Arab dengan Adonis yang diterbitkan dalam tiga jilid dengan judul Adūnis; al-Hiwārāt al-Kāmilah 1960-1990. Tentu saya tidak membacanya secara keseluruhan, hanya beberapa transkrip wawancara saja saya baca sesuai keterkaitannya dengan tema tugas akhir saya. 

Di situ saya menemukan percakapan menarik antara Adonis dan Fatimah al-Mani’; seorang jurnalis perempuan yang bekerja untuk majalah al-Jail ash-Shā’id. Percakapan ini berlangsung pada tahun 1966. 

Fatimah bertanya kepada Adonis, “Mengapa jumlah penyair laki-laki lebih banyak ketimbang jumlah penyair perempuan, khususnya di zaman ini?” 

Adonis menjawab dengan raut muka heran, “Seharusnya pertanyaan itu dilontarkan oleh kami kaum laki-laki, kami merasa heran terkait itu.” 

Kemudian Adonis menceritakan kepada Fatimah bahwa sebenarnya dalam kesusastraan Arab modern banyak sekali penyair perempuan yang hebat, di antaranya Nazek al-Malaikah, Fadwa Tuqan dan Salma al-Khadhra’ al-Jayyusi. Ketiganya itu bahkan lebih hebat dari penyair-penyair perempuan Arab klasik kecuali al-Khansa’. Bagi Adonis, al-Khansa’ binti ‘Amru; penyair yang menyaksikan masa Jahiliah dan masa awal Islam itu tidak ada tandingannya bila dibandingkan dengan penyair-penyair perempuan modern.

Dalam cerita Adonis, yang menarik bagi saya untuk ditelusuri bukan Nazek, Fadwa dan Salma, melainkan penyair-penyair perempuan Arab klasik (asy-Syā’irāt al-Qudāma). Tentu bukan berarti mengesampingkan kontribusi ketiga penyair besar di jagat perpuisian Arab modern tersebut. Ini hanya soal rasa penasaran saya tentang penyair-penyair perempuan Arab klasik. Semacam rasa ingin mencari tahu ala kadarnya. 

Pada akhirnya salah satu buku yang saya koleksi sejak lama menjadi jalan pembuka, sebelum membaca referensi lain. Buku ini ditulis oleh penulis Tunisia Rasyid adz-Dzawadi dengan judul Maqāhi al-Udabā’ fi al-Wathan al-‘Arabi, dan Naguib Mahfouz ikut serta memberi kata pengantar di dalamnya. 

Meskipun secara umum buku ini berbicara tentang warung kopi sastrawan di negeri-negeri Arab, namun terdapat informasi yang saya butuhkan. Kemudian buku ini mengantarkan saya pada satu sub-bab yang menurut saya menarik untuk dieksplorasi, lagi-lagi, secara ala kadarnya. Sub-bab itu berbunyi: Klub Sastra Perempuan (Muntadayāt an-Nisā’ al-Adabiyyah).

Dala sub-bab itu, Rasyid menjelaskan bahwa klub sastra Arab di era klasik tidak hanya didirikan oleh pegiat sastra laki-laki. Kaum perempuan juga ikut serta mendirikannya, bahkan menjadi pimpinannya. Fakta ini diakui kebenarannya oleh para sejarawan (muttafaq ‘alaih). Di antara sejarawan modern yang mengakui itu ialah Rabih Luthfi Jum’ah, seorang sastrawan dan sejarawan Mesir sekaligus putra Muhammad Luthfi Jum’ah. 

Rabih mengakui para penyair perempuan Arab klasik punya kontribusi besar dalam sejarah berdirinya perkumpulan sastra di kota-kota penting seperti Mekah, Madinah, Kairo, Damaskus, Baghdad dan kota-kota di Andalusia. Mereka mendirikan perkumpulan sastra tidak hanya khusus untuk kaum perempuan saja. Mereka menjadikannya sebagai forum budaya terbuka untuk semua kalangan, baik perempuan maupun laki-laki. Banyak penyair dan pemikir laki-laki yang ikut hadir, berdiskusi dan bertukar gagasan.

Klub Sastra Perempuan Pertama

Menurut pendapat paling sahih, klub sastra perempuan yang pertama kali berdiri di tanah Arab adalah Salon Sastra ‘Umrah. Didirikan oleh penyair perempuan bernama ‘Umrah pada pertengahan pertama Abad 1 Hijriah. Pendapat semacam ini, juga dilontarkan oleh Ahmad Sayyid Āli Barjal; penulis buku ash-Shalūnāt al-Adabiyyah fi al-Wathan al-‘Arabi . Bahkan Āli Barjal menyebut Salon Sastra ‘Umrah sebagai klub sastra pertama dalam sejarah sastra Arab. 

Mungkin maksud dari “klub sastra pertama” yang dikatakan Āli Barjal adalah tempat perkumpulan sastra pertama yang memiliki agenda-agenda rutin sebagaimana salon sastra/rumah sastra/rumah budaya yang kita pahami saat ini. Karena forum sastra dalam arti tempat para penyair berlomba membaca puisi dan dihadiri banyak orang, sudah ada pada masa Pra-Islam (Jāhili), seperti forum penyair di pasar Ukaz.

Kembali pada sosok ‘Umrah. Āli Barjal menyebut ‘Umrah sebagai sosok perempuan pemimpin yang bijak, berperangai lembut dan memiliki pengetahuan luas.  Sosok ‘Umrah juga disebut oleh penulis kitab al-Aghāni; Abu al-Farraj al-Ishfahani.  Al-Ishfahani menyebutnya sebagai perempuan Hijaz yang fasih; ucapannya didengar dan dipercaya oleh masyarakat. Di Salon Sastra ‘Umrah sendiri, banyak penyair laki-laki yang seringkali hadir sebagai peserta forum, mereka membacakan puisi-puisi mereka, mendiskusikannya dan bertukar gagasan.

Periode Umayyah dan Abbasiyyah

Pada masa kekhalifahan Bani Umayyah, juga terdapat banyak klub sastra yang didirikan oleh penyair perempuan. Tema-tema yang diperbincangkan di dalamnya tidak hanya berkaitan dengan dunia sastra, melainkan juga tema-tema yang berkaitan dengan dunia pemikiran. Di antara klub-klub sastra yang terkenal pada masa ini ialah Klub Sastra Sukainah di kota Madinah yang dinahkodai oleh Sukainah binti Husein. Dia merupakan putri Husein bin Ali atau cucu Ali bin Abi Thalib. 

Dalam catatan Basyir Yamut di buku Syā’irāt al-‘Arab fi al-Jāhiliyyah wa al-Islām, Sukainah binti Husein termasuk penyair penting Arab-Islam dari kaum perempuan di samping Rabi’ah al-‘Adawiyyah (penyair sufi), Laila al-‘Amiriyyah (kekasih Qais/Majnun) dan penyair perempuan kondang lainnya. Kepribadian Sukainah yang baik juga diakui oleh beberapa sejarawan klasik. 

Ibnu Khallikan memuji kecerdasan Sukainah dan pemikiran kritisnya. Karakter tersebut menjadikannya sosok yang disegani oleh orang-orang di klub sastra yang ia dirikan. Al-Ishfahani menyanjung Sukainah sebagai sosok terhormat, visioner dan memiliki argumentasi yang kuat ketika berpendapat. Sukainah juga termasuk pecinta syair dan lagu. Kecintaannya pada syair dan lagu dicatat oleh al-Ishfahani di kitab al-Aghāni dalam catatan tentang Ibnu Suraij ketika bertemu Sukainah binti Husein (Khabar Ibni Suraij ma’a Sukainah binti al-Husain ‘Alaihmā as-Salām). 

Sedangkan pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyyah, Rumah Sastra Fadhl al-‘Abdiyyah (Bait al-Fadhl al-‘Abdiyyah) merupakan salah satu klub sastra perempuan yang paling berpengaruh di kota Baghdad. Rumah ini menjadi tempat pertemuan para sastrawan Baghdad. Fadhl sendiri pada awalnya merupakan seorang budak perempuan yang melek bahasa dan sastra; ia pandai merangkai puisi. Setelah merdeka, ia dikenal dengan nama Fadhl al-‘Abdiyyah. Ia termasuk salah satu penyair yang dikagumi oleh Khalifah al-Mutawakkil. Dalam kitab al-Aghāni, al-Isfahani menyebutnya sebagai penyair yang produktif, memiliki paras cantik dan perilaku baik.

Periode Pemerintahan Arab-Islam di Andalusia

Di negeri Andalusia (maghrib), klub sastra perempuan juga banyak bermunculan. Sebagaimana di negeri Arab bagian timur (masyriq), klub-klub sastra yang didirikan oleh kaum perempuan Andalusia juga terbuka untuk semua kalangan, termasuk sastrawan laki-laki dan tokoh masyarakat. Dan yang menarik dari kaum perempuan terpelajar di Andalusia adalah rata-rata mereka mendirikan komunitas atau perkumpulan setelah menyelesaikan studi. 

Di antara klub-klub sastra perempuan Andalusia yang penting disebutkan di sini ialah; Pertama, Klub Sastra Hafshah ar-Rukuniyyah di kota Granada. Klub ini didirikan oleh Hafshah binti al-Hajj ar-Rukuniyyah; penyair perempuan yang hidup pada Abad 12 Masehi. Kedua, Klub Sastra Walladah binti al-Mustakfi di Cordoba. Walladah merupakan penyair yang hidup pada Abad 11 Masehi. Ia juga merupakan putri Khalifah al-Mustakfi Billah. 

Ketiga, Klub Sastra Aisyah al-Quthubiyyah di kota Cordoba. Didirikan oleh Aisyah binti Ahmad al-Qurthubiyyah pada Abad 11 Masehi. Ia termasuk penyair perempuan yang kondang. Sosoknya dicatat Ibnu Hayyan al-Qurthubi dalam Jadzwa al-Muqtabis sebagai perempuan langka di zamannya karena kecerdasan, keilmuan dan kepiawaiannya dalam menulis syair. 

Demikian telusur ala kadarnya saya terkait penyair perempuan dan klub sastra Arab di era klasik. Setidaknya ini mengkonfirmasi bahwa kaum perempuan zaman dulu, khususnya di periode Arab-Islam, punya kontribusi besar dalam sejarah perkembangan sastra. Mereka aktif menghidupkan komunitas untuk pemberdayaan manusia, khususnya kaum perempuan itu sendiri.

Wallahu a’lam.

| Penyair Bunga-bunga, singgah di Jogjakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *