Sang Ratu

Daulat Candu H |

Hajar tak pernah tahu. Ia tak melihat suaminya yang bersimpuh dengan tangis tertahan, apalagi mendengar doa-doa pengharapan yang ia panjatkan kepada Tuhan. Yang ia tahu, suaminya pastilah menanggung sedemikian besar beban.  

Ia melihat bayi Ismail di dekapnya, buah hati mereka berdua. Dan merasakan betapa suaminya sangat mencintai bayi mungil tersebut. Di sisi lain, nabi Ibrahim diperintahkan Allah SWT untuk menempatkan mereka berdua jauh dari rumahnya, jauh dari tatapan penuh kasih kedua bola matanya. 

Bisa jadi Hajar tidak akan kuat menghadapi kenyataan bila tidak ada bayi Ismail dalam dekapan. Dalam sebuah dunia patriarkal, Hajar sadar dirinya bukan siapa-siapa tanpa Ismail. Ia berserah, namun tak menyerah. Seluruh insting bertahan hidup terkumpul dalam diri Hajar saat ia berkata, “Jika ini adalah kehendak Allah SWT, maka Dia tidak akan menyia-nyiakan kami.” 

Ia memandang sekeliling. Tandus. Gersang. Bebatuan. Ia mencari tempat teduh. Mungkin matahari sudah condong ke barat dan bayangan sebuah batu besar memberikan satu tempat teduh untuk beristirahat. Hajar terus mendekap Ismail dan berjalan menuju tempat tersebut, duduk, dan mulai makan beberapa biji kurma yang diberikan oleh Nabi Ibrahim, suaminya. Ia lalu meminum air yang masih tersisa dan mulai menyusui sang bayi. Ia hitung sisa perbekalan. Tidak penting bagi kita untuk tahu apakah sisa kurma dan air yang ia miliki cukup untuk satu hari atau satu bulan: cepat atau lambat, perbekalan itu akan habis.  

Setelah bayi Ismail lelap dalam kenyang, mungkin Hajar mulai berpikir apa yang hendak ia lakukan. Ia tahu ia harus melakukan sesuatu. Menemukan sesuatu untuk dimakan. Atau diminum. Menambah perbekalan. Atau, seperti bayinya Ismail, mungkin ia juga jatuh terlelap. Maklum, perjalanan yang ia tempuh sangatlah melelahkan, dan peristiwa perpisahan dengan suaminya sangatlah menimbulkan beban. 

Apapun yang Hajar lakukan, entah melamun entah jatuh tertidur, ia kemudian terhenyak oleh tangis bayi Ismail yang terbangun oleh lapar dan haus. Segera ia susui bayinya. Sambil makan perbekalan yang tersisa. Lalu habislah semua. 

Bayi Ismail yang sempat tenang oleh susu ibunya kini mulai menggeliat resah. Mungkin dahaganya belum hilang tuntas sementara air susu ibunya sudah terasa kandas. Tak butuh waktu lama bagi bayi Ismail untuk kemudian menangis keras. Air susu Hajar habis. 

Hajar tiba-tiba disergap panik. Ia sudah tahu perbekalannya akan habis. Tapi saat perbekalan itu telah benar-benar habis, kepanikan hadir dalam wujud yang lebih terasa dan lebih nyata. Ia bangkit sambil terus mendekap bayinya. Dengan panik ia menoleh ke kiri-kanan, ke depan-belakang, memutar, melihat jauh sepanjang cakrawala membentang, berharap melihat sesuatu selain batu, debu, tanah yang gersang, dan sinar matahari yang garang. 

Di kejauhan, ia melihat air yang menggenang. Hatinya girang bukan kepalang. Di tempat teduh yang terlindungi bayang-bayang bebatuan, ia tinggalkan bayi Ismail, dan segera berlari-lari kecil menuju sebuah bukit kecil di mana ia melihat genangan air tampak menyilaukan. Langkah mulai menanjak dan Hajar terus menjejak. Namun saat jarak sudah sedemikian dekat, nyatalah baginya bahwa genangan air itu hanyalah sebuah tipuan mata belaka. Dan betapa merana hatinya. 

Ia kembali edarkan pandang. Mencari-cari. Apapun. Dan sudut matanya kembali menangkap genangan air lagi. Kali ini di sebuah bukit kecil lain. Ia segera meluncur menuruni batu-batu bukit, terus berlalu menuju bukit batu yang lain. Langkahnya mulai menanjak saat ia kembali menyadari bahwa yang ia lihat tak lain hanyalah fatamorgana. Dan betapa nelangsa hatinya. 

Namun ia tak putus asa. Meski kepanikan terus menguasai dirinya. Ia seorang ibu. Bayinya menangis meronta-ronta minta diisi perutnya. Ia akan lakukan apa saja demi bayi yang pernah dikandungnya. 

Kembali ia lemparkan pandang ke sekelilingnya. Dan kembali ia melihat genangan air di bukit sana. Ia barangkali tahu bahwa itu mungkin saja hanyalah fatamorgana, yang dibentuk oleh pantulan terik matahari dan rasa panik yang terus kuasai diri. Tapi ia tetap turuni bukit Marwa, lalu kembali berlari-lari kecil, dan mulai menaiki bukit Safa.  

Ia telah sampai di atas bukit saat kembali menyadari bahwa genangan air itu tak pernah ada, bahwa dirinya ditipu fatamorgana. Ia melihat sekeliling dan kembali melihat genangan air di bukit sana. Ia kembali berlarian, demikian terus berulang-ulang tujuh kali putaran, tanpa putus harapan, tanpa sedikit keraguan atas kuasa Tuhan. 

Hajar hendak kembali mencari-cari saat ia menyadari bahwa ia telah cukup lama meninggalkan Ismail si jabang bayi, yang sedari tadi terus menangis tanpa henti. Ada sesuatu yang membuat siti Hajar teringat bahwa ia cukup lama meninggalkan anaknya. Ah, ya, tangisannya. Siti Hajar baru sadar bahwa tangisan bayinya Ismail telah terhenti.  

Tiba-tiba, seperti pisau es yang menusuk, kepanikan yang lebih besar menyergap Hajar hingga membuatnya membeku. Batinnya, mengapa tangis bayiku tak lagi terdengar? Bayangan-bayangan menakutkan muncul dalam pikiran. Ia arahkan pandang ke tempat Ismail ia tinggalkan, dan berlari menghampiri. Siti Hajar merasa heran melihat apa yang ada di hadapakannya kini. Perasaan heran yang sekaligus melegakan. Bayi Ismail tak lagi menangis karena kehausan, karena kini sang bayi sedang berkecipak menendang-nendang aliran air berarus besar yang dalam waktu sebentar sudah menggenangi bebatuan tempat ia direbahkan sang ibu. Air itu deras mengalir dari sela-sela bebatuan di bawah kaki sang bayi. 

Betapa takjubnya siti Hajar mendapati keajaiban ini. Sebuah aliran air yang deras yang tiba-tiba muncul di bawah kaki bayinya. Di tengah padang gersang. Tanpa tanda kehidupan. Di saat sedang kehausan. Ia gendong bayi Ismail yang basah kuyup. Ia beri minum. Ia segarkan diri dengan air yang sangat jernih itu. Lalu sebuah pikiran muncul: kumpulkan air! 

Air itu muncrat dari sela-sela bebatuan, merembes, menggenang dan meluber ke mana-mana. Kumpulkan air!  

Baca juga: 

Segera siti Hajar mengisi tempat airnya hingga penuh. Lalu secara spontan berlutut menggaruki pasir dan menata bebatuan membentuk secungkup wadah untuk menampung air yang memancar melimpah agar tak tumpah ke mana-mana. Sambil berkata dengan penuh semangat, “Zamzam! Zamzam!” Berkumpullah, berkumpullah, wahai air. 

* 

Kecuali pada beberapa bagian di selatan, jazirah Arab adalah padang gersang yang kering kerontang. Bahkan dua imperium besar dunia yang ada di utara jazirah Arab tak pernah menganggap wilayah itu cukup menarik untuk ditaklukkan. Dan berabad-abad suku-suku nomaden Arab yang menjelajahi wilayah gersang itu berperang satu sama lain demi mendapatkan sumber air, beberapa pohon kurma dan sedikit padang rumput di sekelilingnya untuk domba-domba mereka. 

Siang itu satu kafilah suku Jurhum dari Yaman jauh di bagian selatan jazirah Arab, sedang berjalan melewati satu rute kuno yang melintang dari selatan ke utara, yang menghubungkan kerajaan-kerajaan kuno di Yaman dengan kota-kota ramai kerajaan Romawi di Syam. Mereka dibuat heran oleh munculnya sekawanan burung yang berputar-putar di atas sebuah wilayah gersang di lembah yang dikelilingi bukit-bukit batu. Belum pernah seumur hidup mereka melihat kawanan burung di kawasan kerontang itu.  

Kepala kafilah kemudian mengirim utusan untuk mengamati keadaan. Perintahnya, “Periksa lembah di sana itu. Adanya kawanan burung-burung itu hanya berarti satu hal: sumber air. Tapi aku belum yakin. Setahuku di sana tidak ada apapun selain batu.” 

Utusan itu kemudian kembali dengan membawa berita yang membuat kepala kafilah heran. “Sumber air yang melimpah. Di bawah kaki seorang ratu yang menggendong bayi.” []

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *