Sarah dan ‘Iffah

Daulat Candu H |

Kisah Sarah memiliki banyak versi yang berbeda dalam tradisi dan literatur agama Yahudi dan Nasrani. Sementara Islam tidak memiliki begitu banyak detail yang tidak perlu tentang istri Nabi Ibrahim tersebut.

Selain bahwa Sarah adalah istri Nabi Ibrahim, Al-Qur’an tidak secara spesifik menceritakan kisah Sarah sebagai individu. Al-Qur’an hanya menceritakan keheranan Sarah pada usia tua saat dijanjikan Allah SWT melalui tiga malaikat yang bertamu, anak turun Ishak dan Ya’kub.

Sumber utama penulisan kisah Sarah, sebagaimana juga penulisan kisah banyak nabi-nabi dan kaum terdahulu yang disebut dalam Al-Qur’an, berasal dari kabar-kabar Isroiliyyat. Maka dari sudut pandang Islam, tolok ukur kebenaran kabar-kabar tersebut adalah Al-Qur’an.

Baca juga: Ibrahim dan Keraguan

Bila sebuah kabar Isroiliyyat sama atau sesuai dengan apa yang ada dalam Al-Qur’an, maka kita terima. Bila bertentangan, kita tolak dan anggap yang benar adalah apa yang tertuang dalam Al-Qur’an. Bila yang disampaikan oleh kabar Isroiliyyat tidak ada dalam Al-Qur’an, namun tidak bertentangan secara prinsipil dengan nilai Islam dan diperkuat dengan bukti sejarah, maka Isroiliyyat tersebut bisa diterima.

Keanggunan Aristokrat

Menurut sumber Isroiliyyat, Sarah lahir di kota Ur, Babylonia. Nama asli Sarah adalah Sarai, dari bahasa Ibrani yang artinya Ratu atau putri bangsawan. Ia putri dari Haran, paman nabi Ibrahim. Siti Sarah dalam berbagai penggambaran dilukiskan sebagai seorang wanita yang cantik berbinar. Tidak hanya cantik secara lahiriah, siti Sarah digambarkan juga cantik perangainya, anggun tindak-tanduknya, mulia hati dan jiwanya. Bila kita pertimbangkan penggambaran-penggambaran tentang dirinya yang rupawan, anggun dan mulia, bisa jadi ia memang seorang ratu. Paling mungkin adalah Sarah putri seorang terpandang di tengah masyarakatnya.

Suatu hari sepupunya datang dan menetap di tempat tinggal orang tuanya. Sepupunya yang muda, gagah, dan tampak pemberani. Sepupunya yang diusir orang tuanya. Sepupunya yang berpendapat bahwa dirinya adalah wanita paling cantik sedunia. Sepupunya itu bernama Ibrahim.

Ibrahim muda memang jatuh hati pada sepupunya yang jelita. Mereka berdua kemudian menjalin cinta. Dan hidup bahagia. Namun aktivitas nabi Ibrahim yang kritis menentang politeisme dan secara demonstratif menunjukkan betapa politeisme sudah tidak lagi cocok dengan kebutuhan jaman, membuat siti Sarah suka rela ikut menanggung risikonya. Tidak tanggung-tanggung, dakwah tauhid nabi Ibrahim menempatkannya berhadap-hadapan dengan kuasa.

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, keluarga besar nabi Ibrahim hijrah. Ayah nabi Ibrahim, nabi Ibrahim sendiri, siti Sarah, dan Luth, keponakannya, beserta rombongan tiga ratusan orang pindah ke negeri Kan’an.

Tiga ratus orang tidaklah sedikit. Tidak semua keluarga memiliki sumber daya untuk mengelola dan mempekerjakan orang sebanyak itu. Ayah nabi Ibrahim, Azar, selain perajin patung memang dalam satu riwayat merupakan orang dekat Namrud, raja lalim penguasa Ur musuh nabi Ibrahim. Tentu kaya. Namun siti Sarah tak kalah kaya. Disebutkan bahwa saat remaja, Sarah sang Ratu memiliki tanah produktif yang melimpah. Dan seluruh kekayaannya ia pasrahkan kepada suaminya.

Pada rute perjalanan menuju Kan’an, atau Palestina hari ini, rombongan nabi Ibrahim berhenti di sebuah daerah di Irak hari ini bernama Harran. Azar, ayah Nabi Ibrahim, kemudian tinggal menetap di kota dagang yang ramai tersebut.

Rombongan kini tinggal nabi Ibrahim, Sarah, dan Luth, yang kelak kemudian juga diangkat menjadi nabi. Mereka meneruskan perjalanan, sampai di Kan’an, dan menetap di sana. Nabi Ibrahim melanjutkan dakwahnya. Dan apapun kegiatan sang suami, Sarah selalu mendukung dan mendampingi.

Ya, mendampingi. Kehadiran aktif Sarah dalam kegiatan sang suami bahkan terekam oleh Al-Qur’an saat Nabi Ibrahim didatangi tiga tamu malaikat. Padahal saat itu usianya sudah lanjut dan telah banyak hal-hal dan peristiwa yang ia lalui bersama; tantangan, tentangan, bahaya, pergulatan batin, pengendalian emosional.

‘Iffah

Bertahun hidup berkeluarga, pasangan Ibrahim dan Sarah belum dikaruniai keturunan. Namun mereka tak putus harapan. Al-Qur’an mengisahkan berulang-ulang do’a nabi Ibrahim agar diberi karunia keturunan yang banyak, sebanyak bintang di langit. Sebuah do’a yang dikabulkan.

Suatu ketika, negeri Kan’an dilanda musibah paceklik atau wabah, sesuatu yang tidak asing dalam sejarah peradaban manusia. Dan sebagaimana yang biasa terjadi, bila wilayah Mesopotamia dilanda paceklik, mereka akan berpaling pada satu titik: Mesir. Dengan suplai air yang melimpah dari sungai Nil, Mesir selalu menjadi lumbung pangan yang kuat. Gelombang pengungsi mulai bergerak menuju wilayah delta sungai yang subuh tersebut. Tak terkecuali keluarga Nabi Ibrahim.

Rombongan keluarga Nabi Ibrahim pastilah mencolok, atau memang Nabi Ibrahim sedikit banyak sudah dikenal sebagai seorang tokoh, karena kedatangannya sampai diketahui dan termonitor oleh penguasa Mesir. Dan yang tak luput dari monitor penguasa Mesir adalah: Sarah.

Secantik dan seanggun apa Sarah hingga kuasa Mesir, sebuah peradaban besar dan paling stabil dan paling lama bertahan, meliriknya? Kita hanya bisa membayangkan. Begitulah, sesampai di Mesir, Sarah dipanggil istana. Dan raja Mesir itu, demi melihat Sarah, berhasrat untuk mempersuntingnya.

Kita tidak tahu bagaimana persisnya yang kemudian terjadi, yang jelas, Sarah menunjukkan ‘iffah-nya, ketabahan dan kemampuannya menjaga diri, tak tergoda dunia, tak terintimidasi kuasa, tegar menunjukkan kualitas keanggunan aristokratnya, menolak hasrat raja dengan tengadahkan kepala, dan berhasil menundukkannya.

Riwayat menarasikan bahwa Allah SWT menyelamatkan Sarah dari cengkeraman Fir’aun dengan membuat Fir’aun tiba-tiba lumpuh dan terserang penyakit. Diriwayatkan pula Sarah tak henti-hentinya berdo’a memohon bantuan Allah Ta’ala.

Demikianlah, Sarah lolos. Dan justru seorang putri istana sampai terpesona melihat keanggunan dan ketabahan yang diperlihatkan olehnya. Putri istana itu kemudian menjalin komunikasi dengan Sarah, hingga kemudian membatin, “Aku lebih baik menjadi hamba di rumah Sarah daripada menjadi putri di istana ini.”

Putri istana itu bernama Hajar.

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *