Seh Datul Kahfi – Serial Telusur Sejarah Islam di Nusantara

Agus Rois |

Ana sira ana Ingsun

Itu yang dikatakan Seh Datul Kahfi, penghulu tarekat Syattariyah, tentang penyerahan total. Orang cenderung menafsirkannya literer: Ada kamu ada saya. Tapi, saya lebih suka mengambil suara yang berbeda. Kau hadir, Allah pun hadir.

Dan malam menyingkir.

Dan saya seperti membaca kembali syair gurunya, Imam Syafii, dalam Diwanus Syafii yang sudah beratus tahun umurnya.

Saya serahkan diriku

Apabila Allah menghendaki satu hal saja

Dan kutinggalkan kemauanku

Untuk mengikuti kemauan-Nya

Itu sebabnya agar sampai Tuhan ia memilih berlama-lama dalam gua. Karena itu orang di tempat saya, Cirebon, menjulukinya Seh Datul Kahfi –suci yang tinggal di gua, konon nama aslinya Maulana Idhofi Mahdi, asalnya dari negeri seberang. Apabila malam kian panjang, ia berdiri sembahyang, ia sendirian, ia menjadi amat takut pada Allah. Lidahnya fasih menyebut nama-Nya. Tapi tidak untuk yang lain. Ia merasa asing dan sia-sia. Ia tahu akibat lisan. [Jangan sampai ia menggigitmu, sebab lisan itu ular…] katanya.

 

Hatiku lebih berharap kebaikanMu

Wahai Tuhan yang penuh belas kasih

Di waktu sunyi atau riuh

Di pagi dan malam hari

Pilihan Datul Kahfi –putra dari Seh Datul Ahmad, Seh Datul Ahmad anak dari Maulana Isa, dan kakeknya itu adalah putra dari Seh Abdul Qadir Jaelani– jelas. Jauh-jauh datang dari Bagdad ke Cirebon hanya untuk menarik diri, ia ingin mencari cahaya yang bergerak-gerak di tengah kegelapan. Ia tak ingin seperti pembawa baju orang, ketika kotor akan mencucinya. Namun baju sendiri penuh bercak noda.

Dan ia disebut-sebut orang lain sebagai Seh Nurjati, Nur Ingkang Sejati, sebab itu. Tiap-tiap ia memberikan wejangan kepada murid-muridnya di puncak Gunung Jati, tanah merah yang didudukinya mengeluarkan sinar, segala rahasia yang samar berlalu pergi. Tempatnya duduk, yang jaraknya tak sampai 50 meter dari kubur kakek-nenek saya, kemudian dikenal sebagai puser bumi. Pusat semesta.

Di sekitar abad itu pula, antara abad ke-15, dan di tempat itu pula para wali bermusyawarah, waktu angin berhembus dari timur. Laut terbit dari sana. Kapal-kapal tambat di tepiannya. Sejarah mencatat, seperti tercatat dalam Carita Purwaka Caruban Nagari, Sejarah Banten, dan Naskah Mertasinga, ia sampai Muara Jati tahun 1420 –setelah kedatangan Seh Quro. Ki Gede Tapa atau Ki Ageng Jumajan Jati, penguasa syahbandar, yang menyambut wali asal Melaka itu –Melaka di zamannya adalah bandar besar, pusat Islam, dan sudah lepas dari kekuatan Sriwijaya.

Ia pergi ke Mekkah dan Bagdad, kota-kota besar Islam. Namun memantapkan hatinya di Pesambangan, dukuh kecil di kaki Gunung Jati, yang saat itu masih menjadi bagian dari negeri Singapura (sekarang Desa Mertasinga) dan tunduk pada Kerajaan Galuh (Hindu). Niskala Wastu Kancana adalah rajanya.

Datul Kahfi, saudara dekat Seh Lemahabang, yakin, sebuah negeri bisa jadi baik bila sang rajanya berpikir lurus, tak serakah, dan mendapat nasihat yang benar. Ia mulai mendatangi orang, dan bersyiar. Ia bangun pondok pesantren Pasambangan Jati –pondok tertua di Cirebon dan tertua kedua se-Jawa Barat sesudah pondok di Karawang yang didirikan Seh Quro, putra Seh Yusuf Sidik (Wali Melaka).

Buku-buku menulis ini:

[Datanglah ke Gunung Jati. Di sana tinggal Seh Nurjati. Asalnya negeri seberang lautan. Ia bertapa di dalam gua. Ia empunya agama Islam, agama yang kaucari, di tlatah Pasundan…] kata seorang pendeta kepada Walangsungsang.

Dan bisa dijumpai dalam naskah-naskah tradisi Cirebon berbentuk prosa, Carita Purwaka Caruban Nagari dan Babad Tanah Sunda/Babad Cirebon. Juga naskah tembang, misalnya, sebut saja Carub Kanda, Babad Cerbon, Wawacan Sunan Gunung Jati, Naskah Mertasinga, Naskah Kuningan, Naskah Pulasaren. Dan saya mencatat, dari sekian banyak naskah, hanya Babad Cirebon terbitan Brandes yang tak memuat atau sengaja menghilangkan sosok Datul Kahfi.

Datul Kahfi yang hidup menyendiri, tahu suatu saat akan datang tamu yang bisa menjadi khalifah-Nya di bumi. [Hai, tiga anak muda, siapa namamu, dari mana, mengapa datang ke tempat ini?] tanyanya.

Berkatalah Walangsungsang: Saya Walangsungsang, putra Pajajaran, ini adik hamba, Rara Santang, di sebelahnya istri saya Indangayu. Kami datang ke sini untuk berguru ilmu agama. Datul Kahfi pura-pura kaget. [Bagaimana mungkin anak raja mau meninggalkan kraton dan mengenal agama Muhammad] kata Datul Kahfi –ayah dari Syarifah Bagdad, wanita yang kelak dinikahi Sunan Gunung Jati, ibu dari Pangeran Jayakelana dan Pangeran Bratakelana.

Sampai di sini ujung cerita mudah ditebak. Walangsungsang masuk Islam. Dan adik serta istrinya mengikuti jalan itu.

Kehidupan Pesambangan pun pelan-pelan jadi lain. Datul Kahfi mulai melihat ketertiban di masyarakat. Dan pesannya kepada Walangsungsang, sebelum ia kembali bertafakur dalam gua, konon gua itu tembus hingga ke Ka’bah, adalah, “Carilah tempat yang kau anggap cocok untuk ditempati… Ketahuilah nanti di akhir zaman, banyak orang terkena penyakit. Tak seorang pun dapat mengobati penyakit itu, kecuali diri sendiri karena penyakit itu akibat perbuatannya sendiri. Ia sembuh dari penyakit itu bila ia melepaskan perbuatannya.”

Di Jawa Barat, Islam bermula dari Cirebon. Namun, seperti dikatakan seorang teman dari Bandung, tempat ini tak meninggalkan bekas Islam yang kuat dalam praktik ibadah, orang kembali berjalan di atas dosa…

Tapi saya ingat ucapan Imam Syafii, sosok panutan Datul Kahfi itu.

Aku telah berbuat dosa

Dan hanya Kau yang tahu itu

Dan Kau tak akan menjelek-jelekkanku

Sebab dosa yang kulakukan

| Pengembara sejarah agama. Menulis di berbagai media. Teror adalah salah satu bukunya yang sudah terbit. 

One Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *