Agus Rois |
Lima abad lebih bangunan itu berdiri. Saya mengagumi mozaiknya, warna merahnya yang kuat dan seolah memancarkan nyala-nyala api, juga puluhan piring porselen Cina yang ditempel pada gerbang dan tembok-temboknya. Di dalam tembok seluas 70 meter persegi itu, makam-makam berjajar menunjuk ke langit. Tapi saya tak tahu jasad siapa yang dikubur di sana, meski pada plang besarnya tertulis, Makam Maulana Syekh Maghribi, wafat 1465 M. Tapi Agus Sunyoto menyebutkan, wali yang hidup sezaman dengan Seh Jumadil Kubro asal Mesir dan dimakamkan di Troloyo, Mojokerto, itu mangkat tahun 1419.
Saya tak peduli itu makam atau sekadar petilasan sang wali. Bagi saya, tempat itu memiliki kisah dan keunikan tersendiri. Daya tariknya tak bisa diabaikan begitu saja. Berdiri di atas tanah Kraton Kanoman. Di awal abad ke-14 menjadi pusat dakwah Seh Maghribi. Tapi kini, penduduk Astana Garib Utara, seakan hampir lupa masa emasnya.
“Ini makam Seh Maghribi, satu dari banyak bangunan suci di Cirebon,” ungkap si juru kunci ketika kami masuk area makam.
Saya bertanya padanya, “Kenapa gerbang dan seluruh tembok yang mengelilingi makam ini dicat merah?” Ia ragu-ragu buat menjawab pertanyaan saya, dan sebentar memandangi semut yang merayap sepanjang rekahan tembok. “Sudah sejak dulu seperti ini, dan tak akan pernah berubah warna,” katanya.
“Sepi,” kata saya, “Agaknya tak banyak peziarah yang datang ke sini.”
Laki-laki itu mencoba mengingat jumlah tamu dalam satu minggu ini. “Baru tuan seorang,” nada bicaranya terdengar lirih.
Ketika mendengar hal itu, saya tersenyum kepadanya. “Mungkin ini bukan kuburnya,” kata saya. “Seperti tak punya wingitnya.”
“Hanya Allah yang tahu kubur para aulia, kita hanya bisa menerka-nerka,” jawabnya.
Dalam sejumlah buku, sejarahnya begitu longgar, ia dianggap wali pinggiran, dan sedikit disebut. Ia datang dari Maghrib, Maroko, negeri yang dipeluk rapat oleh tembok benteng megah dan seribu minaret. Persisnya tahun 1404 M, sesudah puncak kejayaan Maroko. Ia masih menyaksikan masa di mana Eropa Selatan diperintah bangsanya. Tapi ia jemu akan semua itu, ia bertanya kepada dirinya sendiri, apa di seberang sana?
Lalu ia meninggalkan tempat itu sambil tak henti menoleh ke belakang, Maroko, tanah bangsa Berber, tempat sapi dan domba merumput.
Ia tiba di Cirebon, kemudian berkelana menjelajah kota-kota di Jawa. Saya bertanya kepada diri sendiri. Kuburnya di mana-mana, bahkan di ruang yang paling tersembunyi –di bagian belakang Masjid Agung Demak. Selain di Cirebon, kuburnya memiliki banyak versi: Banten, Batang, Pekalongan, Boyolali, Klaten, Yogyakarta, Tuban. Dan itu semua diyakini.
Aneh dan membingungkan. Tapi bukan itu yang mengusik kepala saya, mana kubur mana petilasan. Bagi saya, itu jadi tidak penting, percuma mencari keterangan hal itu, meski kita akan menemukannya dalam banyak publikasi yang beredar. Tapi, argumennya tetap sama: simpang siur.
Apa yang dibawanya dari seberang samudra? Ia menyusuri negeri barunya, berkeliling (ini juga yang menyebabkan batu nisannya tersebar sana-sini) menyeru Tuhan dan surga, lalu diangkat jadi anggota wali sembilan periode pertama.
Seperti saya tegaskan sebelumnya, makam Seh Maghribi seperti jamur di musim basah, ada di mana-mana. Makamnya di Jogja menghadap laut, dekat pantai Parangtritis, persisnya di bukit sebelah selatan cungkup Seh Belabelu. Dan berdasarkan silsilah garis keturunan yang tertera di makam, ia dikukuhkan sebagai “Sang Penurun Raja Jawa” puak kraton. Ki Ageng Getas Pendawa, Ki Ageng Selo, Ki Gede Pemanahan, Panembahan Senopati, Sultan Agung, dan seterusnya adalah keluarga yang mengikuti trahnya.
Apakah ini menunjukkan kraton Jogja lebih Islam? Tidak. Bisa saja silsilah panjang dibuat untuk hal sebaliknya. Menutup sisi kelam.
Di Jatinom, Klaten, ia tiba-tiba jadi Ki Ageng Gribig. Soalnya sepele, dan saya menganggap ini bual-bual. Kedua nama itu (Gribig dan Maghribi) punya kemiripan, sehingga bisa disebut Gribig berasal dari nama Maghribi, Ghribi. Bagi saya, penjelasan semacam ini sama sekali tak membangkitkan kekaguman dalam hati, ini agak merepotkan. Meski tiap tahun di sana, ia dimuliakan dengan upacara Yaqowiyu.
Bayangkan saja, dalam catatan Klaten, di sana dijelaskan. Ada beberapa. Tiga versi malah. Dan itu membuat saya, bahkan siapa pun, pusing. Jadi bingung. Ceritanya yang bertumpuk-tumpuk, seperti ingin mencampuradukkan. Lihat saja sendiri, saya akan menuliskannya lagi di bawah ini.
Menurut cerita pertama, Prabu Brawijaya mempunyai anak dari Putri Campa, Raden Guntur. Putra raja itu kemudian pergi ke Ujung Hawar-Hawar, Tuban, dan mengganti namanya jadi Ki Hajar Wasi Jolodoro. Suatu hari ia didatangi Sunan Bonang, lalu tertarik masuk Islam. Setelah itu, setelah jadi Wasibagno I, ia bermukim di Ngibig, masih daerah Tuban. Selang beberapa saat, ia digantikan Seh Penganti (Wasibagno II), putranya.Wasibagno II beralih ke Kyai Fakir Miskin (Wasibagno III). Baru setelahnya muncul Ki Ageng Gribig, pemuda yang diambil mantu Sunan Giri, sedangkan anak kedua tak diketahui namanya tapi dalam teks itu dinikahkan dengan anak Batara Katong. Sejak Ki Ageng Gribig tak ada, Wasibagno Timur menggantikannya dan memutuskan budal ke Jatinom. Di desa baru itu, ia mulai dipanggil Ki Ageng Gribig II. Dengan kata lain, Gribig adalah penghormatan keturunan Giri yang tinggal di Ngibig. Giri Ngibig ya Gribig. Apa artinya? Tak ada yang lebih pasti dari tahi lalat sendiri.
Cerita kedua agak lebih ringkas, Ki Ageng Gribig disebut keturunan ketiga Brawijaya, dari jalur Ki Ngujung Pawar-pawar, Penganti Bagno, dan Seh Wasibagno –inilah yang dikenal dengan Ki Ageng Gribig. Cerita ketiga mencatat Ki Ageng Gribig adalah keturunan kedua Brawijaya, dari Joko Dolok, dari putra yang keseratus satu, dan usai menikahi Raden Ayu Ledah, putri Sunan Giri. Ia tinggal di Ngibig dipanggil Ki Ageng Gribig. Seh Wasibagno, anaknya, adalah Ki Ageng Gribig Jatinom ini.
Membingungkan?
Izinkan saya tidak menulis seluruh versi ceritanya, begitu beragamnya, betapa menyulitkan. Dan saya tak tahu lagi apa yang harus dikatakan. Tapi kesan pertama tak terhapus dan justru membuat saya lebih kepikiran adalah…
Tatkala ia bersitegang dengan ruh Seh Lemahabang.
Lemahabang telah naik ke surga.
Tapi badannya kembali ke masjid.
Maka Seh Maghribi marah. Ia ambil pedang dan menebasnya. Tapi tak mempan. Ia tambah geram dan mengatakan. “Lemahabang, kau bilang rela mati. Tapi tubuhmu kebal bagai besi. Bukankah itu bohong?” Lalu Seh Maghribi menikamnya berkali-kali dan Lemahabang tetap tegak berdiri. Hanya ada sedikit luka di tubuhnya. Dan ia kian membencinya. “Itu lukanya orang jahat, mengapa terluka tapi darahnya tak muncrat?” katanya. Seketika keluarlah darah merah dari bekas luka-luka di tubuh Lemahabang. Seh Maghribi masih berang. “Itu lukanya orang biasa, bukan kawula gusti, darah yang keluar berwarna merah, harusnya putih.” Tiba-tiba darah merah itu berubah putih. Seh Maghribi menimpalinya lagi. “Ini seperti kematian pohon saja, keluar getah. Kalau kau betul insan kamil, mestinya masuk surga dengan badan wadagmu, manunggaling kawula gusti, tak terpisah. Tinunggil.”
Dan dalam sekejap, tubuh Lemahabang lenyap, darahnya sirna. Lalu diceritakan bahwa Seh Maghribi membuat muslihat biar Lemahabang pantas dibenci. Ia bunuh seekor anjing dekil kemudian membungkusnya dengan kafan putih, dan itu diumumkannya ke khalayak ramai, “Ini akibat orang yang menolak syariat, mayatnya berubah jadi anjing kurap,” ujarnya. Lalu api besar membakar anjing itu.
Itu saya nukil dari Babad Jawa. Bahkan Babad Cirebon dan Naskah Mertasinga (asal desa kakek dari ibu saya) pun sama menempatkan Seh Maghribi pada situasi sulit seperti itu. Ia jadi penentang utama Lemahabang.
Setelah mendengar jawaban Lemahabang yang menghentak: Akulah Allah, tak ada dua dan tiganya, di mana lagi ada yang namanya Allah selain aku. Seh Maghribi berkata memotong. “Itu tubuh kasarmu, mustahil Allah berbentuk. Kau, Lemahabang, akan mendapat hukuman kalau masih berpikir seperti itu.”
Dan Seh Maghribi sungguh menghukumnya. Dan karena sikap “kaku”nya itu ia jadi patron orang Muhammadiyah. “Ia imam panutan bagi kami, orang-orang Jawa Mataraman,” kata teman saya yang mengaku Muhammadiyah.[]
| Penikmat sejarah, pecinta senja. Tinggal di Cirebon. Beberapa karyanya telah dibukukan. Antara lain: Teror.
Tinggalkan Balasan