Seh Malaya

Agus Rois |

Lir-ilir, lir-ilir, tandure wis sumilir

Rak ijo royo-royo, dak sengguh temanten anyar

Cah angon, cah angon, penekno blimbing kuwi

Lunyu-lunyu penekno kanggu basuh dodotiro

Dodotiro-dodotiro, kumitir bedhah ing pinggir

Dondomono jlumatono kanggo seba mengko sore

Mumpung jembar kalangane, mumpung padhang rembulane

Ya surako surak horeeee!

Ketika nenek mendendangkan lagu dolanan “Lir-ilir” itu usia saya belum genap enam tahun. Lagu itu sering dinyanyikannya lamat-lamat sebelum kami, saya dan adik saya Harish, tidur, kadang jadi pungkasan dongengnya malam itu. Pernah kami dimintanya untuk mengapalkan Lir-ilir, tapi selalu gagal. Waktu itu, saya tak begitu memikirkan lagu siapa dan tak mengerti maknanya. Nenek cuma bilang, “Ini lagu Kanjeng Sunan Kalijaga.”

Saya, yang berumur lima tahun, tak pernah tahu Sunan Kalijaga. Tak sadar bila ia Pangeran Tuban, putra Tumenggung Wilatikta, yang rela berjalan jauh sampai Gunung Jati, tempat kami yang kecil dan lengang di pesisir utara Jawa Barat. Bahkan saya tak memperhatikan nama sebenarnya ialah Raden Said, keturunan pembesar Majapahit, dan pernah jadi “gento” rampok dan orang memanggilnya Brandal Lokajaya dan ia sempat bangga dengan julukan itu, yang begitu dipuja-puja orang Jawa.

Juga saya belum tahu bahwa Sunan Kalijaga “reizende muballigh” wali keliling atau Seh Malaya, atau orang Demak-Mataram menyebutnya “guru agung setanah Jawa.” Ia pernah mengalami perjalanan spiritual yang dahsyat di Kalijaga, Cirebon, dan ketika kembali ke Demak diberi gelar Sunan Kalijaga.

Yang paling saya ingat. Di belakang rumah nenek, ada pohon belimbing besar dan saya suka memanjatnya bila sedang berbuah banyak. Dan tiap kali itu pula, di dahan yang kuat, sambil duduk nangkring, saya menggumamkan kembali “Lir-ilir” hingga tiga baris pertama.

Lir-ilir, lir-ilir, tandure wis sumilir

Tak ijo royo-royo, dak sengguh temanten anyar

Cah angon, cah angon, penekno blimbing kuwi

Lunyu-lunyu…

Sebab, hanya itu yang bisa dihapal. Rumah saya terletak di daerah tua di Cirebon, Kerajaan Singapura. Tak sampai 90 meter dari rumah, di antara jalan yang dibuat Gubernur Daendels, ada bioskop, ada rumah orang-orang Cina. Satu dua tiga kali kadang ibu, bila ada film yang disukanya, mengajak saya nonton bioskop. Saya masih ingat, ketika film Saur Sepuh Satria Madangkara diputar tahun itu juga, 1988, bioskop selalu penuh dalam satu minggu, orang datang dari mana-mana. Tapi sejauh itu, saya belum nonton film Sunan Kalijaga. Baru, pada hari-hari berikutnya, ketika usia saya tujuh tahun, saya dan teman-teman kecil suka pergi ke tempat hajatan yang memutar video semalam suntuk. Saya menontonnya untuk kali pertama.

Seorang pemuda melihat orang-orang di tempatnya hidup amat sengsara, waktu itu kemarau begitu panjang datangnya, tapi sejumlah bangsawan masih hidup berfoya-foya. Para pejabat kadipaten menarik upeti dengan semena-mena. Di jalan-jalan, di rumah-rumah, mayat orang kelaparan bergelimpangan. Para pemuka agama acuh. Ia tak tahan melihat derita itu.

Maka, di malam hari, ia diam-diam mengambil makanan di gudang kadipaten milik ayahnya dan membagi-bagikannya kepada orang-orang lapar. Tapi, ia kemudian dihukum dan diusir sebab perbuatannya: maling. Akhirnya anak ningrat itu keluar kori istana, dan, masuk hutan Jatiwangi, ia putuskan tinggal dan jadi begal. Ia tak lagi terikat adat kaum elite, kini ia orang mursal.

Konon di hutan sebelum Lasem itu, tapi di Majalengka (Cirebon) yang namanya disinggung beberapa kali dalam Babad Demak Pesisiran ada hutan Jatiwangi, ia buang nama aslinya. Ia menyebut dirinya Lokajaya. Sejak itu, banyak orang yang melintas dicegatnya, orang dipaksa menyerahkan bawaan mereka, dirampas uangnya, dirampok harta bendanya. Dan hampir tak ada yang berani melawan, sebab percuma, ia amat sakti. Orang-orang kecil mengelu-elukan namanya. Ia dianggap “maling budiman” penguasa wilayah. Sementara saudagar kaya yang takut hartanya dirampas menyebutnya “raja tega.” Babad Jaka Tingkir, yang jadi teks utama Nancy K. Florida dalam menulis disertasi Menyurat yang Silam Menggurat yang Menjelang, menyebut Said merampok bukan karena memang “maling budiman,” tapi betul-betul garong bajingan.

Lalu terjadilah peristiwa yang mengubah jalan hidupnya: pertemuannya dengan lelaki tua, di kemudian hari kita mengenalnya sebagai Sunan Bonang. Ia memakai jubah putih, memegang tongkat yang gagangnya berkilau bagaikan emas. Lokajaya menunggu dibalik semak, ingin merebut tongkat itu. Bertekad mengompasnya. Tapi, ketika berhasil diambilnya, hanya kayu biasa, bukan barang berharga. Di lemparnya tongkat ke tanah sambil mendengus sebal. “Aku perlu uang, perhiasan, atau emas. Bukan kayu.”

Lelaki itu mengambil tongkatnya lalu menudingkan ke pohon aren di hadapannya. Seketika daun dan buah aren berubah jadi emas. Lokajaya bergegas mendekati dan memanjat pohon aren. Tapi belum sampai memetik buahnya, pohon kembali ke semula, buah-buah hijau jatuh menimpa kepalanya. Ia baru sadar ketika lelaki itu sudah berjalan jauh, ia mengejarnya lalu bersimpuh di muka lelaki tua setelah berhasil menyusulnya, dan menyatakan ingin berguru.

“Baiklah, jika itu maumu,” kata lelaki itu sambil menancapkan tongkatnya di tepian sungai. “Tungguilah tongkatku sampai aku datang lagi ke tempat ini.” Maka, brandal kalah itu pun menunggu selama bertahun-tahun, ia terus menunggui tongkat itu hingga tidak terasa akar-akaran hampir meliputi seluruh tubuhnya. Ia seolah-olah menjaga kali yang mengalir depan matanya. Kalijaga, kemudian orang menyebutnya.

Itulah gambaran sangat terkenal Kalijaga dalam film yang rilis tahun 1983. Saya baca Serat Lokajaya, di sana dikisahkan. Setelah lari dari Tuban, Tuban masanya adalah bandar besar selain Gresik. “Ia sembunyi di balik rimba, bila ada orang lewat, dirampok dan dibunuhnya. Kebetulan, pada suatu hari, di tengah hutan ia lihat seorang sedang berjalan. Hatinya senang karena pakaian pria itu amat gemerlapan. Maka di dekatinya untuk dirampoknya. Tapi Sunan Bonang tahu niatnya. Ia keluarkan kesaktian, menjelma jadi lima. Semua sama rupanya. Mereka mengepung Lokajaya dan Lokajaya lari meloloskan diri. Tapi kemanapun ia pergi, kelima sosok itu selalu menghadangnya.”

“Lokajaya menuju ke barat di kejarnya, ke timur dipukul. Ke selatan dipukul. Ke utara juga dijaga. Mati kutulah Lokajaya. Ia terduduk lemah. Sunan Bonang mendekat. Dan Lokajaya ketakutan lalu bertaubat, ingat kepada Hyang Widhi. “Hamba berserah diri kepada paduka.” “Kamu bertobat kepadaku?” “Ya tuan, hamba minta hidup, terserah tuan, hamba menurut.” “Jangan pergi kamu. Tunggulah tongkat saya ini. Sama sekali kamu jangan pergi, bila saya belum datang.” “Baik tuan,” jawab Lokajaya. Sunan Bonang kemudian pulang ke desanya. Lokajaya ditinggal.”

Juga dalam Serat Lokajaya disebutkan jawaban lanjutan Sang Lokajaya. “Baiklah, aku akan menunggui. Sesudah satu tahun lamanya menunggui kayu gurda, kemudian ia disuruh diam di tengah hutan. Setahun berhalwat kemudian dicari Sunan Bonang. Ia disuruh berpindah di Kalijaga, Cirebon, karena itulah ia bergelar Kalijaga. Tidak boleh tidur serta makan setahun lamanya, dan, oleh Sunan Bonang ditinggal ke Mekah. Raden Lokajaya tak pergi-pergi.”

Itu juga yang disampaikan Babad Tanah Jawa. Ia berguru kepada saudaranya, Sunan Ampel dan Sunan Bonang, di masa mudanya. Dan, suatu saat, masih di abad kelima belas, Sunan Bonang memerintahkannya untuk menuju Cirebon berguru pada Sunan Gunung Jati dan Seh Lemahabang atau Siti Jenar. Bertapa dipinggiran sungai di daerah bernama Kalijaga. Masih tak percaya bahwa Kalijaga di Cirebon, saya membolak-balik Babad Demak Pesisiran, saya baca Pupuh Asmara ke-36, di sana disebutkan: Raden Said pernah diam di Kalijaga lalu ia diperintahkan jadi satria pinilih di Indramayu dan Pamanukan. Setelah itu ia ke Pulau Upih, Malaya. Sebelum kembali ke Demak.

Catatan yang sama, bahwa ia menetap beberapa tahun di Kalijaga, Cirebon, saya temukan dalam buku Hoesein Djajadiningrat Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten. Lalu, Serat Walisanga karya Sadu Budi. Serat Seh Malaya koleksi Museum Sonopustaka. Kitab Wali Sepuluh oleh penerbit Tan Khoen Swie. Dan tentunya Babad Cirebon/Babad Tanah Sunda dan Purwaka Tjaruban Nagari yang ditulis Pangeran Arya Tjarbon pada 1720. 

Dalam Purwaka Tjaruban Nagari dan Babad Cirebon, ia dicatat dengan nama Lokacaya dan bermaksud jadi murid Sunan Gunung Jati. Ia minta diwejangi “manusia sempurna” syahadat sejati. Tapi Sunan Gunung Jati melihat seharusnya Nabi Khidir yang memberinya nasihat itu, bukan dia. Lalu dibawanya Lokacaya, ada yang menyebutnya Pangeran Jayaprana, ke tempat sunyi. Di sana, ia diminta bertapa seratus hari. Di hari keseratus, dan ketika lakunya akan selesai, ia tercebur ke dalam sungai. Tapi ia merasa tubuhnya dihela ombak, ia seolah jatuh ke dasar samudera. Di tempat yang paling hening, di keluasan tanpa tepi itu ia melihat Khidir dan mendapatkan weling darinya.

Catatan lebih panjang tentang wejangan Khidir kepada Kalijaga dapat kita baca dalam Suluk Linglung Sunan Kalijaga yang ditulis Iman Anom 1884. Tapi patut diingat, antara 1793 dan 1803, sang pujangga Yasadipura I telah menyelesaikan kisah Dewaruci, di Surakarta. Cerita keduanya jadi menarik karena amat mirip, hanya tokoh utamanya saja sudah diubah. Namun karangan pujangga kraton itu juga punya kesamaan dengan cerita Nawaruci yang ditulis oleh Syiwamurti, pendeta Hindu-Budha yang ampuh, tahun 1613.

Kisah ini, Dewaruci gubahan Yasadipura I, yang saya ingat amat masyhur di kalangan orang Jawa, yang saya pahami kemudian jadi pusat mistisisme kejawen. Manunggaling kawula lan gusti. Bahwa untuk mendapatkan pencerahan, mengenal Tuhan, seorang cukup “mawas diri” memasuki diri sendiri. Ini terdengar mustahil tapi orang banyak tak putus-putusnya meyakini.

Suluk Linglung berkisah perjumpaan Kalijaga dengan Khidir di tengah samudera. Kisah ini, bagi sebagian orang, merupakan sejarah utama memahami “dunia batin” Kalijaga. Adalah puncak perjalanan ruhani Seh Malaya. Arya Tjarbon dan Iman Anom memindahkan sosok Nawaruci jadi Khidir dan Wrekodara jadi Seh Malaya. Dan inilah pengalaman ruhani Seh Malaya yang menakjubkan di dalam diri Khidir di tengah samudera, di antara relung-relung cahaya.

Yang dibuka dengan titah Bonang kepada Seh Malaya. Ini ucapannya, “Muridku ketahuilah olehmu, jika kamu ingin mendapatkan pengetahuan yang bersifat hidayatullah, berhajilah, pergilah ke Baitullah di Mekah dengan hati tulus ikhlas. Ambillah air zam-zam di Mekah…” Dan Seh Malaya, “mengerjakan apa yang dianjurkan gurunya, pergi ke tanah suci, berharap hidayah ilahi.”

Konon, saat akan beribadah haji ke Mekah itu, ia menempuh jalan pintas, ia terhalang oleh samudera luas. Hatinya bingung, pikirannya linglung. Mekah ada di seberang. Di depannya semata laut biru terbentang. Ia tercekat lama. Akhirnya, ia turun melangkahkan kakinya, ia berenang ke lautan maha luas, tak mempedulikan nasibnya yang bisa saja naas. Kian lama kian jauh, dan setelah sampai tengah samudera ia melihat seorang berjalan di atas air. Sosok yang penuh perbawa itu tiba-tiba bertanya kepadanya.

“Hai Seh Malaya apakah tujuanmu mendatangi tempat ini? Apa yang kau harap? Di sini tak ada apa-apa. Tak ada yang bisa dibuktikan, apalagi buat dimakan, bahkan untuk berpakaian tak ada. Hanya daun kering tertiup angin, jatuh di depanku, itu yang bisa dimakan, kalau tak ada maka tak makan. Senangkah kamu mendengar itu?” Seh Malaya jadi heran.

Tapi belum selesai keheranannya, lelaki tua yang belum dikenalnya itu kembali menegurnya, “Di sini banyak bahayanya, di tempat ini segalanya tak ada yang dapat diharapkan hasilnya. Mengandalkan pikiranmu saja masih belum apa-apa, padahal kau tak takut mati. Kutegaskan sekali lagi, di sini tak mungkin mendapatkan apa yang kau maksudkan.”

Seh Malaya bingung, tekadnya kendor, ia gamang. “Apa kamu mengharapkan hidayatullah, petunjuk Allah?” tanya lelaki tua itu. Seh Malaya hanya bisa mengangguk pelan. “Kalau begitu, ikutlah petunjukku sekarang,” ujar lelaki itu. “Menjalankan petunjuk gurumu, Sunan Bonang, untuk pergi haji ke Mekah, itu sungguh sulit. Ketahuilah olehmu, jangan pergi kalau belum tahu yang kautuju. Lebih jelasnya, bila belum yakin betul kepada siapa yang harus disembah, jangan mendatanginya. Tapi bila telah jelas, laksanakanlah. Sesungguhnya, aku ini Khidir.”

Mendengar itu Seh Malaya menghatur hormat. Kemudian Khidir berkata kepadanya. “Jika kamu berkehendak naik haji ke Mekah, kamu harus tahu tujuan yang sebenarnya menuju ke Mekah. Ketahuilah, Mekah hanya tapak tilas saja. Bekas tinggal Nabi Ibrahim zaman dulu. Dia yang membuat bangunan Ka’bah itu, yang menghiasi Ka’bah dengan batu hitam, hajar aswad. Apakah Ka’bah itu yang hendak kamu sembah? Kalau itu niatmu maka kamu sama halnya para penyembah berhala.”

“Perbuatanmu itu tak jauh beda dengan orang kafir, hanya menduga-duga saja wujud Allah yang disembah, yang senantiasa menghadap kepada berhalanya. Dan, biarpun kamu sudah berhaji tapi belum tahu tujuan sebenarnya dari haji, kamu akan rugi besar. Maka ketahuilah Ka’bah yang sedang kautuju itu bukan yang terbuat dari tanah, kayu, batu. Tetapi Ka’bah yang hendak kau kunjungi ialah Ka’batullah. Inilah yang harus kamu yakinkan dalam hati.”

Tiba-tiba Khidir memerintahnya. “Kemarilah, masuklah ke dalam tubuhku.” Seh Malaya terhenyak hatinya, menjadi agak ragu, dan ia pun bertanya, “Melalui jalan mana saya harus masuk, padahal saya tinggi besar melebihi tubuh Tuan, tampak oleh saya buntu semua.” Khidir memangkas keraguan Seh Malaya buat memasuki tubuhnya dengan ungkapan penuh kelembutan. “Besar mana kamu dengan bumi dan semua isinya? Hutan rimba, lautan, dan gunung-gunung tak bakal penuh bila dimasukkan ke dalam tubuhku. Jangan khawatir tak cukup. Kau, manusia, kecil. Masuklah lewat lubang telingaku ini.”

Seh Malaya ketakutan mendengarnya. Ia pun masuk lewat telinganya. Dan ketika sudah di dalam tubuh itu, ia lihat samudera tanpa tepi. Alam raya, angkasa luas kosong sepi. Bait-bait selanjutnya dalam Suluk Linglung menggambarkan relung-relung cahaya. “Jangan sekadar berjalan, lihatlah sungguh-sungguh apa yang kelihatan,” ungkap Khidir kepada Seh Malaya. “Saya melihat empat macam warna, yaitu hitam, merah, kuning, putih.”

Berkata Khidir. “Yang pertama kau lihat cahaya, mencorong tapi tak tahu namanya itu adalah pancamaya, pancamaya yang indah itu disebut mukasyafah bila mampu membimbingmu ke dalam sifat-sifat terpuji. Adapun yang kuning, merah, hitam, putih, ialah penghalang hati, dan bila kau mampu menjauhi itu pasti dapat berkumpul dengan hal gaib. Hati yang tiga macam, hitam merah kuning, menghalangi pikiran dan kehendak untuk menyatu dengan Tuhan. Perlu diingat, hitam menggambarkan kemarahan, dendam, dan angkara murka. Ia menutup kepada kebajikan. Yang merah, itu nafsu yang tidak baik, membuatmu mudah emosi. Adapun yang kuning, seseorang masih suka membuat kerusakan, meski sebenarnya bisa menjadikan yang baik semakin baik. Tapi yang putih itulah yang sebenarnya, yang membuat hati tenang, bisa membawa dalam kedamaian.”

Setelah hilang warna yang empat, muncul cahaya delapan warna. Seh Malaya bertanya, “Apa namanya? Ada yang seperti ratna berkilauan, ada yang berubah-ubah warna dan menyambar-nyambar, ada yang berkilat tajam sinarnya seperti permata, ada yang cahayanya terang benderang, ada cahaya kuning yang timbul tenggelam, ada yang melingkar mirip pelangi, dan seterusnya. Apakah itu yang dimaksud cahaya-cahaya ketuhanan?”

Khidir menjawab, “Sang permana sebutannya.” Selanjutnya ia menjelaskan tentang syahadat jati, jisim latip, ruh idhofi, filosofi alif, sangkan paraning dumadi, dan manunggaling kawula gusti. Tapi sesudahnya Seh Malaya diweling Khidir: “Jangan sekali-kali dirimu menganggap sebagai Allah. Dan jangan pula menganggap sebagai Rasulullah.”

“Insan kamil itu berasal dari zat Allah,” sambung Khidir. “Dan sesungguhnya hal-hal gaib itu telah tersurat, jadi ketentuan Allah. Dan orang disebut “manusia sempurna” insan kamil, jika mengetahui keberadaan Allah. Menyatulah dengan Allah, di dunia dan di akherat. Dan orang harus merasa bahwa Allah ada dalam dirinya. Makrifat itulah sebutannya. Hidupnya disebut syahadat, dan salat sebagai penghiasnya. Dan perasaan takut itulah yang disebut sekarat. Ruh idhofi tak akan mati: hidup mati, mati hidup.”

“Itu artinya mati di dalam hidup. Atau hidup di dalam mati. Abadi. Yang mati itu nafsunya. Lahiriahnya yang mati. Hai Seh Malaya, terimalah ajaranku ini dengan senang hati. Tak ada lagi yang perlu kautuju. Selesai. Tak ada lagi yang diharapkan dengan keperwiraanmu, kini kesaktian sudah berlalu, sudah tak penting.” Ujar Khidir. Maka habislah wejangan Khidir kepada Seh Malaya. Dan Seh Malaya mendapatkan pencerahannya, ia sudah jadi manusia “mawas diri” yang menyebarkan bau wangi kesturi. Ia sempat tak ingin keluar dari tubuh Khidir, karena telah merasa nyama di sana, tapi Khidir segera memperingatkan. “Kembali kamu ke Pulau Jawa. Bukankah kau sebenarnya mencari dirimu juga?” Mendengar itu, ia bergegas pergi. Toh hatinya tak goyah lagi.

Itulah isi Suluk Linglung, di mana batas antara manusia dan Tuhan tetap jelas. Dan jangan pernah mengaku Tuhan. Ajaran Seh Malaya seperti termaktub dalam Suluk Linglung, juga kita jumpai sepintas lalu dalam Serat Walisana, Boekoe Siti Djenar Ingkang Toelen, Serat Kandhaning Ringgit Purwa. Dan cerita-cerita itu berakhir dengan urungnya niat ke Mekah dan memilih kembali ke Jawa membangun masjid-masjid daripada sekadar melihat Ka’bah, yang jika sulit melupakannya justru jadi kafir, seperti diserukan Seh Maghribi.

Dan kita tahu, bagaimana keramatnya ketika membangun Masjid Demak (1479) dan Masjid Sang Ciptarasa Cirebon (1489), cerita saka tatal yang terkenal. Tapi saya tak akan berkisah banyak potongan-potongan kayu yang diikatsambung untuk tiang Masjid Demak dan Masjid Ciptarasa. Saya lebih ingin masuk ke dalam cerita-cerita setelahnya. Dalam semesta Demak dan Mataram, setelah Masjid Demak berdiri, Sunan Giri meminta pembukaannya dilakukan dengan salat Jumat, Sunan Bonang menjadi imamnya. Sebab dari peristiwa inilah kemudian muncul benda-benda yang dianggap dihadiahkan Nabi Muhammad kepada Sunan Kalijaga, seperti jubah Antakusuma dan baju Kiai Gondil yang terbuat dari kulit kambing, dan diakui bertuah bagi pengikutnya.

Itu yang terjadi, dan saya tak punya penjelasannya. Dan saya tak punya ruang untuk bertutur tentang Antakusuma dan Kiai Gondil. Bagaimana ia bisa terbang, menurunkan hujan dengan hentakan kaki, mengurung petir di dalam Masjid Demak, dan mampu menghidupkan kembali Anom, keponakannya, anak Mpu Supa yang mati tercebur di kolam. Juga kisah keris Kiai Sengkelat, keris yang katanya hanya pantas dipakai seorang raja yang menguasai Pulau Jawa, yang beradu tanding di udara dengan keris Condongcampur, pusaka andalan Majapahit.

Sementara tutur Cirebon dan sejumlah buku, ceritanya bertolak belakang, tidak jatuh dalam klenik. Dalam Naskah Mertasinga, asal tempat saya, misalnya, disebutkan bahwa saka guru Masjid Ciptarasa didapat dari Raja Nurullah Mesir, adik Sunan Gunung Jati; Sarifah Baghdad juga asal Mesir; Seh Datul Kahfi; satu lagi rencananya dibawa dari Pasai oleh Seh Bentong. Waktu itu, sejumlah wali sengaja datang ke Cirebon sebagaimana mereka ikut hadir dalam pembuatan Masjid Demak. Tapi ketika para wali sudah tiba, kayu dari Pasai masih tak jelas sampai mana. Lalu sebagai gantinya, Sunan Kali membuat saka tatal dengan kesaktiannya. Dan setelah selesai, tiang bikinannya dianggap sama kuat dengan tiang-tiang utama lain, ia menyampaikan ajaran tentang empat tingkatan dalam tasawuf.

Bahkan, karya babad di Cirebon menyebutkan, “tamu agung dari timur” ikut membangun tembok yang mengelilingi Kraton Cirebon, kutha mazhab empat. Ia mendapat bagian sisi selatan. “Sunan Kalijaga menyanggupi membangun tembok sebelah selatan, dan ia tanam emas untuk kekuatannya, bila ada orang jahat mendekat maka akan menemui ajal, sekarat. Kalau macan yang datang, macan akan mati. Bila ada musuh muncul dari selatan, jangan lalai, bersiaplah. Mereka akan musnah dan sempurnalah keselamatanmu.” Sementara tiga tembok lain dibangun Sunan Gunung Jati, Seh Magelung, dan Nyi Mas Gandasari. Sejarah mencatat, kutha yang dikelilingi tembok dan disebut kutha bacingah itu kemudian diikuti Panembahan Senopati saat membangun Kotagede.

Juga disebutkan, waktu didaulat jadi imam Jumat, bacaan surahnya dilakukan tak ubahnya menyanyikan Dandanggula. Salah seorang makmum, Pangeran Makdum yang fasih Quran, jadi sangsi salatnya sah, dan menganggap Quran harus dibaca dengan lidah Arab sana. Lalu mengulang Jumatnya dengan salat duhur sendiri, dan setelah semua selesai Kalijaga berkata: “Siapa yang tadi salat denganku kepalanya ada najis, batal salatnya, tak lulus kewaliannya.” Setiap jamaah yang makmum membuka tutup kepalanya dan meraba-rabanya. Begitu juga Pangeran Makdum, dan amat kaget ketika menemukan bangkai cicak sebesar kelingking di destarnya. Kalijaga menghampiri pemuda itu dan berkata: “Pangeran Makdum, tadi kamu jadi makmum saya, dalam hatimu ada syak. Maka batal salatmu, tak lulus kewalianmu. Tapi meski demikian kamu masih mendapatkan sak dumdumane atau sebagian dari wali, itu pun harus disertai tobat.”

Saya kira itu kisah menarik atas peran Kalijaga tatkala pembangunan Masjid Ciptarasa. Ia tampil sebagai orang biasa. Pangeran Makdum, Pangeran Drajat, Pangeran Welang, dan Pangeran Kajoran kemudian menerima dawuh Sunan Gunung Jati bahwa, “mereka belum mencapai derajat kewalian secara sempurna.”

Catatan tua lain, Naskah Klayan, dari desa sebelah, menyebutkan bahwa Sunan Gunung Jati baru datang dari negeri jauh membawa batu mukkadas dari kota suci Yerusalem serta peta Mekah untuk jadi contoh pembuatan Masjid Ciptarasa. Pangeran Tuban hendak menyembah Syarif Hidayatullah tapi ditampiknya. Ia menghindar dan langsung merangkulnya. Pangeran Tuban lalu menyerahkan Jimat Kalimasodo. Setelah dibaca, bunyinya sama dengan kalimat syahadat. Tapi satu kertas lagi yang diserahkannya tak tampak tulisan. Sebenarnya ada, cuma Pangeran Tuban yang bisa melihat. Kertas itu berisi tentang pangkat dan sebutan para wali.

Syarif Hidayatullah bergelar Kanjeng Sinuhun Cirebon. Seh Giri Gajah bergelar Sultan Giri Gajah. Seh Kamarullah bergelar Sunan Bonang. Ki Cakrabuana bergelar Sunan Jelang. Seh Bentong bergelar Suhunan Bentong. Seh Nusakambangan bergelar Sunan Kudus. Pangeran Kendal bergelar Suhunan Karangkendal atau Suhunan Kedaton. Pangeran Panjunan bergelar Suhunan Sasmita. Pangeran Kajoran bergelar Suhunan Kejamus atau Pangeran Kejaksan. Sedangkan wali penutup, Sunan Kalijaga, bergelar Suhunan Adi. Sesudah itu dituliskan di papan semua jadi senang. Kecuali Pangeran Makdum, ia tak bergelar.

Begitulah kami di Cirebon menaruh pribadinya. Manusia yang terbuat dari darah dan daging yang sama. Kami menyebutnya Pangeran Tuban, Sunan Kalijaga, Seh Malaya. Dan ia kami panggil Seh Malaya sebab suka mengembara. Ia betul-betul tak mau menggantikan ayahnya sebagai Adipati Tuban. Ia memilih menjadi pejalan. Berkeliling tanah Jawa, bahkan sempat ke Sumatra berguru pada Seh Sutabaris dan orang-orang suci Upih dan Pasai. Tapi tidak ada catatan “resmi” tentang lawatannya ke Palembang. Konon, dalam perjalanannya itu, ia pun sampai Patani. Dia pangeran tapi menjauhkan diri dari kesenangan duniawi. Dan, panggilan Seh Malaya, selain mubalig sana-sini, juga berarti “mematikan nafsu diri”.

Itu sebabnya, karena harus berkelana ke daerah-daerah, ia piawai dalam banyak hal, nyaris semua teknik dakwah dikuasainya. Ia menggunakan pelbagai cara agar rakyat paham apa itu Islam, ia tak langsung menyebut praktik-praktik Hindu-Budha sebagai bidah, ia bahkan mau mempertahankan warisan mereka dalam banyak hal. Baginya, apa untungnya benci kepada adat yang sudah lama ada. Ia hanya perlu membuat tamsil-tamsil, perlambang baru. Dan, ia diterima hampir seluruh kalangan karena sikapnya itu. Meski tergolong wali termuda antara dewan wali. Ia memunculkan banyak wali nukbah –Sunan Bayat, Sunan Geseng, Ki Ageng Selo, Mpu Supa dan kedua anaknya Sunan Muria, hasil perkawinan dengan Dewi Saroh, anak Seh Maulana Ishak (disebut dalam Babad Demak). Dan Sunan Panggung, hasil perkawinan dengan Siti Zaenab putri Seh Lemahabang, yang dihukum mati dengan cara dibakar (disebut dalam teks-teks Cirebon).

Setelah peristiwa besar itu, yang betul-betul “mensucikan” mengubah garis takdirnya, kami di Cirebon juga menyebutnya Sunan Kali. Dan, karena kesukaannya mendongeng keliling sampai pelosok-pelosok yang sepi, kami menjulukinya Ki Dalang Sida Brangti. Tempat tapanya yang bernama Kalijaga, yang banyak ditumbuhi pohon-pohon dan dihuni kera-kera, sampai sekarang masih, tetap tampak angker meski telah dikelilingi rumah-rumah penduduk. Letaknya barat Kali Sipadu, sekira satu kilometer arah terminal Harjamukti. Seperti halnya tempat wingit lain di Cirebon, petilasan Kalijaga dibatasi kuta kosod –susunan bata merah, dan dari bentuknya diduga dibangun abad ke-17 oleh keturunannya asal Mataram. Pasarean ini dilalui dua aliran sungai kecil, Kali Simandung dan Kali Masjid, yang alirannya bertemu di Kali Cawang. Dekat Kali Simandung terdapat makam Seh Kotim, muridnya, dan makam lainnya. Di sisi lain dari tempat itu, terdapat langgar dan sumur kuno. Sementara bekas alas duduknya di balik lawang bacem ditutup kelambu.

Sementara mengenai dirinya kalangan mistik kejawen Jawa mengaitkan nama Kalijaga dan kesukaannya “kungkum” berendam di kali, sehingga tampak seperti orang “jaga kali”. Para penghayat lain, dan ini pendapat paling populer dan dianggap mendekati kebenaran, yakin bahwa Pangeran Tuban pernah tapa di pinggir kali 10 tahun lamanya. Diam, tidak kemana-mana, hanya duduk di tepian sungai sampai 10 tahun, apa tak berlebihan? Saya lebih suka menyebutnya “nonsens!” seperti ketika seorang menyimpulkan “ia hidup dalam tiga zaman, Demak-Pajang-Mataram” usianya sampai 200 tahun. Bagi saya, itu hanya “penghubungan” demi legitimasi kekuasaan Mataram –tanah yang jauh dari pengaruh Islam, dan tak punya wali sendiri. Dengan kata lain, saya ingin mengatakan bahwa Kalijaga menjadi semacam “penghubung sekaligus pengukuh kesinambungan Majapahit-Demak-Mataram.” Tanpanya Mataram tak punya gema.

Orang kejawen tak menerima kemungkinan bila hidup wali pujaannya hanya sampai jaman Kesultanan Cirebon pertama. Atau Kalijaga betul-betul nakal sejak kecil dan ketika dewasa jadi penjahat sadis. Ia suka merampas dan membunuh tanpa segan. Ia berjudi kemana-mana, dan tiap habis botoh, tega merampok penduduk.

Lazimnya wali namanya terkenal karena tempat makamnya, kecuali Kalijaga yang kuburnya di Kadilangu, masih di dalam Kota Demak, tak sampai empat kilometer dari Masjid Agung Demak. Sementara Gus Dur meyakini makamnya bukan Kadilangu, melainkan Tuban. Tapi bukan tanpa alasan Kalijaga memilih mati di Kadilangu. Supaya dekat dengan Demak, pusat pemerintahan Islam waktu itu. Sehingga memudahkannya berkontak dengan Raden Patah. Sejarah menulis: ia adalah kadi, penghulu suci bagi Kesultanan Demak –tapi bukan seorang Arab seperti ditegaskan Van den Berg, de Graaf, dan Babad Tuban, atau dulu bernama Gan Si Cang seperti disangkakan Slamet Mulyana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara yang terbit 1968 tapi sudah dilarang beredar pada 1971 sesuai putusan Kejaksaan Agung karena “berisik dan sembrono”– dan disebabkan itu tak pernah jauh dari Bintoro setelah penobatan kewaliannya.

Bagi P.J. Zoetmulder, yang karyanya banyak dikutip orang dan nyaris jadi klasik, di antara para wali, ajaran Kalijaga adalah “paling orisinil”. Ia peduli pada konteks lokal. Dan, bagi orang Jawa, Kalijaga adalah “paling dikeramatkan di Jawa Tengah”. Tiap tanggal 10 ketika masuk waktu lebaran haji di Demak ada grebeg besar atau upacara jamasan pusaka-pusaka peninggalan Kalijaga. Pusaka-pusaka yang dibersihkan, dengan pantangan dilarang buka mata bagi yang menjamasnya dan jika dilanggar akan buta, yakni keris Kiai Crubuk, jubah Antakusuma tiruan, aslinya di Kraton Surakarta, baju Kiai Gondil, keris Kiai Sirikan, dan tongkat Kiai Tratas. Para peziarah datang berduyun-duyun untuk melihat itu.

Penjamasan pusaka Kalijaga dilakukan “sesepuh Kadilangu” ahli waris yang mendapatkan legitimasinya dalam Pustaka Darah Agung –buku yang ingin mengekalkan trah Kadilangu. Di sana disebutkan Kalijaga mempunyai lima anak: Ratu Pembayun, yang dijadikan istri Trenggono; Nyai Ageng Panenggak, Nyai Ageng Ngerang, Raden Abdurrahman dan Sunan Hadi (kepala perdikan Kadilangu). Dan dalam sejumlah manuskrip yang sudah selesai saya baca, pewaris Kalijaga, ribut-ribut menjurus kudeta mirip Paregreg melanda trah Kadilangu tahun 1997. Mereka saling berebut posisi “sesepuh Kadilangu” yang sebenarnya tak lagi penting, tak punya kekuatan politik, sebab status kepala perdikan sudah dihapus pemerintah pada 1962.

Tapi simbolisme penting untuk beberapa orang. Setidaknya biar dihormati sedemikian rupa. Jadi kemegahannya. Seperti saat Sukarno dalam peringatan Nuzulul Quran di Demak tahun 1958 yang mengatakan “dirinya berasal dari darah keturunan “wali pelindung Jawa” Sunan Kalijaga”.

Begitulah. Orang Jawa menyebutnya “guru agung dan suci”. Tapi setelah Trenggono wafat, ia yang dianggap “wali pelindung Jawa” suci tak bercela terlibat faksi dengan Sunan Kudus dan Sunan Giri. Ia memihak jagonya, Jaka Tingkir (Hadiwijaya), agar mendirikan kerajaan baru Pajang, dan diteruskan Pemanahan dengan mendirikan Mataram. Sementara itu, Giri mendukung Sunan Prawata. Dan Kudus mengelu-elukan Penangsang. Para pangeran berebut takhta. Mereka, ketiga ulama berebut kuasa. Dan Kalijaga memenangkan “perangnya,” dan karena itu namanya harum sebagai “guru agung setanah Jawa”.

Sebagai penutup, saya ingin menegaskan bahwa Kalijaga atau Seh Malaya adalah wali yang tak lahir dari disiplin fikih. Tapi sikap puitik, dari kidung-kidung wengi. Untuk meyakinkan, perhatikan kidungnya yang terdengar indah ini.

Ana kidung rumeksa ing wengi

Teguh hayu luputa ing lelara

Luputa bilahi kabeh

Jim setan datan purun

Paneluhan tan ana wani

Miwah panggawe ala

Gunaning wong luput

Geni atemahan tirta

Maling adoh tan ana ngarah ing mami

Guna duduk pan sirna

Sakabehing lara pan samya bali

Sakeh ngama pan sami miruda

Welas asih pandulune

Sakehing braja luput

Kadi kapuk tibaning wesi

Sakehing wisa tawa

Sato galak lulut

Kayu aeng lemah sangar

Songing landhak guwaning wong lemah miring

Miang pokiponing merak

Pangupakaning warak sakalir

Nadyan arca myang segara asat

Temahan rahayu kabeh

Apan sarira ayu

Ingideran kang widadari

Rineksa malaikat

Sakathahing rasulullah

Pan dadi sarira tanggal

Ati adam utekku Baginda Esis

Pangucapku ya Musa

Napasku Nabi Musa linuwih

Nabi Yakub pamyarsaningwang

Yusuf ing rupaku mangke

Nabi Dawud swaraku

Jeng Suleman kasakten mami

Nabi Ibrahim nyawaku

Edris ing rambutku

Bagendha Ali kulitingwang

Getih daging Abu Bakar singgih

Balung Bagendha Usman

Sungsumingsun Patimah linuwih

Siti Aminah bayuning angga

Ayub ing ususku mangke

Nabi Nuh ing jejantung

Nabi Yunus ing otot mami

Netraku ya Muhammad

 

Pamuluku Rasulullah

Pinayungan Adam sarak

Sampun pepak sakathahing para nabi

Dadya sarira tanggal

Wiji sawiji mulune dadi

Apan pencar saisining jagad

Kamasadan dening date

Kang maca kang angrungu

Kang anurat kang anyimpeni

Dadi ayuning badan

Kinarya sesembur

Yen winacakna ing toya

Kinarya dus rara gelis laki

Wong edan nuli waras

 

Kidung ini masih panjang, tapi saya harus memungkasinya sampai sini.[]

| Penikmat sejarah, pecinta senja. Tinggal di Cirebon. Beberapa karyanya telah dibukukan. Antara lain: Teror.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *