Siapa mengenal dirinya, ia akan kenal Tuhannya.
Seh Tolhah berjalan pulang ke rumahnya usai mengucapkan itu di hadapan murid-muridnya di Masjid Kholwat, Kalisapu, Cirebon. Langkahnya perlahan, dan, kesunyian mengungkung sekelilingnya. Itu dua ratus tahun yang lalu. Abad ke-19. Hari saat Indonesia belum merdeka. Indonesia belum ada. Ketika para tentara kolonial selalu dalam posisi siap tempur. Dan ia dianggap musuh, tukang hasut yang harus hancur.
“Seorang mengatakan diriku mendapatkan karomah,” katanya. “Apakah itu betul? Tataplah aku lekat-lekat, betapa malang nasibku, semalam aku tak sengaja menginjak seekor semut, tak bisa mengembalikan semut itu. Hanya Allah Yang Maha Pemurah dan Seh Tolhah hina, bukan siapa-siapa, tak bisa lebih tinggi lagi dariNya.”
Seh Tolhah mengucapkan itu di pesantrennya di Begong keesokan harinya. Santri-santrinya tidak menjawab. “Di zaman bobrok seperti ini,” lanjutnya. “Ingatlah, yang lebih samar dari semut yang merayap di atas tanah adalah ujub dan dengki, Allah mengetahui tiap-tiap yang ada dalam hatimu. Takutlah kepadaNya, bukan orang-orang Belanda yang tamak dan sudah merampas milik kita.”
“Tapi orang tak bisa terus diam ketika dianiaya,” tutupnya. “Penjajah harus enyah!”
Suasana tambah hening untuk beberapa lama.
“Belakangan ini apa pun bisa terjadi. Yang perlu kalian pahami ialah apa pun mungkin saja terjadi. Dan bisa saja lebih buruk dari apa yang pernah dibayangkan. Tapi setiap orang akan mendapatkan apa yang berhak didapatkan,” serunya. “Jika aku ditanya mereka: Apa yang engkau inginkan? Maka aku akan menjawab, ‘Keinginanku adalah kemerdekaan, lepas dari penjajahan.’”
Karena sikap kerasnya itulah –menghina Ratu Belanda dan mempersiapkan makar, seperti yang dituduhkan pemerintah kolonial– ia ditangkap. 1889. Itu hanya setahun sesudah ribut-ribut “Pemberontakan Petani Banten” serta dijebloskannya murid-murid Seh Abdul Karim oleh Belanda.
Sejarah mencatat: Seh Tolhah Kholwat, seperti halnya Seh Abdul Karim Banten dan Kyai Kholil Bangkalan, adalah murid Seh Ahmad Khatib Sambas –lelaki asal Kalimantan Barat yang pernah jadi imam besar di Makkah. “Pemimpin dua tarekat besar,” seperti disebutkan Naquib al-Attas. “Yang disatukan, Qadiriyah dan Naksabandiyah.” Kronik menganggap Qadiriyah masuk abad ke-16, di Aceh. Naksabandiyah setelahnya, masih Pulau Sumatra, di Minangkabau.
Di abad ke-19 itu, tarekat Qadiriyah-Naksabandiyah (TQN) paling banyak pengikutnya. Bisa dikata “terbesar” di Indonesia. Dan segera menggantikan kedudukan tarekat Syattariyah dan Samaniyyah sebagai tarekat paling populer di abad 16 dan 17. Tapi beberapa tarekat, seperti Malamatiyah, Syatariyyah, Rifaiyah, Samaniyyah, sudah muncul jauh sebelum itu. Di saat itu, seperti kemudian saya dapati dalam babad dan suluk, Cirebon abad ke-15 sudah kenal “Martabat Tujuh,” “Wahdatul Wujud,” dan “Panca Sembah.”
Tentu agak sulit bagi saya buat masuk dan memahami tarekat (TQN) ini, meski semua pintu telah dibuka lebar-lebar, nyaris tak bersekat. Tawasul ini, yang menyebut lebih dini Seh-Seh dalam Qadiriyah daripada nama-nama Naksabandiyah…
“Wa ilaa arwaahi jamii’i auliyaa illahi ta’aalaa min masyaarikil ardhi ilaa maghooribihaa, fii barrihaa wa bahrihaa, min yamiinihaa ilaa syimaalihaa, khushushon ila hadhroti sayyidinaa wa maulaanaa sulthoonil auliyaa’ Seh Muhyiddin Abdil Qodir Jailani, wa sayyidi Seh Abil Qosim Junaidi al-Baghdadi, wa sayyidi Seh Ahmad Badawi, wa sayyidi Seh Ahmad Rifa’i, wa sayyidi Seh Ja’far Shodiq, wa sayyidi Seh Abi Yazid al-Bisthami, wa sayyidi Yusuf al-Hamdani, wa sayyidi Abil Hasan al-Harqoni, wa sayyidi Ma’rufil Kurkhi, wa sayyidi Sirrissaqti wa habiibil Ajami, wa thooifatis shuufiyyah, wa ushuulihim wa furuu’ihi, wa ahli silsilatihim wal aakhidziina minhum, syaiul lillahi lahum al-Fatihah.”
Sudah saya lafalkan berulang-ulang sejak kecil. Lepas dari sekolah dasar, tiba-tiba saja saya pergi ke Tasikmalaya –ingin masuk Pesantren Suryalaya, milik Abah Anom, yang menerima seluruh wejangannya dari Seh Tolhah. Malah terdampar di Pesantren Sukamanah. Pesantren yang melancarkan gerakan perlawanan terhadap Jepang di tahun 1944. Lalu Masjid keramat Kholwat, “Pesantren” Begong, Makam Seh Tolhah, sama sekali tak jauh dari rumah, kurang dari 15 menit.
Masuk sekolah menengah atas hingga masa-masa pertengahan kuliah di Jogja, saya seringkali didatangi mimpi makam kuno berukir kaligrafi di Rejoso. Tapi saya bukan penempuh suluk, yang waktu menemukan “isyarat gaib” akan melonjak bahagia terus mencarinya. Dan saya baru tahu kemarin, satu hari sebelum tulisan ini rampung, Peterongan adalah satu dari sekian pusat TQN di Jombang.
Tak selesai di situ. Tiga belas tahun lalu untuk pertama dan terakhir kali saya bertemu Kyai Kosim, cucu Seh Tolhah, dalam acara pernikahan anaknya dengan bibi saya. Tapi baru tiga tahun silam saya menyadari, waktu seorang teman bilang, Kyai Kosim adalah khalifah TQN di Gunung Jati sebelum diganti anaknya. Dan, hampir tiga tahun ke belakang saya bolak-balik Bogor, selama itu pula saya wara-wiri Pesantren Pagentongan, tapi tidak tahu apabila Pagentongan salah satu pusat TQN di Jawa Barat.
Tapi, sejak itu, saya tahu TQN inilah tarekat satu-satunya di antara tarekat mu’tabarah yang didirikan seorang ulama Indonesia. Saya tahu berbagai tarekat besar sekarang, baru dikenal abad ke-20. Pesantren Begong yang didirikan Seh Tolhah –orang suci kelahiran Trusmi dan masih keturunan Panembahan Trusmi– muncul tahun 1876. Dan zikir mendapatkan tempat penting. Dibaca berulang-ulang.
Untuk mendatangi sufi besar atau Seh yang punya keramat, lalu jadi anggota tarekatnya, bagi saya bukan hal sepele, baiat, atau menyucikan hati menyempurnakan jiwa, bagi saya seperti “permandian” dalam tradisi Katolik. Saya belum bisa menerima sepenuhnya. Dan saya tahu apa yang dicari di sana “keselamatan dan kemuliaan” menghilangkan seluruh kekotoran dan kemudian mensucikan orang dengan sesuci-sucinya.
Tak semua dari keluarga kami seperti Ade’, anak dari uwa, yang penempuh suluk dan dekat dengan habaib. Juga tak semua dari kami ingin dapat ijazah, berhari-hari riyadhah di bawah bimbingan guru. Padahal tarekat, awalnya, adalah jalan menuju Tuhan yang ditempuh secara personal, tak harus berkelompok dan tak harus punya guru.
Toh saya juga tak peduli dengan konsep silsilah “rantai” kenabian. Lalu melalui itu barakah “legitimasi dan otoritas” dibangun dan dikukuhkan. Tapi naskah-naskah Cirebon dan Banten menceritakan bagaimana raja-raja awal mendatangi jazirah Arab dan berbaiat pada sejumlah guru sufi. Barangkali di sini tarekat dipandang sumber kekuatan spiritual sekaligus legitimasi kekuasaan. Tapi penjelasan itu tak penting lagi.
Saya hanya memikirkan bahwa…
Sungguh saya belum punya ketertarikan untuk masuk sana “sikap menyerah secara mutlak,” masih ingin bebas dari segala –meskipun tak niscaya suatu saat saya akan berjalan, datang kepadaNya, diliputi kepasrahan dan kesatuan.[]
Fikih di tangan fikih.id ini menjadi nyufi(kih). Gaya Al-Ghazali udah eksover… 😀