Sunan Drajat

Agus Rois |

Wali yang besar di dada orang Lamongan, di sana kuburnya. Tapi saya ingin membacanya dengan catatan daerah asal saya: Cirebon. Tempat ia pernah tinggal untuk beberapa lama. Tentu ia ditulis dalam sejarah dan dibuatkan dongeng sebab ia dianggap penting. Ia adalah seorang pecinta agung. Ia tinggal di mana-mana. Dan di antara wali, entah saking terkenal atau amat membingungkan, ia punya banyak nama.

Dahulu, di seluruh jalanan yang dilewatinya akan ada orang yang memanggil-manggilnya dengan nama berbeda-beda. Raden Qosim/Kasim dan Raden Syaifudin, Masaikh Munat dan Mahmud. Dan nama lainnya yang tercatat dalam pelbagai naskah kuno ialah Sunan Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Seh Masakeh, Pangeran Kadrajat, Pangeran Syarifuddin.

“Wali adalah pewaris para nabi,” itu yang dikatakan guru ngaji di kampung waktu saya kecil. “Mereka menyebarkan agama Islam di tengah-tengah masyarakat degil.” Karena dekat nabi, dirasa harus diteladani, kelinuwihan wali sebisa mungkin disama-samakan dengan mukjizat nabi, kisah-kisahnya dicatat yang mengesankan tapi mungkin berlebih. Tak terkecuali Sunan Drajat. Kita ingat…

Pada suatu hari di tahun 1485-an, ia diperintahkan ayahnya pergi ke daerah kosong di antara Gresik dan Tuban. Perjalanan ini kelak memunculkan dongeng yang sangat melegenda: wali yang menunggang ikan. Dan kita seolah-olah bersua kembali dengan kisah Nabi Yunus yang diselamatkan dalam perut ikan.

Dan inilah legenda Sunan Drajat di punggung ikan, ketika ia terdampar di Lamongan, ketika Islam di puncak kekuasaan.

“Bagaimana kalau kamu diam di daerah pesisir utara antara Gresik dan Tuban,” kata Sunan Ampel yang berdarah campuran Campa-Samarkand. Kasim pun setuju dengan usul ayahnya. Lalu ia berlayar menggunakan perahu. Dari Kalimas, perahu berbelok ke kiri menuju Gresik. Ia singgah sebentar di Giri Kedaton, menemui saudara iparnya Sunan Giri.

Setelah beberapa waktu, ia berlayar kembali. Disebutkan bahwa di laut tiba-tiba datang angin dan badai. Ombak besar mengombang-ambingkan perahunya. Sampai akhirnya perahu pecah dan karam di tengah samudera. Sambil berpegangan pada sebilah balok kayu dari sisa perahu, ia berpikir itu akhir hidupnya, versi lain mengatakan bahwa ia terus bergantung pada dayung perahu. Syahdan, dalam keadaan lemah tak berdaya, seekor ikan gede (entah ikan cucut, ikan talang, ikan cakalang, atau apa pun namanya) datang menghampirinya. Ikan itu menyediakan punggungnya untuk dinaiki Sang Pangeran.

Bibir pangeran itu pucat, ia merasakan ketakutan yang amat sangat. Ia tak banyak bicara, dan ia menahan air matanya. Ia pun mengutarakan pengharapan, sampai ikan itu membawanya ke pantai Jelag yang masuk wilayah Banjarwati, Paciran. “Tanpa pertolongan Tuhan lewat ikan yang dikirimkanNya,” tukasnya dalam hati. “Nasibku bisa lebih buruk lagi, aku tidak selamat dari amukan badai. Mati mengapung di antara ombak dan buih.”

Ia pingsan untuk beberapa lama, dan ketika terbangun mendengar bunyi langkah kaki yang tua. Lama sekali. Dan dua orang dengan rambut yang telah memutih. “Bagaimana kau bisa sampai begini?” tanya seorang dari mereka. Satunya lagi berjalan mendekatinya, “Siapakah kau ini? Dari mana asalmu anak muda?”

Legenda mencatat kedua lelaki tua itu bernama Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar, dan keduanya sudah masuk Islam. “Perahuku pecah dan tubuhku dihempas ombak dan ditolong seekor ikan hingga bisa sampai sini,” anak itu berkata dengan suara lemah. “Aku Kasim dari Ampel putra Raden Rahmat.” Begitulah versi umum menganggapnya saudara muda Bonang, versi satu lagi mengatakan ia lain ibu dengan Bonang, ibunya ialah Nyai Karimah dan nama kecilnya adalah Mahmud.

Mendengar nama Sunan Ampel, seorang wali besar dan masih terhitung kerabat Majapahit, kedua lelaki itu tampak bahagia. “Adakah seseorang yang kau sebut wali dari Ampeldenta?” Mbah Mayang Madu bertanya. “Iya,” ujar Kasim. “Saya ingin sekali menjabat tangan anak seorang wali besar,” kata Mbah Mayang Madu. “Kau siapa?” tanya Kasim. “Saya, Mayang Madu, dan sahabat saya itu Mbah Banjar. Mari ke rumah saya…”

“Terima kasih, terima kasih, Mbah.” “Jangan berterima kasih kepada saya. Kami yang harus berterima kasih kepadamu atas kedatanganmu. Tinggallah untuk waktu yang lama.” Konon ia dinikahkan dengan putri Mbah Mayang Madu yang bernama Kemuning di kemudian hari. Ia bangun pesantren, dan kampung yang tadinya sepi menjadi ramai. Dan ia kerapkali mengitari perkampungan pada malam hari.

Sesudah dirasa cukup, ia pindah sejauh satu kilometer ke arah selatan, ia memutuskan untuk menyepi ke tempat lebih tinggi, dan mulai menarik diri. Kelak orang menyebut tempat “yang angker” itu sebagai “Dalem Dhuwur” rumah yang letaknya di atas bukit. Lahan berupa hutan belantara itu dikenal penduduk sebagai “daerah wingit.” Dan, menurut hikayat, banyak demit. Tapi, meski banyak lelembut dan hantu, ia tetap berada di situ, ia tak lari.

Begitulah. Di sebuah desa di pesisir pantai utara –Desa Drajat, dalam Bahasa Arab, Derajat berarti menunjukkan martabat atau kualitas tingkatan– makamnya terletak di tempat tinggi. Di situ pula, di daerah padas dan terkenal sulit air, ia pernah tinggal berpuluh tahun. Orang banyak menduga ia “cicit dari Seh Jumadil Qubro dan keturunan ke-13 dari Imam Husain” mangkat tahun 1522.

Saya baru sekali ke makamnya, ketika ziarah walisongo, itu pun sudah berpuluh tahun silam. Hanya sedikit yang saya ingat. Makamnya tidak jauh dari pusat Kota Lamongan, di sebelah barat. Memasuki kompleks makamnya, dengan batu nisan tua di sana sini, kita akan menaiki sejumlah anak tangga dan ada yang menghitungnya tujuh tangga yang melambangkan tujuh tanazul yang diyakini kaum sufi: ahadiya, wahda-wahidiya, a’yan kharija, alam arwah, alam mitsal, alam ajsam, alam insan.

Seperti makam Gunung Jati –kompleks makam Drajat yang dibagi tiga teras dan makamnya bersama istrinya terletak paling belakang dan tinggi cungkupnya, sementara di bagian depan terdapat makam kerabat, di bagian tengah makam anak-anaknya dan ketiga menantunya– ada banyak pengemis di makam Drajat. Pada cungkup Sunan Drajat, tempat orang membaca doa, dipenuhi ragam hias. Bagi orang Sedayu dan Lamongan, dan ini sudah menjadi kepercayaan, Dalem Dhuwur adalah “tempat mustajab.” Siapa ingin tinggi kedudukannya, siapa ingin naik derajatnya, datang ke Dalem Dhuwur, berdoalah dengan rasa hancur.

Bahkan masyarakat sekitar percaya, sumur di dekat makamnya dapat meningkatkan derajat hanya dengan berwudu di situ. Sumur yang terletak di utara tajug itu airnya bisa datangkan aura dalam usaha. Sumur Lengsanga (lubang sembilan) di Sumenggah, juga diamini punya daya linuwih. Mitosnya sumur ini diciptakan ketika ia kelelahan dalam suatu perjalanan. Ia meminta muridnya mencabut tanaman wilus, sejenis umbi hutan. Lalu ia berdoa. Tiba-tiba dari sembilan lubang kecil di umbi itu memancar air bening yang kelak jadi “sumur abadi”.

Disebutkan bahwa di pemakaman itu ada pula benda yang dianggap keramat: Patung Singo Mengkok. Patung kayu berujud singa setinggi 50 centimeter. Ada banyak yang percaya jika  ada seorang jahat dan pembohong disuruh minum air di mangkok itu, perutnya pasti busung atau akan lekas menemui ajalnya. Dulu patung “tempat mengangkat sumpah” diletakkan di pintu gerbang makam, sekarang telah di pindah ke museum yang baru diresmikan di tahun 1992. Yang letaknya barat masjid Sunan Drajat. Bersama barang lain seperti dayung perahu, gamelan, naskah gending, suluk, tandu, joli, jadug, kursi, dst.

Kita tahu, Sunan Drajat hidup pada zaman Hindu Jawa akhir. Ia, yang didakwa pendukung “aliran putih Sunan Giri” yang tidak ingin mencampurkan Islam dan adat lama, berharap banyak kepada Islam. Mungkin banyak candi yang tergusur sebab perang dan politik selepas itu. Di timur makam, terdapat gundukan batu ditumbuhi belukar, konon dulunya itu masjid yang pernah didirikan Sang Sunan, mungkin saja bukan “masjid” tapi sisa candi Hindu lama meski anggapan ini tak kuat benar.

Sejarah mencatat: ia berdakwah dengan memanfaatkan kesenian, ia adalah pencipta gending Pangkur. Tapi itu tak tepat benar. Gending-gending yang dibuatnya tergolong bahasa Jawa Baru bukan Jawa Kuno. Artinya, ditulis dalam rentang 300 tahun terakhir, baru muncul abad ke-18 dan ke-20. Padahal sosok historisnya hidup sekitar abad ke-15.

Bahkan apa yang dianggap orang sebagai “ajaran pepali pitu” ucapannya, dan sebab itu terus diingat-ingat, bisa saja bukan fatwanya sepenuhnya, karena disertai moralitas “dari abad ke-18 yang diguncang-guncang politik” yang benar dan ingin dianggap suara sejarah.

Berilah tongkat kepada orang buta

Berilah makan kepada mereka yang kelaparan

Berilah pakaian kepada orang telanjang

Berilah tempat berteduh kepada mereka yang kedinginan

Dengan menaruh wasiat itu di cungkupnya yang direnovasi besar-besaran tahun 1994, kita tahu, perilaku sosial macam apa yang ingin diharapkan dari sana, Drajat seolah bersepakat bahwa “orang disebut insan kamil dan layak mendapat surga” tolong-menolonglah selama hidup di dunia. Tapi “ucapnya” itu membuka jalan bagi berkumpulnya “hal-hal yang susah dielakkan berabad kemudian”: para pengemis serta gelandangan.

Juga hal yang tak saya ragukan, haulnya jatuh tiap 25 Syaban. Dan di bulan Maulid akan ada arak-arakan. Selama itu, makamnya lebih ramai, ada banyak tumpengan. Tapi Lamongan, tempat ia tak keberatan menghabiskan seluruh hidupnya di sana, punya banyak hal menarik selain itu: Wisata Bahari Lamongan, Pecel Lele, dan Mahfud Ikhwan penulis novel Dawuk

Dari sini, di sekitar Dalem Dhuwur, lahir cerita-cerita lain: Ia getol mencari rejeki sekaligus dermawan. Hatinya mudah iba tiap melihat orang yang menderita, bila perlu segala miliknya diberikan agar dapat membebaskan siapa saja yang ditimpa kesusahan. Seorang mengiaskan, “ia bersedekah sebanyak-banyaknya, ia seorang egalite dan fraternite, ia suka menceritakan sikap rela dan pasrah kepada Tuhan dalam pengajiannya.”

Dan banyak yang menulis dan merasa yakin bahwa ungkapan berikut ialah puncak makrifat Sunan Drajat:

Ilang, jenenge kawula

Sirna datang ana keri

Pan ilang wujudira

Tegese wujude widi

Ilang wujude iki

Aneggih perlambangira

Lir lintang karahinan

Kaserodotan sang hyang rawi

Apa itu buah tangannya sendiri? Entah. Sebab Sunan Drajat dalam sejarah, tepatnya pustaka tentangnya, hanya eksis dalam legenda, sangat sedikit. Riwayatnya yang panjang dipastikan sulit. Para pembaca buku-buku walisongo mungkin akan mendapati kenyataan: tak banyak halaman yang dicatat tentang Sunan Drajat dalam banyak tulisan di ragam buku walisongo.

Kenapa tak banyak naskah yang mengungkapkan perjalanan hidup Sunan Drajat? Bagi para penguasa Pengging dan Mataram, posisinya tidaklah penting-penting amat. Meski, konon ia kerap ikut ziarah yang ditempuh Kalijaga. Istrinya yang lain adalah Retna Ayu Condrosekar, putri Adipati Kediri, dan Dewi Supiyah, anak Sunan Gunung Jati. Pernikahan dengan putri Gunung Jati, diriwayatkan dalam Babad Cirebon dan Babad Demak, terjadi sebelum tinggal agak lama di daerah bernama Kadrajat. Di kemudian hari, orang memanggilnya “Pangeran Drajat” bukan lagi Pangeran Qasim. Dari pernikahannya itu, ia dikaruniai tiga anak. Mereka adalah Pangeran Rekyana, Pangeran Sandi, Dewi Wuryan.

Ia bukan penentu bandul politik, itulah persoalannya. Ia lebih mirip ulama fikih dengan sikap tegas dan tak mau didorong-dorong melakukan apa yang tidak disukainya.

Tapi namanya tetap disebut dalam Babad Cirebon, juga Babad Demak, dan babad-babad lain. Masa kecil dihabiskannya di Ampeldenta, Surabaya. Menginjak remaja, ia pergi ke Cirebon, belajar ilmu sejati kepada Sunan Gunung Jati, dan menetap di sana. Selama di Cirebon, ia bermukim di Pedukuhan Semar, ia tinggal dekat Kali Kriyan, sebagaimana letak petilasannya sekarang.

Dan ketika ia harus kembai ke Sedayu, Babad Demak menyebutnya “ia sengaja ditempatkan di daerah Lawang dan Sedayu, dan baru mendapat derajat kewalian setelah bertapa di Ujung Pangkah.” Sebagai penghormatan, masyarakat Dukuh Semar membangun petilasan Drajat di bekas tempat ia mukim. Sekarang, petilasannya yang berbentuk makam dan yang dinaungi cungkup dan lantainya telah dikeramik, ada di tengah pemakaman umum, dikenal luas masuk Kelurahan Drajat, Kecamatan Kesambi, Kota Cirebon.

Jika Babad Demak menyebut Pangeran Qasim memperoleh gelar wali usai tapa tiga bulan di Ujung Pangkah, maka naskah-naskah Cirebon mengatakan, Pangeran Drajat baru diakui jadi anggota walisongo melalui musyawarah wali di kompleks Kraton Pakungwati sesudah Siti Jenar dihukum mati. Dengan kata lain, kewaliannya datang dari tragedi. Setelah itu, dengan masygul, ia pergi ke dekat Gresik, ia dirikan pesantren –tapi pesantrennya itu sempat lama hilang, baru pada tahun 1977 seorang kiai mendirikan kembali pesantren “Sunan Drajat” di bekas reruntuhan lama, dan kini jauh lebih modern.

Dalam Babad Cirebon, ada dituliskan sebuah ucapan menarik Sunan Gunung Jati. “Kalian, Pangeran Makdum, Pangeran Drajat, Pangeran Welang, dan Pangeran Kajoran, belum bisa mencapai derajat kewalian secara sempurna.” Konon wejangan itu disampaikan habis salat Jumat setelah selesai pembangunan Masjid Agung Sang Ciptarasa.

Keempat orang yang mendapat pepali Sunan Gunung Jati itu kemudian, kami menyebutnya “Pangeran Palakaran” orang yang sebatas menuju tingkat wali, menjalani lagi hidup yang bergairah kepada agama. Raden Qasim, seperti diuraikan Babad Demak, memilih bertapa di Ujung Pangkah agar bisa “mencapai derajat wali” benar-benar dikukuhkan kepadanya. Dan gelar itu baru datang setelah kematian Lemahabang. Ia diangkat sebagai gantinya.

Begitulah Sunan Drajat dalam naskah Cirebon, tak ada puja-puji berlebih bahwa “ia sanggup membuat berandal Duratmoko tobat masuk Islam hanya dengan membunyikan gamelan Singo Mengkok” atau “ia ikut membantu Sunan Sendang Duwur memindahkan masjid milik bangsawan Jepara, Ratu Kalinyamat, ke Paciran, Lamongan, hanya dalam waktu semalam.” Ia, meski tak lama di Cirebon, syiarnya masih terkenang sampai sekarang. Ia tanamkan sikap peduli kepada sesama, yaitu sedekah, dengan cara membagi-bagikan kue apem di bulan Safar. Ia anjurkan orang berderma, terutama kepada orang miskin dan anak yatim piatu, pada Rabu pungkasan Safar, yang dikenal orang di Cirebon sampai sekarang sebagai “tawurji”.[]

| Penikmat sejarah, pecinta senja. Tinggal di Cirebon. Beberapa karyanya telah dibukukan. Antara lain: Teror.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *