Hukum Donor Plasma Darah Dan Konsekuensinya

Ahmad Saiful Millah, Lc. |

Selama krisis virus Covid-19 ini, peran Al-Azhar sebagai lembaga keagamaan sangat krusial. Belum lama ini, ia mengeluarkan jargon baru, “Ayo bantu mereka sekalipun dengan doa (شاركهم ولو بدعوة)”. Jargon ini keluar dalam rangka sebagai penguat dari seruan Darul Ifta Mesir agar korban yang telah sembuh mendonorkan plasma darahnya. Secara medis plasma darah mereka bisa menjadi vaksin bagi korban lainnya.

Masalah fikih yang muncul kemudian dari donor darah ini ialah: darah manusia itu najis menurut empat mazahab fikih, apalagi dalam jumlah banyak. Namun darah manusia dalam jumlah sedikit hukumnya dimaafkan, tidak dianggap najis meskipun hakikatnya najis. Apalagi kasus darah yang sampai diperjualbelikan, sebagaimana yang dilakukan oleh bank darah. Artinya, jual beli itu adalah jual beli najis, padahal jual beli najis itu hukumnya haram.

Baca juga : 4 Mazahib Fikih

Dulu, para ulama klasik hanya sebatas membahas jenis darah dan hukum-hukum seputar darah, belum sampai membahas hukum donor darah. Apalagi pembahasan donor plasma darah yang merupakan salah salah satu unsur darah itu, karena pengetahuan medis belum sampai titik itu. Sehingga masalah donor darah ini perlu kiranya merujuk kepada fatwa ulama kontemporer.
Dalam kondisi biasa, Mantan Mufti Mesir Syekh Ali Jum’ah berfatwa bahwa donor itu sangat dianjurkan. Bahkan hukumnya bisa menjadi wajib dengan lima syarat: keadaan mendesak, adanya maslahat bagi pasien yang ditetapkan oleh dokter, tidak adanya mudarat yang akan dialami oleh pendonor yang ditetapkan secara medis bahwa pendonor tidak terjangkit penyakit dan pendonor memiliki kelayakan sempurna menurut agama (kamil al ahliyyah). Itulah yang kemudian menjadi asas dibolehkannya jual beli darah yang dilakukan oleh bank darah dengan syarat untuk darurat pengobatan.

Baca juga:Otoritarian vs Egalitarian dalam Tafsir – Serial Kaji Hermeneutika Quran

Nah, dalam kondisi krisis virus Covid-19, Darul Ifta Mesir mengeluarkan fatwa bahwa mendonorkan plasma darah secara khusus hukumnya fardhu kifayah bagi pasien sembuh virus Covid-19. Jika tidak ada satu pun yang mau mendonorkan plasma darah, maka semuanya berdosa. Bahkan, jika ada yang menolak secara individu untuk mendonorkannya, maka dia berdosa.

Tidak seperti kondisi biasa, memperjualbelikan plasma darah mereka dalam kondisi krisis ini tidak lagi boleh dengan alasan darurat pengobatan. Bahkan lebih dari itu hukumnya haram jika yang bersangkutan tidak mau mendonorkan darahnya. Hukum ual beli plasma darah masuk dalam kandungan hadis: “إن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن ثمن الدم”.
“Sesungguhnya Rasulullah Saw. melarang mengambil uang hasil darah.” Menurut Imam Ibnu Hajar, maksud dari uang hasil darah adalah larangan jual beli darah, sebagaimana jual beli bangkai dan anjing haram menurut konsensus ulama/ijma’.

Pertanyaan selanjutnya: “Apakah donor darah itu bisa menyebabkan kemahraman sebagaimana menyusui/radha’? Sehingga, anak keturunan pendonor tidak boleh menikah dengan pasien penerima donor darah karena keduanya seperti saudara sesusuan. Katakan jika si pasien belum berumur lebih dua tahun, karena salah satu syarat dikatakan saudara sepersusuan adalah si bayi disusui sebelum melewati umur dua tahun. Jadi, jika si pasien sudah lebih dari dua tahun, maka jelas tidak berlaku hukum saudara sepersusuan yaitu sifat kemahraman.

Adapun jika si penerima donor darah ini di bawah dua tahun, maka hukumnya juga sama, tidak menyebabkan kemahraman. Syekh Ali Jum’ah pernah ditanya masalah ini, beliau menjawab bahwa donor darah itu tidak seperti menyusui. Menyusui yang menjadi sebab kemahraman itu sifatnya ta’abbudi/hukum yang tidak memiliki alasan logis. Jadi, donor darah tidak boleh dianalogikan dengan menyusui, tidak ada hubungan antara donor darah dan menyusui.

Pun dengan Syekh Jadal Haqq, beliau juga berpendapat bahwa donor darah itu tidak menyebabkan kemahraman. Namun, dia mencoba mencari perbedaan antara donor darah dengan menyusui, sehingga tidak boleh dianalogikan. Menurutnya, karakter yang ada pada darah berbeda dengan karakter yang ada pada ASI yang diisap bayi. Susu ibu adalah makanan buat bayi sehingga bisa mengakibatkan kemahraman antara wanita yang menyusui dengan bayi yang menyusu.
Sedangkan karakter darah tidak seperti susu ibu. Darah bukan makanan bagi orang yang menerima donor darah, melainkan darah menjadi media pengantar makanan, oksigen dan lainnya. Sehingga tidak ada proses pertumbuhan dari darah yang ditransfusikan ke dalam tubuh seseorang. Itulah sebabnya darah yang didonorkan kepada pasien tidak mengakibatkan berubahnya status kemahraman antara pendonor dan penerima darah.

Kesimpulannya, mendonorkan darah oleh pasien sembuh virus Covid-19 hukumnya wajib. Dia berdosa jika tidak mau mendonorkannya. Namun, tenang saja, pendonor tetap boleh menikahi wanita yang pernah menerima donornya. Begitu juga anak si pendonor, boleh menikahi wanita yang menerima donor darah dari ibunya, karena donor darah tidak mengakibatkan kemahraman.

*Ahmad Saiful Millah saat ini sedang menempuh Pendidikan S2 di Universitas Al-Azhar Mesir, Jurusan Syari’ah Islamiyah, Prodi Siyasah Syar’iyyah.