4 Mazahib Fikih

Peradaban terus berubah. Kemarin peradaban dibangun di atas “kebenaran-kebenaran”, kini bergeser pada pasca-kebenaran. 

Transmisi informasi saat ini sedemikian cepatnya, banjiri ruang dan waktu kita yang paling privat sekalipun. Suplai informasi sudah selayak badai dan kabut, hiruk-pikuk dan susah dikenali validitasnya. Hal ini mendatangkan banyak implikasi, terkait dengan kehidupan manusia. Dengan sangat mudahnya kita memperoleh informasi, termasuk seputar wacana dan pengetahuan agama, hanya dengan kedipkan mata dan jentikkan jemari pada layar perangkat. 

Sebagai bagian dari ilmu agama, fikih pun tidak lepas dari implikasi teknologi informasi. Pengetahuan dan informasi adalah hak tiap orang. Termasuk fikih. Secara sepintas lantas disimpulkan bahwa fikih bisa dipelajari otodidak. Bahkan bisa diakses dengan mudah dan instan. 

Benar memang berfikih itu harus berdasarkan ilmu. Tapi bagaimana pengetahuan fikih menjadi acuan bagi laku moral adalah persoalan lain, yang menuntut sudut pandang tersendiri. Ada persoalan lain yang harus kita sadari, bahwa fikih bukan sekadar ilmu pengetahuan yang bisa diperoleh hanya dengan mengandalkan akal-pikiran.

Memang para ulama dari generasi terdahulu sudah terbiasa mengembangkan pengetahuan fikih bahkan hingga ke hal-hal kasuistik yang belum terjadi. Sifatnya prediktif dan tinemu akal (ma’qul). Tetapi perlu ditegaskan, dan harus digarisbawahi: bahwa dalam urusan agama, akal-budi bukanlah sumber pengetahuan. Kiai Hasyim Asy’ari (semoga Allah meridloinya) menandaskan pentingnya masalah syariat dilokalisir sebagai bidang tersendiri, yang menuntut kita umat Islam untuk memahami tata tertib dan batas-batasnya.

Tidak menutup kemungkinan orang dengan alasan tertentu terjebak pada “otak-atik gathuk” akal-pikiran yang menyimpang dan, sebagai akibatnya, terjeblos ke dalam bid’ah. Berbeda dengan pengetahuan alam atau teknologi, pada prinsipnya syariat bukan barang temuan akal-budi. Dia bukan muncul dari observasi atau eksperimentasi. 

Oleh sebab itu, dalam berfikih kita harus bermazhab, yakni—sebagaimana dijelaskan Kiai Hasyim Asyari—bersandar kepada para ulama salaf dalam hal mengetahui syariat;

(ان يعتمدوا على السلف في معرفة الشريعة)

Artinya, pertama, syariat diketahui dengan menukilkan (bi naql) dan, kedua, dengan menarik hukum dari suatu dalil (bi istinbath). Pada prinsipnya, al-Quran dan Sunnah, beserta penafsiran dan implikasi hukumnya, diketahui melalui penafsiran para Sahabat dan generasi pelanjutnya.

Dari para Sahabat Nabi ini, agama Islam disampaikan kepada kalangan Tabi’in. Dari Tabi’in ke Tabi’ie Tabi’in. Begitu seterusnya hingga generasi sekarang ini. Tetapi penting untuk dicatat, transmisi dari generasi ke generasi ini tidak melalui pertemuan spiritual di alam mimpi, misalnya. Apalagi dalam pengertian “transmisi data” secara online. Transmisi ini haruslah bersifat ittishol atau nyambung, tidak terputus. 

Sederhananya, suatu mazhab fikih yang otoritatif (layak menjadi acuan dalam berfikih) memiliki qoul (statemen hukum) yang diriwayatkan melalui sanad yang shahih atau dibukukan dalam kitab-kitab yang masyhur (memiliki derajat populer di kalangan ulama).

Dengan berpijak pada pentingnya sanad, metode penarikan hukum (istinbath), status rajikh-arjakh (kejelasan kekuatan hukum), konsistensi dan kredibilitas para ulama, keluasan perkara yang bisa disepakati (ijma’) atau ‘illat hukum yang bisa diklarifikasi, maka hanya ada 4 mazhab fikih yang layak tetap menjadi acuan untuk zaman ini. 4 Mazhab fikih ini, secara urutan jaman, adalah: Hanafiyyah, Syafi’iyyah, Malikiyyah, dan Hambaliyyah. (baca: Risalah fi Ta-akkudi al-Akhdz bi Madzahib al-Aimmah al-Arba-ah). 

Nabi Muhammad (Saw.) bersabda,

“اتبعوا السواد الأعظم”

(artinya: ikutilah para Panutan/imam yang mulia).

Kiai Hasyim Asy’ari menjelaskan, para pengikut Mazhab Empat adalah para penganut para Imam yang Mulia. Demikian itu ditegaskan lagi dengan tuntutan di era dewasa ini untuk tidak mengikuti para ulama suu’ yang fatwanya memperturutkan hawa nafsu.

Contoh berpegang pada Mazhab Empat, dalam hal ini mazhab Syafi’iyyah, ialah mengambil pendapat Imam Nawawi (Ra.), salah seorang Imam besar mazhab Syafi’iyyah, berkenaan dengan masalah bagaimana tenaga medis yang berkostum Hazmat menunaikan sholat. Imam Nawawi, dalam kitab al-Majmu’, berpendapat “jika seseorang tak bisa lepas dari tempat najis, di saat waktu sholat, maka wajib baginya menjalankan sholat dan ketika sudah lepas mendapati tempat yang suci, wajib baginya mengulangi shalatnya”. 

Maka, dengan mengacu pada qaul Imam nawawi (Ra.) di atas, bisa disimpulkan: dalam keadaan tanaga medis tidak bisa melakukan wudlu dengan baik, lebih-lebih kalau tenaga medis tidak bisa melepas kostum hazmat yan terkena najis, maka ia tetap menjalankan shalat, dan wajib mengulangi sholatnya saat menemukan kondisi yang lebih memenuhi syarat (bersuci, berpakaian suci, dll). 

Menurut Kiai Hasyim, kita tidak bisa meninggalkan Mazhab Empat dalam berfikih karena beberapa alasan. Pertama, kita ini umat yang awam. Yang mempunyai wewenang (keahlian ber-ijtihad) ber-istidlal dari al-Quran dan Hadis hanyalah ulama yang derajatnya mujtahid. Oleh sebab itu, berfikih dalam naungan al-Quran dan Sunnah hanyalah melalui rujukan kepada Mazhab Empat yang notabene dibangun dan ditransmisikan secara ittishol dari generasi ke generasi hingga hari ini. Transmisi ini ditunjang kuat dengan adanya kitab-kitab yang otoritatif. 

Mazhab lain mungkin masih ada, tetapi “Sanad-sanadnya tidak terpercaya, tidak terhindar dari penyelewengan dan penyimpangan (tahrif wa tabdil).” Maka, berpeganglah pada Mazhab Empat yang para perintisnya tidak diragukan lagi keilmuan dan kredibilitasnya, para imam-pelanjutnya memperkuat mazhabnya, dan para ulama pengikutnya menjaga mazhab dari segala potensi penyimpangan. Kita hanyalah umat yang awam. Tidak bisa berfikih selain mengacu kepada mereka, kepada Mazhab Empat.

M Tijany Abu Na’im

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *