Redaksi |
Puasa merupakan salah satu pondasi beragama yang menjadi kewajiban bagi seorang muslim. Dalam tata cara pelaksanaannya, ibadah puasa mempunyai kesitimewaan “khusus”. Memang semua umat Islam wajib melaksanakan puasa, namun kewajiban itu mutlak adanya tatkala dalam kondisi ideal. Artinya, pelaksanaan perintah tersebut sangat bergantung dengan kemampuan dan kondisi seseorang.
Jika seorang muslim dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk menahan diri dari makan, minum, dan larangan lainnya mulai subuh hingga matahari terbenam, maka ia memperoleh keringanan untuk meninggalkan perintah puasa. Bahkan lebih dari itu, jika puasa bisa mengancam kesehatannya – menurut dokter spesialis – maka ia harus berbuka puasa untuk menjaga kesehatannya karena udzur syar’i. Sesuai dengan dalil dari Allah Swt:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ (الحج: ٧٨)
“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan (kesusahan).”
Baca Juga: Bagaimana Zakat Menumbuhkan dan Mensucikan?
(وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ (البقرة :١٩٥
“Dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri. ”
وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، رواه أحمد في “مسنده” من حديث أبي هريرة رضي الله تعالى عنه
“Dan apa yang aku perintahkan kepada kalian, maka laksanakan sesuai dengan kemampuan kalian.”
Dalil-dalil di atas menjelaskan secara gamblang mengenai cara mematuhi perintah Allah Swt. yang disesuaikan dengan kadar kemampuan setiap individu. Seseorang yang menderita penyakit berat dan tergolong darurat, maka dia harus menangguhkan puasanya. Keringan tersebut harus digantikan dengan puasa di kemudian hari sesuai dengan jumlah yang ditinggalkannya, ketika kondisi kesehatannya sudah pulih atau memungkinkan.
Baca Juga: Puasa Bukan Sekedar Menahan Diri
Tetapi jika ia menderita penyakit yang berkelalanjutan, seperti penyakit kronis, atau penyakit yang berkaitan dengan masa lanjut tua dan sejenisnya, maka tidak harus menggantinya, melainkan harus membayar uang tebusan (fidyah). Yaitu, memberi makan orang miskin setiap hari untuk berbuka puasa. Hal itupun disesuaikan dengan kemampuan finansialnya dan nilainya dapat dibayarkan oleh orang tersebut.
Jika seorang muslim secara finansial tergolong miskin, atau penghasilannya hampir tidak mencukupi untuk dirinya sendiri dan tanggungannya, maka dia tidak diwajibkan membayar apapun. Hal ini karena Allah Swt. tidak membebani jiwa seorang muslim melebihi kemampuannya. Namun sebaliknya, jika orang tersebut mampu secara finansial tetapi mengaku tidak mampu maka tetap wajib membayarkan fidyahnya. Allah Maha Kuasa serta Maha Tahu yang terbaik bagi hamba-Nya. Wallahu a’lam.
Tinggalkan Balasan