Bolehkah Suami Memaksa Istri Untuk Melayaninya?

Redaksi |

Pernikahan merupakan sunah nabi yang sangat dianjurkan bagi umat manusia, bahkan hukumnya bisa menjadi wajib dalam keadaan tertentu. Salah satu manfaat dan faidah sunah yang baik tersebut adalah untuk mendapatkan keturunan yang unggul, baik dan berkualitas. Dalam masalah hubungan paling dekat antara sepasang kekasih tentu harus melihat detil kondisi dan keadaan.

Wanita yang mempunyai siklus seksualitas yang berbeda dengan pria sehingga mendapat perhatian lebih dalam Islam. Dalam kondisi tertentu seorang istri tidak dapat menjalankan tugasnya untuk memadamkan birahi suami. Untuk itu kita banyak sekali ayat-ayat yang membahas mengenai ibadah nikmat dua sejoli ini. Ada sebagian pihak yang menganggap janggal akan pembahasan al-Qur’an tentang ini, bahkan tabu atau porno sekalipun. Namun di situlah letak kebenaran alquran karena dalam permasalahan seksualitas sekalipun agama kita mengatur detil hak dan kewajiban masing-masing sehingga dengannya bisa tercapai tujuan sakinah, mawaddah wa rahmah.

Ada sebuah pertanyaan, apakah boleh memaksa istri untuk melayani suaminya?

Melansir dari fatwa yang dikeluarkan situs resmi Darul Ifta Mesir, bahwa memaksa istri berhubungan bisa dikategorikan dalam pemerkosaan dalam pernikahan atau marital rape. Para ulama menggambarkan keadaan tersebut bisa terjadi ketika seorang suami meminta istrinya melayaninya dalam keadaan yang tidak ideal, seperti saat menstruasi atau puasa Ramadhan dan kaadaan lain yang berkaitan dengan siklus halangan.

Baca Juga: Metode Rasulullah ﷺ Dalam Mengajar (Part I)

Allah memberikan wanita hak untuk menolak ajakan suaminya tersebut, seperti yang dijelaskan dalam firman Allah; “Dan mereka menanyakan kepadamumu (Muhammad) tentang haid. Katakan, “Itu sesuatu yang kotor. Karena itu jauhilah istri pada waktu haid dan jangan kamu dekati mereka sampai mereka suci. Dan apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan)yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai mereka yang bertaubat dan menyukai mereka yang menyucikan diri. ” al-Baqarah:222

Jika suami menggunakan kekerasan untuk memaksa istrinya berhubungan badan, secara hukum suami berdosa. Bahkan istri berhak untuk mengajukan aduan hukum di pengadilan. Wanita juga berhak menolak melakukan hubungan seksual dengan suami jika suaminya mengidap penyakit menular atau menggunakan kekerasan sehingga bisa melukai tubuhnya saat berhubungan intim.

Baca Juga: BIDADARI DAN PESTA SEKS DI SURGA

Syariat Islam berpesan bahwa hubungan seksual antara suami dan istri harus dilakukan dengan keintiman dan cinta, dilakukan dengan tingkah laku yang mesra sebagai tanda kesalehan. Firman Allah dalam Al-Qur’an, Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dan dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang beriman.” aL-Baqarah: 223

 Lebih dari itu, Nabi Saw. menjelaskan lebih lanjut mengenai ayat tersebut : “Tiga hal termasuk keji dan salah satunya adalah ketika pria melakukan hubungan seksual dengan istrinya tanpa pendahuluan seperti candaan dan ciuman. Tidak boleh ada yang langsung menimpali tubuh istrinya seperti yang dilakukan kerbau terhadap betinanya”. Hadits ini diriwayatkan oleh Anas ibn Malik Ra. meskipun rantai riwayatnya lemah. Namun begitu tetap dapat dijadikan acuan dalam keutamaan dan etika.

Seandainya istri membenci suaminya, syari’at Islam menasihati untuk tidak terburu-buru dalam memutuskan hubungan dengan suaminya. Islam menganjurkan untuk bersabar sehingga tidak sampai menghancurkan keutuhan rumah tangga kedua belah pihak. Firman Allah dalam Alquran: “Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan kebaikan yang banayakpadanya.” An-Nisa:19

Kendati demikian, jika sang istri tidak tahan lagi Islam menganjurkan untuk berpisah dari suaminya dengan cara yang baik. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari permusuhan, pertengkaran dan perselisihan yang berujung pada kerugian yang lebih besar. Dalam kasus ini, pengajuan gugatan cerai berarti menjadi jalan keluar yang lebih ringan dari kemungkinan dua kerugian yang lebih besar darinya. Wallahu a’lam!

Share

Pengasuh: Dr. Mahmudi Muhson, Lc. MA. Dr. Ahmad Ikhwani, Lc. MA. Dr. Aang Asy'ari, Lc. M. Si. Dr. Bakhrul Huda, Lc. M. E. I. Dr. Ahmad Subqi, Lc. M. Ag. Ahmad Hadidul Fahmi, Lc. Muhammad Amrullah, Lc. Imam Nawawi, Lc. MA.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *