Indonesia berada dalam fase genting dalam hadapi sebaran Covid-19. Dan keadaan belum bisa membaik. Berbagai himbauan untuk tidak panik, tidak piknik dan tetap di rumah sebagai ihtiar lahir masih banyak tidak bisa dilakukan.
Terlepas dari hal itu, banyak sekali hal-hal yang perlu disikapi secara fikih.
Karena memang sifat fikih yang bisa memberikan solusi hukum sehingga amaliyah ubudiyyah tetap bisa dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Permasalahan tentang hukum orang yang memakai pakaian hazmat, tidak bisa bersuci ketika memakai pakaian tersebut. Sedangkan kewajiban sholat telah masuk waktunya.
Seperti diketahui bahwa kewajiban sholat 5 waktu memang merupakan tiang agama yang tidak bisa ditinggalkan oleh seorang mukallaf. Salat memang secara syariat telah diatur tata cara dan waktu pelaksanaannya. Kewajiban salat atas mukallaf tidak bisa ditawar. Tapi tata caranya bisa disesuaikan.
Ada beberapa keadaan yang diperbolehkan mengambil keringanan dalam melaksanakan salat. Seperti ketika seseorang bepergian, salat bisa dikumpulkan dalam satu waktu (dijamak) dan juga bisa di-qoshor (semula 4 rekaat diringkas menjadi dua rekaat). Tentu dengan ketentuan-ketentuannya.
Begitu juga ketika seseorang sedang sakit, sebagian ulama juga memperbolehkan mengumpulkan salat dalam satu waktu. Juga ketika sedang hujan.
Lalu bagaimana dengan tenaga medis yang sedang bertugas dan menggunakan pakaian hazmat, yang tidak boleh dilepas selama menangani pasien? Mereka tidak bisa makan, minum apalagi bersuci.
Dalam melaksanakan sholat sebagai kewajiban agama, ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan:
Pertama: dilihat terlebih dahulu, apakah kewajiban salatnya adalah salat yang bisa dijama’ (dikumpulkan dalam satu waktu) atau tidak?
Salat yang bisa dikumpulkan pada satu waktu (dijamak) yaitu: salat Dhuhur dengan Ashar, keduanya bisa dikerjakan di waktu Dhuhur atau Ashar bersamaan ketika ada udzur. Dan juga salat Maghrib dan Isya’, keduanya bisa dikerjakan di waktu Maghrib atau Isya’ secara bersamaan ketika ada udzur.
Tenaga medis yang bekerja menyelamatkan orang dalam kasus pandemik Covid-19 ini mendapatkan keringanan melakukan salat jamak berupa keringanan bisa menggabungkan dua salat dalam satu waktu sebagaimana keterangan di atas.
Kedua: Bila kewajiban salatnya bukan salat yang bisa dijamak yaitu salat Subuh, seperti ketika masuk waktu salat Subuh, dia masih bertugas dan dalam pakaian hazmat, tidak bisa bersuci; maka menurut madzhab Syafiiyah, tetap melaksanakan salat seperti biasa dengan niat salat lihurmatil waqti (menghormati datangnya waktu salat).
Salat likhurmatil waqti ini sejatinya memang tidak sah sebab salah satu syarat sah salat, yaitu bersuci dari hadast kecil, yaitu berwudhu tidak dilakuan, dan salat yang dilakukan hanya sebagai alternatif seseorang untuk tetap beribadah bagaimana pun keadaannya dan tetap mengingat kepada Allah SWT.
Oleh karena itu, salat likhurmatil waqti tidak menggugurkan kewajiban salat seseorang sehingga ketika keadaan sudah memungkinkan untuk melakukan salat dengan sempurna, maka orang yang melakukan salat likhurmatil waqti wajib mengganti sholat tersebut.
Wallahu a’lam.
Kiai Tijany Abu Na’im
korban meninggal cofid 19, bagaimana kondisinya? apa yg dirasakannya. tanda-tanda fisik apa yg dialaminya?
dan mungkon bisa diungkap kondisi psikologisnya?
Tampaknya perlu dijelaskan, bagaimana cara berwudlu/beratayamum bagi para media? Hazmat yang dikenakan tidak bisa dilepas minimal 8 jam setelah melakukan tindakan medis.
Nyimak