Bagus Wicaksono |
Puasa merupakan salah satu ibadah yang luhur. Karena Allah Swt.sendiri memuliakan ibadah tersebut dengan menjadikan amal shaum untuk-Nya dan Dia sendiri yang akan memberikan balasannya.
Sebagaimana kita ketahui bahwa ibadah shaum juga diperintahkan kepada umat-umat terdahulu. Allah Swt. berfirman dalam Surah al-Baqarah: 183
(يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ)
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Ayat ini menjelaskan dengan gamblang urgensitas dan pentingnya ibadah puasa. Maka dari itu, seyogyanya kita menjaga kesucian ibadah ini dengan mengerjakannya dengan penuh keikhlasan lillahi ta’ala.
Lalu bagaimana seorang Mu’min mengetahui dirinya ikhlas berpuasa atau tidak?
Syeikh Mutawalli As-Sya’rowi menjawab masalah ini :
“Hikmah (manfaat) yang terkandung dalam setiap perintah takliifi hanya akan diperoleh oleh Ia yang mengimani bahwa itu adalah perintah dari Allah Swt. Seorang muslim mengerjakan suatu perintah karena Allah Swt. mengatakan kepadanya “Kerjakanlah!”. Dan tidak mengerjakan sesuatu karena Allah Swt. memerintahkan untuk tidak mengerjakannya.
Lalu apakah hikmah suatu perintah didapat oleh Ia yang diperintah atau yang memerintah?
Apakah seorang anak kecil yang baru sembuh dari sakitnya akan menyadari hikmah/manfaat dari pahitnya obat yang diminumnya? Sesungguhnya dokterlah yang menetapkan bahwa si anak telah sembuh atau belum, dan dokterlah yang mengetahui manfaat yang terkandung dalam obat tersebut.
Seorang Muslim berpuasa karena Allah Swt. mengatakan “Berpuasalah”. Maka berhati-hatilah dari menafsirkan suatu hukum berdasarkan sebab musababnya.
Bagi mereka yang berpuasa hanya karena yakin puasa akan menyembuhkan penyakit mereka, maka puasa mereka bukanlah ibadah, melainkan hanya sekedar imsak/menahan diri dari lapar dan dahaga.
Serta niat puasa seperti itu tidak tumbuh dari keimanan terhadap perintah puasa, namun hanya berlandaskan kepercayaan terhadap manfaat dari puasa.
Maka yang harus menjadi pondasi utama seorang muslim adalah menerima perintah Allah Swt. tanpa harus mempertimbangkan manfaat, sebab musabab ataupun feedback dari perintah tersebut. Serta tidak menggantungkan kepercayaannya terhadap apa yang akan Ia peroleh dari perintah tersebut. Agar niat ibadahnya menjadi ikhlas karena Allah Swt. dan puasanya hanya mengharapkan ridha Allah Ta’ala. Wallahu a’alam.
*Santri asal Bogor, saat ini sedang menempuh pendidikan di Universitas Al-Azhar Mesir.
Tinggalkan Balasan