Nalar Islam

– Randi Isima* –

Ushul Fikih adalah seperangkat cara pikir Islam paling otentik, dan sampai pada batas-batas terjauhnya, memberikan dasar-dasar rasional bagi pemikiran Islam. 

Meski dikatakan bahwa ilmu ini adalah ilmu yang disusun oleh Imam Syafi’i, bukan berarti ilmu ini adalah suatu hal baru di kalangan umat Islam karena sejatinya nalar berpikir Ilmu Ushul Fikih telah dipraktikkan sejak masa hidup Nabi SAW. 

Sistem pemikiran rasional dari ilmu Ushul Fikih dapat terlihat dari kegiatan analisis bahasa yang kemudian merambah pada wilayah yurisprudensi dan teologi. 

Menurut para pakar, Ushul Fikih tersusun dari gabungan berbagai disiplin ilmu, yakni logika Aristoteles, kaidah bahasa Arab (logika kebahasaan), teologi (ilmu kalam), ilmu fikih, dan ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadist. (Arkoun, 1994: 81) 

lmam Al-Ghazali mengatakan bahwa, ilmu Ushul Fikih merupakan ilmu yang paling tinggi derajatnya, karena merupakan gabungan dari dua jenis ilmu yakni ilmu naql murni seperti al-Qur’an, Hadits, dan ilmu ‘aql murni seperti logika. 

Dapat dikatakan bahwa ilmu Ushul Fikih merupakan nalar filsafat Islam. Ushul Fikih mengkaji eksistesi ketuhanan, manusia dan alam beserta yang ada di dalamnya. Ilmu Ushul Fikih juga mengkaji tema-tema yang berkaitan dengan filsafat etika dan ilmu logika. Ilmu Ushul Fikih juga memiliki kaitan yang sangat erat dengan filsafat bahasa. Bahkan dalam ilmu Ushul Fikih terdapat kajian spesifik mengenai teks terutama yang berkaitan dengan ilmu semantik. Dari ilmu semantik tersebut terjadi perbedaan pendapat yang cukup luas sehingga berimplikasi pada perbedaan dalam memberikan ketetapan hukum syar’i.

Bahkan dapat dikatakan bahwa perkembangan bahasa dalam kajian ilmu Ushul jauh lebih maju dibandingkan perkembangan bahasa dari ulama Nahwu sendiri. 

Ulama Ushul tidak hanya mengkaji gramatika bahasa Arab, namun lebih dari itu, mereka mendalami makna-makna detail yang terkandung dalam simbol bahasa. Pendalaman terhadap simbol bahasa muncul dari satu pertanyaan, apakah teks bahasa dapat memberikan informasi mengenai hakekat kebenaran ataukah tidak. 

Dalam hal ini terjadi perbedaan di kalangan para ulama. Sebagian ulama menganggap bahwa bahasa sama sekali tidak dapat memberikan informasi mengenai hakekat kebenaran, sementara sebagian lain menganggap bahasa dapat dijadikan sebagai informasi kebenaran.

Ushul Fikih mengkaji kaidah-kaidah atau metode pengambilan hukum. Kaidah-kaidah tersebut biasa disebut dengan dalil syara’ yang kullî (dalil syara’ yang umum). Misalnya berupa qiyâs dan kehujjahannya, batasan-batasan âm, perintah (amr) dan indikatornya, dan kaidah tentang larangan (nâhî).

Al-Ghazali mengatakan bahwa Ushul Fikih membahas empat hal utama. Pertama, al-tsamrah (buah) yang meliputi hukum-hukum dan yang berkaitan dengannya. Kedua, al-mutsmirah (pemberi buah) yang meliputi dalil-dalil umum, yakni al-Qur`ân, al-Sunnah, al-ijmâ`, al-qiyâs, dan sebagainya. Ketiga, thuruq al-istitsmâr (metode mengambil buah yang meliputi metode kebahasaan dan metode kemaknaan). Keempat, al-mustatsmir (pengambil buah) yang meliputi kriteria orang yang berhak disebut mujtahid.

Ushul Fikih disusun untuk mencoba tangkap maksud Tuhan secara benar dan tepat. Para ulama menginduksi kaidah-kaidah dari sumber hukum Islam, menyusun pola pikir dan tata aturan demi tercapainya maqashid syariah, yaitu maslahat umat. Tak hanya di dunia, tapi juga di akhirat.

Randi Isima adalah mahasiswa UIN Kalijaga Jogja. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *