Walang Gustiyala |
“Yang membedakan bulan puasa kali ini dengan sebelum-sebelumnya hanya satu,” ucap seorang Bu Nyai di suatu pengajian offline: “Bila sebelum-sebelumnya setan selalu dibelenggu begitu masuk Ramadan, tahun ini yang dibelenggu, dikurung, dan tidak bisa kemana-mana adalah manusia.”
Puasa harus dijadikan sebagai ibrah, atau ranah studi. Ramadan di masa pandemi tentu menyajikan ilmu yang tidak sepenuhnya sama dibanding di masa-masa normal. Tidak bermaksud bahwa bulan Ramadan kali ini lebih buruk dibanding sebelum-sebelumnya atau sebaliknya, tentu tidak. Maksud saya di sini, situasi keamanan maupun suasana yang berlainan tentu mempengaruhi proses kita dalam meraup ibrah tersebut, sudah pasti hasilnya pun akan berbeda.
Ibrah bulan suci bisa kita kelompokkan dalam beberapa macam. Tentu yang pertama adalah ibrah yang bersifat ruhiyyah yang berfungsi membangun jiwa dan karakter mulia; kemudian ‘ubudiyyah yang bersinggungan dengan peningkatan kualitas ibadah sehari-hari; lalu syihhiyyah dengan menjadikan puasa sebagai terapi hidup sehat dengan mengatur pola waktu dalam mengkonsumsi makanan dan minuman; juga ‘ibrah ‘ilmiyyah yakni pelajaran saintifik dengan jalan mempelajari segala aspek yang menyangkut disyariatkannya puasa, mulai dari sejarahnya, filosofinya, hingga tata cara, hukum, serta manfaat dan tujuan-tujuannya.
Tidak kalah penting pula ‘ibrah ijtima’iyyah, yaitu sejauh mana puasa yang kita jalankan mampu membangun kesadaran dan melatih kepekaan kita sebagai homo socius, atau makhluk sosial. Bisa kita masukkan pula ’ibrah ahlaqiyyah tentang bagaimana puasa mengajarkan bagaimana cara kita berinteraksi terhadap Allah, rasulullah, orang lain, alam lingkungan, maupun terhadap diri sendiri.
Terakhir adalah ibrah favorit sebagian besar umat Islam abad modern saat ini, yakni ’ibrah iqtishadiyyah yang bersinggungan langsung dengan manajemen pengeluaran dan pemasukan.
Bila Ramadan mengajarkan umat Islam agar hidup ekonomis, tentu bisa diterima sepenuhnya karena tidak melenceng dari spirit berpuasa. Namun jika bulan ini dijadikan ajang mencari peluang untuk meraih keuntungan atau melampiaskan nafsu berbelanja, maka imbasnya bisa positif atau negatif, tergantung cara, bentuk, dan batasan-batasannya.
Dari laporan Bank Indonesia tahun lalu misalnya, perputaran uang sampai angka 160 trliun selama bulan Ramadan, yang mana lebih dari 50% terpusat di pulau jawa. Demikian pula Ramadan tahun-tahun sebelumnya masih berkisar tidak jauh dari angka tersebut. Dalam belenggu Covid-19, apakah Ramadan bakal mencapai angka tersebut? Saya yakin semua orang akan menjawab tidak.
Tunjangan Hari Raya (THR) bagi Aparat Sipil Negara tahun lalu sebesar 20 triliun, hal ini juga turut andil dalam memicu konsumsi dan memperkuat daya belanja masyarakat. Dalam jeruji lockdown, berapa prosentase dana THR (ASN maupun swasta) yang mewarnai roda perekonomian selama bulan puasa? Saya tidak tahu, tapi saya berani memastikan tidak mungkin angkanya setinggi tahun-tahun sebelumnya.
Belum lagi adanya fakta bahwa tahun ini tunjangan ASN sebatas diberikan kepada mereka yang jabatannya setara dengan eselon III ke bawah.
Meskipun mencuatnya perekonomian Ramadan yang lalu-lalu berdampak positif bagi sejumlah badan amil zakat karena mampu menghimpun dana hingga milyaran rupiah, namun tidak bisa dipungkiri hal tersebut juga memperlihatkan betapa besarnya syahwat bermateri telah menjajah dan menguasai diri kita, yang sudah barang tentu sangat jauh dari nilai-nilai kesederhanaan dan spiritualitas keislaman.
Berkenaan dengan kondisi saat ini, yang ideal dan layak diupayakan adalah, bilamana nafsu bermateri turut dikarantina sehingga tidak membabi buta namun kurva dana yang dihimpun oleh sederet badan amil zakat dan sedekah tidak turut menurun. Syukur-syukur malah melonjak melihat bertambahnya jumlah mustahik zakat akibat pandemi. Sulit memang, tapi bukan berarti tidak mungkin. Kita tinggal menunggu hasil laporannya.
Ritus puasa memberikan setumpuk pelajaran moral, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai moderasi dalam bersosial, kesederhanaan, dan pengendalian diri. Namun sayang amat disayangkan, baik di perkotaan maupun di pelosok-pelosok desa, konsumerisme telah menjadi detak jantung Ramadan. Hasrat dan syahwat telah mengalahkan pengendalian diri. Keinginan untuk memenuhi kebutuhan terkalahkan oleh kebutuhan untuk memuaskan nafsu dan keinginan.
Bila ditelisik, perilaku-perilaku konsumtif di kalangan umat Islam selama Ramadan berkaitan erat dengan kegagalan mereka dalam membatasi dan memfilter hasrat.
Sehingga tidak aneh bila pengeluaran selama bulan Ramadhan jauh lebih besar daripada bulan-bulan lainnya. Tampak jelas kontradiksi disini, bulan yang seharusnya dijadikan medan juang untuk membunuh sifat berlebih-lebihan malah menjerumuskan kita ke lembah pemborosan dan bermewah-mewahan.
Bulan yang seharusnya menjadi parameter untuk kembali memosisikan pribadi umat Islam pada titik hidup sederhana yang dicontohkan Rasulullah, justru menarik kita pada aksi foya-foya yang dikampanyekan hawa nafsu berwujud syahwat materialisme.
Dengan diberlakukannya pembatasan sosial, apakah tradisi konsumtif tersebut hilang? Di tempat saya tidak, namun tampak sedikit berbeda, minimal berkurang.
Ramadan tidak semestinya menjadi bulan komoditas. Ramadhan harus diposisikan sebagai agen aktifitas. Mulai dari aktifitas berlatih hidup sederhana yaitu dengan pandai-pandai menahan diri dan mengelola emosi, sampai aktifitas-aktifitas konstruktif demi tercapainya perbaikan-perbaikan akhlak yang menggambarkan keikhlasan dan kesederhanaan.
Harapannya cukup sederhana, sebisa mungkin laku spiritual yang kita asah dan asuh selama Ramadan dapat berlanjut pada bulan-bulan berikutnya. Sebatas itu. Namun pada kenyataannya, Ramadan kerap kali terabaikan dan berada dalam keadaan menyesakkan dada umat Islam. Hal ini tampak jelas dari aktifitas berbelanja sebagian umatnya selama sebulan penuh.
Malah anehnya, tidak sedikit pihak yang merancang program-program berorientasi profit demi meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan menjadikan bulan suci sebagai sumber laba berbentuk materi. Tidak sepenuhnya keliru, namun bila orientasi tersebut dinomorsatukan maka kemungkinan terbesar adalah hilangnya orientasi pokok berupa peningkatan ketakwaan secara spiritual.
Pemborosan, berlebih-lebihan, dan bermewah-mewahan merupakan kebiasaan kaum yang tidak mesra dengan yang Maha Pengasih lantaran tidak menghargai nikmat yang dicurahkan oleh Allah. Dalam surat Al-Isra’ ayat 26-27 Allah berfirman:
“Janganlah engkau menghambur-hamburkan (hartamu) dengan boros. Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan, sementara syaitan teramat ingkar kepada Tuhannya.”
Sebaliknya, menjalani hidup dengan kesederhanaan adalah konsep dari perilaku yang sangat dianjurkan oleh Islam. Dalam sebuah riwayat Rasulullah SAW. juga menekankan bahwa kesederhanaan merupakan separuh dari iman.
Betapa meruginya bila yang puasa dalam diri kita sekadar perut. Turut berpuasakah telinga kita? Turut berpuasakah mulut kita, mata kita, hidung kita? Dan di atas segalanya, ikut andil berpuasakah hati nurani dan akal pikiran kita? Atau jangan-jangan tatkala perut kita berlapar-lapar puasa, hati dan akal kita membawa kita mengembara-menuruti hasrat dan syahwat akan dunia. Sehingga tidak jarang Ramadan tidak meninggalkan bekas sama sekali untuk bulan-bulan berikutnya.
Tipikal orang yang terlena akan tipudaya dunia sehingga gengsi hidup sederhana, oleh Al-Qur’an dikait-eratkan dengan kebiasaan buruk mengumpat dan mencela antar sesama, perihal ini terlampir dalam lima ayat pertama Surah al-Lumazah:
“Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela. Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira hartanya sanggup membuatnya kekal. Sekali-kali tidak! Sungguh dia akan benar-benar dilempar ke Huthomah.”
Kalimat pasif “yunbadza” yang akrab diterjemahkan “dilempar”, diapit oleh dua huruf taukid (lam dan nun taukid) yang menyiratkan sekaligus menyuratkan betapa murkanya Allah terhadap mereka yang kerjanya hanya mengumpulkan kekayaan seraya menghitung-hitungnya dan meyakini bahwa materi mampu membuat hidup mereka kekal, terlebih lagi bila menghalalkan segala cara dalam memperolehnya.
Ibarat sepetak ladang, maka benih yang ditanam di masa karantina ini adalah benih unggul bernilai tinggi tentang tatacara hidup sederhana yang dicontohkan Rasulullah. Mulai dari kesederhanaan dalam berpakaian, berpenampilan, berkomunikasi dan berinteraksi antar sesama, sampai kesederhanaan dalam mengambil keputusan yang kemudian diaplikasikan dalam sikap keseharian. Dengan demikian ibrah yang dicari akan lebih mudah dipahami.
Suatu benih pantas disebut unggul bilamana sanggup menyesuaikan diri dengan segala cuaca dan suasana. Hari libur kali ini masih berbaris panjang di hadapan mata, kita baru akan benar-benar diuji seusai pandemi berlalu suatu hari nanti. Yaitu apakah amaliah kesederhanaan kita sehari-hari semasa karantina mampu bertahan dengan kehidupan luar yang sudah pasti iklim serta suasananya jauh berbeda?
Kelak akan terlihat sebanyak apa umat Islam mampu memetik buah-buahan ibrah yang ditanam Allah di bulan Ramadan di musim pandemi. Semoga jiwa sahaja serta kesederhanaan umat Islam tidak seketika layu begitu detik pertama akhir karantina berdetak.
“Bila pandemi masih belum maksimal dalam membelenggu kerakusan dan syahwat bermateri manusia,” Bu Nyai menutup pengajiannya, “maka dengan peristiwa macam apa lagi anak cucu Adam dapat kembali menempuh jalan spiritualnya?”
| Walang Gustiyala, mengajar di Pesantren Tahfizh al-Qur’an Daarul ‘Uluum Lido, Cigombong – Bogor.
Tinggalkan Balasan