Muhammad Tabrani Basya adalah simbol pergerakan mahasiswa Indonesia di Kairo, Mesir. Nyaris semua mahasiswa pada rentang 2004-2010 mengenalnya. Pergaulannya luas, petualangan intelektualnya liar, pergerakannya bertumpu pada kemaslahatan umat.
Ia lahir dari keluarga bersahaja di Rembang. Belajar disiplin dari ayahnya yang merupakan aparat penegak hukum. Tradisi Islam melekat pada benaknya sejak usia belia. Ia lantas mondok di Lirboyo.
Di sinilah titik mula persinggungan budaya Tabrani muda. Melahap beragam ilmu di sana. Merasa kurang puas, dirinya pun memilih terbang ke Kairo, menuju Universitas Al-Azhar.
Fakultas yang diambilnya adalah Fakultas Syariah. Pilihan ini tidak sembarangan. Syariah adalah dasar mengenal dialektika, berpikir kritis, dan mengenal persoalan dari hulunya. Konon, ilmu ini merupakan akar dari disiplin filsafat dalam Islam.
Inilah dasar untuk mewujudkan cita-cita dan visi besarnya membangun umat kelak di Indonesia.
Layaknya mahasiswa progresif lainnya, Tabrani melahap semua ilmu di kampus Islam tertua itu. Bahkan gairah intelektualnya membuatnya semakin ekspansif dan variatif pada disiplin ilmu. Kesadaran itu berdasar bahwa dakwah Islam pada era kini bukanlah perkara sederhana yang hanya menuntut seorang dai menguasai satu atau dua disiplin ilmu saja.
Tak hanya kitab-kitab Fikih, Ushul Fikih, Tarikh Tasyri’, Fikih Muqorin atau disiplin ilmu keislaman lain saja, ia bahkan melahap literatur-literatur yang ditulis oleh para Orientalis Barat tentang Islam dan reaksi-reaksi yang ditulis oleh pemikir-pemikir Arab atasnya.
Persingungannya dengan pemikiran Barat itu membawanya pada kesimpulan bahwa konflik Timur Tengah umumnya tidak disebabkan konflik agama. Menurutnya, silang sengkarut masalah runyam Timur Tengah memiliki dimensi yang sangat luas dan rumit.
Persinggungan budaya Tabrani makin luas. Itu kesempatan berharga yang tak ia sia-siakan barang sedikit pun. Bertatap muka dengan tokoh macam Hasan Hanafi, mewawancarai Gamal Ghaitani, bertemu Ala’ Aswani, hingga berdiskusi dengan pemikir kontemporer jempolan lainnya merupakan kegiatan wajar baginya.
Bekalnya makin banyak dan matang. Kini saatnya Tabrani mendirikan lembaga berbasis budaya yang menaungi mahasiswa Indonesia di Mesir: Rumah Budaya Akar. Ini terinspirasi lembaga serupa di Mesir bernama Sakia El-Sawy Cultural Wheel.
Lembaga swadaya ini tak didanai oleh siapapun. Bahkan lembaga KBRI dan PPMI sebagai lembaga induk bagi mahasiswa di sana pun tak memasukkan RB Akar sebagai lembaga yang ada di bawah strukturnya. Kenyataan itu tentu menyulitkan lembaga ini secara finansial.
Pendirian rumah budaya ini penting bagi nasib seni, pergerakan dan intelektual mahasiswa. Sebab itu, Tabrani kukuh dengan lembaga ini. Tabrani mendefinisikan budaya secara progresif sebagai segala bentuk cipta yang dihasilkan manusia untuk kehidupan yang lebih baik.
Berkah dari RB Akar ini, para penulis, seniman, fotografer, pegiat sejarah, musisi, penikmat film, hingga pegiat politik ternaungi dengan baik. Tabrani sendiri adalah pengagum seni. Ia membaca puisi. Bahkan sesekali menulis syair yang penuh dengan kritik sosial.
Di sini, Tabrani merupakan bapak bagi mahasiswa marjinal. Namanya di kalangan mahasiswa makin melejit.
Pengalamannya meluas ke arah yang lebih progresif. Kala melihat mahasiswa butuh keadilan, sementara cara dialog tak lagi berfungsi, dirinya pun menginisiasi advokasi. Baginya, turun ke jalan adalah pilihan yang penting dilakukan untuk menegakkan keadilan.
Saat Arab Spring berlangsung pada 2011, di mana pemimpin negara-negara Timur Tengah dipaksa turun dari jabatan, Tabrani pun turut serta. Ia turun bersama warga. Meski pilihan politik ini berisiko tinggi.
Lengsernya rezim Mubarak yang berkuasa selama 30 tahun, Arab Spring, dan pergeseran budaya di Mesir dari negara diktator menjadi negara demokratis merupakan momen sejarah yang terekam baik dalam urat nadi Tabrani. Ia bagian dari perubahan besar itu.
Ketika revolusi 2011 Mesir itu berlangsung, terjadi sederet persoalan yang benar-benar baru bagi warga asing di sana. Ekonomi merosot, keamanan negara menjadi kacau, kondisi pendidikan pun turut berubah.
Di saat yang sama, Tabrani dipilih sebagai ketua tanfidziyyah PCINU Mesir. Ia resmi menjadi Duta Besar NU di Mesir. Bersamaan dengan jabatan itu, persoalan datang bertubi-tubi.
Pada tahap ini, pergaulan Tabrani menjalar ke tokoh-tokoh penting di Indonesia. Inilah bekal penting baginya untuk terjun di tanah air. Kesempatan emas ini ia manfaatkan untuk melancarkan langkah-langkah strategis.
Sepulang ke tanah air, ia pun melanjutkan studinya ke jenjang lebih tinggi. Di sela kesibukannya itu, ia sempat mengajar di Pesantren Amanatul Ummah, Surabaya. Pengabdian pendidikan dan kesibukan menuntut ilmu tidak membuatnya surut dalam berdakwah kebaikan dan kerjakan agenda perbaikan kehidupan.
Tak puas dengan pengabdian secara analog, dirinya pun merambah ke arah daring. Daring baginya adalah keniscayaan. Siapa yang tak beradaptasi, akan digilas oleh zaman. Kesadaran ini menjadi landasan Tabrani membuat Sanad Media.
Sanad Media merupakan kepanjangan tangan dari sikap kritis dan gairah dakwah yang terus mengalir dalam darah Tabrani. Medium ini dirasa paling tepat dipilih sebagai sarana menjangkau umat di era disruptif 4.0 ini.
Tinggalkan Balasan