– Imam Wahyuddin –
Pandemi Covid-19 melumpuhkan hampir semua kota-kota besar dunia. Kota pusat perekonomian, industri, wisata, bahkan kota paling suci seperti Haramain Syarîfain ditutup untuk para peziarah. Bahkan kemungkinan besar Saudi akan membatalkan ibadah haji tahun 2020.
Saat wabah semakin memburuk, beberapa kota di Indonesia mulai memberlakukan PSBB atau Pembatasan Sosial Berskala Besar, dimulai Jakarta dan disusul kota-kota lain.
Jogjakarta melalui himbauan Sultan Hamengkubowono X mengatisipasi bahaya penyebaran Covid-19 sejak minggu terakhir bulan Maret. Takmir Masjid Nurul Iman Balirejo Yogyakarta meniadakan sholat Jumat dan sholat lima waktu berjamaah serta menyarankan warga sholat di rumah masing-masing. Perlahan aktivitas fisik warga di Jogjakarta berkurang dan jalanan terasa lenggang. Kegiatan kampus pun mengikuti, kuliah kelas berganti daring dan pegawai beralih work from home.
Menego yang Profan
Pandemi Covid-19 sekurang-kurangnya mengajak kita untuk kembali memikirkan batas sakralitas dalam agama. Ternyata apa yang kita pikirkan sakral nyatanya tidak sesakral yang kita bayangkan. Covid-19 menyadarkan kita perihal teknis pelaksanaan ibadah dapat dinego yang sebetulnya lumrah dalam bahasan fikih Islam sebagaimana diajarkan di pesantren-pesantren. Kendatipun telah lumrah ternyata masih ada sebagian kalangan mempertanyakan: bagaimana mungkin pelaksanaan ibadah yang sakral itu dinego?
Bagi masyarakat yang menyadari efek mematikan Covid-19 memilih tidak melaksanakan sholat Jum’at dan lima waktu berjamaah di masjid namun tidak sedikit golongan die hard agama tetap bersikukuh menjalankan aktivitas di masjid seperti hari-hari normal. Golongan die hard agama menganggap urusan fadhâil seperti sholat Jum’at dan sholat lima waktu berjamaah tetap go karena bagi mereka hidup dan mati di tangan Allah; ibadah termasuk sesuatu yang tidak dapat dinego.
Ulama ushul klasik telah menunjukkan kerja kreatif dalam membangun penalaran hukum Islam. Sumbangsih ulama klasik relevan ditelisik untuk pembelajaran pengamalan agama bagi kita saat ini, terutama dalam upaya menghadapi ancaman mematikan pandemi Covid-19 di mana ibadah dalam banyak hal teknisnya turut mengalami penyesuaian.
Maqashid
Rumusan hukum Islam tidak sesederhana mengutip perintah Al-Qur’an dan hadis nabi secara literlek serta bukan pula taklid buta terhadap warisan yang telah ada secara turun-temurun, melainkan melibatkan penalaran rasional yang canggih dan proporsional. Wawasan mencerahkan dari tradisi keilmuan klasik membantu kita dalam merumuskan sikap keberagamaan yang berimbang; pengamalan agama tidak sekaku hitam di atas putih di satu sisi, namun juga tidak berarti meremehkan atau menggampangkan ritual agama di sisi lain.
Ulama ushul klasik memahami prinsip akal cukup (principle of sufficient reason) dalam melihat hukum agama seperti larangan mencuri bukan karena adanya sanksi potong tangan. Ulama ushul menelisik maksud dari meta-ayat larangan pencurian. Prinsip akal cukup sanksi tersebut ialah bukti perlindungan Islam terhadap properti atau hak milik yang di dalam Islam dipandang suci. Penalaran ini melampaui pandangan formalitas hukum yang kaku atau anti nego sehingga yang dikedepankan bukan semata penerapan potong tangan tapi memikirkan regulasi yang cerdas untuk perlindungan properti.
Ketika Islam datang, Jazirah Arabi bukan tempat penalaran sistematik. Hussein Murwah, penulis ensiklopedia sejarah Islam Naz’ah al-Mâdiyyah fî al-Falsafah al-Islâmiyyah, mengatakan kegiatan orang di padang pasir antara trading and raiding atau antara berdagang atau membegal kafilah dagang di jalan. Maxime Rodinson dalam Muhammad mempertegas Jazirah Arabi tidak memadai untuk penalaran rasional karena geografinya yang tandus. Situasi tersebut menjadikan tradisi keilmuan yang berkembang di Jaziarah Arab adalah naql atau apa yang ditransmisikan sebagaimana silsilah dalam riwayat hadits.
Rasionalitas keilmuan Islam secara sistematik muncul setelah umat Islam diterpa apa yang disebut W. Montgomery Watt dalam Islamic Philosophy and Theology sebagai the first wave of hellenism atau gelombang hellenisme pertama yang memuncak di zaman khalifah Al-Makmun melalui gerakan terjemah buku-buku filsafat dan logika dari Yunani oleh para penerjemah Kristen Nestorian yang dikepalai Hunain ibn Ishaq Al-Ibady (1962: 33). Semula riwayat (naql) menentukan otentitas rujukan hukum Islam namun setelah filsafat datang otentitas hukum dipertajam dengan dasar reasoning-nya (ra’yu).
Kontribusi filsafat dalam pengembangan hukum Islam sebagaimana dimanfaatkan para ulama ushul klasik tidak dapat dianggap remeh. Para ulama ushul klasik sangat dekat dengan sistem berpikir filsafat. Sebut saja Imam Al-Haramain Al-Juwaini (wafat th. 478 H) penulis Al-Burhân fî Ushûl al-Fiqh adalah sarjana alim yang terlatih dalam penalaran filsafat. Murid Al-Juwaini yaitu Abu Hamid Al-Ghazali (wafat th. 505 H) penulis ushul fikih Al-Mustashfâ fî Ushûl al-Fiqh adalah figur teolog dan filsuf muslim besar yang pernah ada dalam sejarah Islam.
Sumbangsih filsafat untuk ushul fikih amatlah besar. Filsafat mempertajam rantai hukum sebab-akibat di mana prinsip dasariahnya adalah: Tidak ada rumusan hukum yang diterima tanpa dasar alasan kuat dan memadai. Dalam hal ini, diktum klasik Aristoteles dalam Metaphysic hingga kini masih relevan: Tidak ada pengetahuan sempurna kecuali pengetahuan yang disertai penyebabnya.
Karakter kausalitas ini inheren dalam diri manusia sehingga benar dikatakan Socrates: Baik adalah ilmu dan buruk adalah kebodohan.
Filsuf peripaterik Abu Ali ibn Sina (Avicenna) dalam Kitâb Al-Syifâ’ buku Ilâhiyyât mengatakan ilmu paling mulia adalah metafisika (mâ ba’d-a al-thabî’ah) karena membahas Penyebab Pertama. Kendatipun obyek kajian metafisika “ada” sejauh itu ada (ontology) namun “ada” sekaligus ditinjau sebagai penyebab pertama (theology).
Mengetahui rantai penyebab paling dasar adalah tujuan dari kebijaksanaan filsafat. Avicenna mempertegas klaim Aristoteles, penalaran harus berdasar pada demonstrasi, yaitu upaya yang mengaitkan hubungan sebab dan akibat secara akurat.
Harus diakui penyelidikan filsafat mempertajam demonstrasi hukum Islam. Tradisi ushul fikih memosisikan hikmah sebagai pertalian antara hukum dan reasoning-nya atau hukum dan `illah-nya. Hukum yang kehilangan hikmah atau reasoning-nya dengan sendirinya kehilangan kemuliaannya. Ushul fikih mengabadikan dalam kaidah cukup tenar:
al-hukmu yadûru ma’a al-`illati wujûdan wa `adaman
Artinya ada dan tiadanya hukum bergantung pada reasoning-nya.
Maqashid syariah mensistematisasi prinsip dasar bangunan hukum Islam. Para ulama ushul klasik mendefinisikan tujuan dari agama diturunkan secara garis besar dan diringkas dalam adagium “jalb al-mashâlih wa daf’ al-madhar“.
Agama diturunkan untuk mendatangkan kebaikan dan mencegah keburukan.
Fakhruddin Al-Râzi (wafat th. 606 H) dalam al-Mahshûl fî `Ilm Ushûl al-Fiqh menyebut kesesuaian hukum dengan kemaslahatan disebut al-munâsabah yaitu terwujudnya kemaslahatan untuk memelihara hak hidup manusia sekaligus menepis segala bentuk kemudharatannya.
Ulama ushul klasik, terutama Abu Ishaq Al-Syatiby (wafat th. 790 H) dalam Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî’ah, sepakat terdapat lima kemaslahatan primer (al-dharûrîyât al-khamsah) yang diperjuangkan agama: perlindungan terhadap agama itu sendiri, perlindungan terhadap jiwa atau hak hidup, perlindungan terhadap akal pikiran, perlindungan terhadap properti atau hak milik, dan perlindungan terhadap nasab atau keturunan.
Izzuddin ibn Abdussalam (wafat th. 660 H) dalam Qawâid al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm menambahkan satu hal lagi untuk melengkapi lima hal primer yaitu perlindungan terhadap kehormatan.
Pelanggaran atas kelima atau keenam kebutuhan primer di atas akan mendapat sanksi tegas seperti membunuh diqishash, mencuri dipotong tangan, memperkosa dirajam, dan lain sebagainya sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an. Sanksi fisik seperti qishash merupakan bentuk pencegahan terhadap kemudharatan (daf’ al-madhar). Sanksi tersebut adalah respon “reaktif” yang memang dianjurkan agama, di satu sisi, namun sanksi tersebut sekaligus menampilkan wajah agama yang hanya berisi jarîmah di sisi lain.
Diskusi maqashid syariah meluaskan wawasan hukum Islam bahwa agama tidak hanya bicara soal qishash, potong tangan, rajam atau cambuk dan lain sebagainya.
Jalb al-mashâlih atau upaya mendatangkan kebaikan adalah respon “proaktif” dalam konteks pengembangan maslahat primer. Dalam hal ini respon proaktif adalah kebalikan dari respon reaktif. Satu contoh sikap proaktif perlindungan akal pikiran ditempuh dengan mendirikan lembaga riset atau pendidikan gratis, berbeda dengan sikap reaktif yang hanya bersikukuh memilih model penerapan hukum cambuk yang sebetulnya telah kadaluarsa untuk zaman modern kita.
Kewajiban Cegah Penyebaran Covid-19
Pembatasan aktivitas sosial untuk menanggulangi dampak penyebaran Covid-19 di antaranya peniadaan sholat Jum’at yang diganti sholat dhuhur ataupun meniadakan sholat berjamaah lima waktu di masjid merupakan langkah preventif yang cukup arif untuk melindungi kesehatan warga. Regulasi ini merupakan bentuk respon “proaktif” perlindungan Islam terhadap keselamatan jiwa.
Sekali lagi apa reasoning atau `illah di balik negosiasi teknis pelaksanaan ibadah di atas? Keselamatan jiwa atau hifd al-al-nafs.
Jangan mempertaruhkan resiko mati karena terpapar Covid-19 untuk sesuatu yang tidak menyebabkan anda mati (sholat Jum’at). Menutup sholat Jum’at dan lima waktu berjamaah di masjid adalah alasan paling masuk akal sekaligus sesuai dengan visi maqashid syariah sebagaimana diteorikan para ulama muslim.[]
*Intelektual Muda Islam
Tinggalkan Balasan