Daulat Candu H |
Jika kita berwisata pada masa silam, kita akan melihat banyak sekali panorama yang menakjubkan. Banyak pula yang mendebarkan. Juga mengagetkan. Apapun itu, mempelajari sejarah membuat wawasan hidup kita makin luas.
Kita juga akan mendapatkan penjelasan-penjelasan atas banyak hal yang tanpa mengetahui latar belakang sejarahnya, akan susah bagi standar pandangan hidup modern untuk memahami duduk perkaranya.
Bias gender bukanlah fenomena pemahaman keberagamaan khas umat Islam atas agamanya. Ia ada juga dalam umat agama manapun.
Perempuan modern makin menuntut diperlakukan sama. Dan mereka sah melakukannya. Hal ini senafas dengan semangat yang dibawa Islam.
Separo Bukan Harga Mati
Sejak awal, Islam mempromosikan kesetaraan lelaki dan perempuan. Islam membawa impak sosial yang sangat luar biasa pada awal kehadirannya. Islam memerdekakan budak dan menyatakan bahwa setiap anak Adam dilahirkan merdeka. Islam memberi tempat istimewa pada sahabat Bilal yang saat itu berstatus budak hitam. Islam menyatakan Arab tak lebih unggul dari ras lain atau sebaliknya. Lelaki menanggung amal perbuatannya. Perempuan pun menanggung amal perbuatannya. Islam mengutuk tradisi penolakan bayi perempuan.
Lalu, mengapa dalam hal waris perempuan separo lelaki?
Untuk menjawab hal ini, kita terlebih dahulu harus memahami beberapa hal. Pertama, dunia tidak selalu seperti yang kita kenal sekarang ini. Juga tatanannya. Juga aturannya. Juga tradisinya. Juga pandangan hidup manusia-manusianya.
Kedua, konteks sosial munculnya Islam. Orang bisa mengecek kode-kode hukum Hamurabi. Orang bisa pelajari hukum Romawi yang berlaku saat itu. Orang bisa mencari informasi kebiasaan dan tradisi yang diakui oleh Persia atau Arab waktu itu. Barulah kemudian orang bisa membaca sejarah Islam dengan spektrum yang lebih luas dan memahami progres-progres yang diperjuangkan Nabi.
Ayat-ayat Waris (QS. 4: 11) “Anak lelaki mendapat bagian dua anak perempuan” turun di tengah masyarakat dunia di mana hukum yang berlaku bukanlah hukum negara seperti saat ini. Ayat waris tersebut hadir di tengah masyarakat yang menganut hukum suku/kabilah atau komunitas independen yang berdiri sendiri membangun pemerintahan dan tata sosial sendiri yang lepas dari tata dunia lain, yang pada banyak segi tak lebih baik (Romawi, misalnya, dan Persia).
Hukum suku tidak mengakui kepemilikan pribadi, alih-alih perempuan. Di kota-kota independen seperti Makkah, orang dipandang berdasarkan asal sukunya. Jika ditempatkan pada konteks kesejarahannya, maka hukum waris Islam merupakan wujud gerakan sosial progresif yang “la mufakkar fiih”, yang “tak terpikirkan”. Islam maju beberapa langkah. Ia mengakui kepemilikan pribadi. Ia juga mengakui kepemilikan oleh perempuan.
Tapi kenapa hanya separo lelaki?
Nabi Muhammad seorang revolusioner, tapi bukan pemimpi. Beliau seorang visioner dan pemimpin. Ia tak berniat menghantam tatanan lama tanpa menawarkan tatanan baru. Ia tak seperti revolusioner biasa yang menghancurkan tatanan lama kemudian kelimpungan membangun tatanan baru dari reruntuhan. Itulah kenapa banyak tradisi Islam yang merupakan kelanjutan tradisi lama, dengan perbaikan-perbaikan dan pemurnian-pemurnian. Nabi bersabda, “Aku diutus untuk sempurnakan akhlak-akhlak baik.” Dalam konteks tradisi, hadits ini bisa dimaknai bahwa Nabi diutus untuk sempurnakan tradisi-tradisi baik yang sudah ada.
Islam ambil jalan tengah. Ia menetapkan waris lelaki dua kali dari perempuan, tapi di saat yang sama ia membebani lelaki dengan nafkah kedua orang tua, istri dan anak-anak. Perempuan atau istri boleh miliki hartanya sendiri, tanpa boleh diganggu-gugat suami. Ini progresif sekali.
Lalu, bagaimana dengan penerapannya pada era modern, dengan standar modern, semangat dan nilai-nilai modernitas? Para fakih mujtahid banyak yang keluarkan fatwa perihal ini. Ikuti saja salah satunya, yang sesuai dan paling bermanfaat untuk kemaslahatan bersama. Para kiai tidak hanya berilmu, tapi juga bijak. Boleh saja, misalnya pada suatu kasus pembagian waris, untuk menghindari kondisi darurat (madhorot) perselisihan antar saudara, seorang kiai menganjurkan pembagian waris yang sama rata.
Saksi Perempuan
Bagaimana dengan saksi perempuan? Nyambung kapan-kapan.
Tinggalkan Balasan