Menjadi Muslimah Perkotaan

Mei Rahmawati |

Perasaan sepi tak harus saat berada di tempat sunyi. Merasa terasing tak harus saat berada di tempat tak dikenal. Terkadang kita tak tahu harus ada pada posisi mana kita sebaiknya tempatkan diri. Terkadang, berada di tengah keramaian manusia dan kebisingan kota membuat seseorang merasa sunyi dan asing. 

Hidup di kota memang menawarkan sederet kemudahan mobilitas dan fasilitas. Akses layanan publik juga lebih baik. Namun hal-hal riuh memang cenderung membuat jiwa seorang wanita merasa teralienasi. 

Hidup yang tanpa makna seharusnya hidup yang hampa. Tapi seorang muslimah tak boleh menyerah begitu saja. 

Jika kota tak bisa berikan pada kita sebuah makna, maka diri kita sendirilah yang harus bisa memaknai kehidupan kota. 

Apa makna hidup di kota? 

Sebenarnya biasa-biasa saja. Namun kesan bahwa hidup di kota adalah hidup di tengah masyakarat tak saling kenal dan kita hidup tanpa dikenal itulah yang memberi kita gambaran umum yang terkadang patut direnungkan.

Diferensiasi

Hasrat itu terkadang muncul. Apalagi bila seseorang tak memiliki keinginan untuk meleburkan diri pada kerumunan dan berbaur dengan kebanyakan. Perasaan tak menjadi bagian dari komunitas yang lebih besar, menjadi bukan siapa-siapa, di satu sisi, dan geliat maksiat yang tak kita setujui di sisi lain, memunculkan kecenderungan untuk membedakan diri.

Dan, apa yang paling mudah bagi kita muslimah untuk bedakan diri? Ya, fashion.

Saat nenek-nenek kita berkebaya, generasi ibu kita membedakan diri dengan tambahan kerudung penutup kepala. Lalu kita membedakan diri dengan tak cukup hanya kerudung sebagai penutup kepala. 

Gelombang Arabisme memberikan alternatif. Terciptalah jilbab.

Kita yang hidup di tengah kota dan setiap hari bersinggungan dengan mode lalu mematut diri dan kembangkan model jilbab yang disamping memenuhi kebutuhan psikologis menutup diri juga memenuhi kebutuhan aktualisasi. Lihatlah puluhan bahkan ratusan model jilbab yang begitu modis, nyaman dipakai, enak dipandang, sedap dibayangkan.

Eksistensi Virtual

Jangan coba pisahkan perempuan dengan foto. Tak bisa.

Apalagi jaman sekarang. Jaman di mana teknologi sedemikian rupa hingga segala yang kita butuhkan seakan terjangkau dalam genggaman. Jaman di mana hampir bisa dipastikan tak ada yang tak punya akun media sosial. Beberapa studi bahkan menunjukkan bahwa kini mereka yang tak bermedia sosial memiliki kecenderungan kelainan psikologis.

Menjadi eksis kini tak lagi monopoli kalangan artis. Perempuan manapun bisa. Asal, tentu saja, memiliki sesuatu yang unik dan menarik. Meski seringkali yang unik dan menarik diidentikkan sebagai cantik. Kami bermasalah dengan pandangan stereotip kaum maskulin soal ini.

Eksistensi Komunal

Manusia hewan sosial. Tentu saja kita butuh orang lain untuk merasa ada, merasa aman, merasa dibutuhkan. Hidup kita memiliki arti selama hal itu diletakkan dalam konteks sosial. 

Apalagi bagi perempuan. Komunitas memberi semua makna yang dibutuhkan perempuan untuk merasa aman dan berarti. Dan, seperti makhluk sosial lain, perempuan berkecenderungan untuk menemukan komunitas yang memiliki paling banyak kesamaan. Maka sangat natural bila kemudian muslimah di perkotaan menemukan diri mereka tergabung dalam komunitas-komunitas muslimah.

Sebagian besar komunitas ini menjaga eksistensi dan keberadaan mereka dengan rutin adakan kegiatan. Tidak penting apapun bentuk kegiatannya. Kami butuh kebersamaan. Itu yang menguatkan kami muslimah perkotaan.

Tapi semuanya pada akhirnya kembali kepada pribadi masing-masing muslimah. Tak sedikit yang memilih tanggalkan identitas keagamaannya dan berharap bisa berbaur dengan komunitas yang lebih luas dan menjadi bagian integral dari budaya kota yang tanpa merek.

Wallahu a’lam.

| Mahasiswi S2 Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *